Ping Pong sebagai Jalan Mengakhiri Pertikaian Antar Negara

Oleh: Meitty Josephin Balontia, M.Han, Binus Bandung

Diplomasi merupakan alat untuk mencapai kepentingan nasional yang melibatkan dua atau lebih perwakilan suatu negara. Seseorang yang menjadi perwakilan suatu negara untuk membicarakan kepentingan nasional disebut sebagai seorang diplomat. Para diplomat tentu diharapkan mampu bernegosiasi dan membawa pesan penting negara di mata internasional. Dengan kata lain, seorang diplomat merupakan representasi dari negara yang mengirimkannya.

Namun, seiring dengan berkembangnya bentuk relasi internasional, maka berkembang pula aktor didalamnya. Kini, negara melalui perwakilannya (diplomat) bukan satu-satunya aktor dalam melaksanakan diplomasi. Hal tersebut tergambar jelas melalui kehadiran multi-track diplomacy, dimana diplomasi suatu negara dilaksanakan dalam berbagai jalur sehingga tidak tergantung pada aktor atau jalur pemerintah saja. Setidaknya ada 9 jalur diplomasi dalam multi-track diplomacy antara lain: 1) pemerintah, 2)resolusi konflik profesional, 3) bisnis, 4) warga negara, 5) penelitian, pelatihan, dan pendidikan, 6) Aktivisme, 7) Agama, 8) Pendanaan, 9) Komunikasi dan Opini Publik. Kesembilan jalur diplomasi ini menunjukkan bahwa aktivitas diplomasi tidaklah kaku dan tergantung pada perwakilan pemerintah suatu negara. Dilihat dari fleksibelitas bentuk diplomasi saat ini, maka negara sebenarnya memiliki beragam tools untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Salah satu tools diplomasi yang dapat digunakan adalah melalui berbagai ajang pertemuan internasional termasuk turnamen olahraga internasional. Tools diplomasi yang satu ini memang sudah pernah dilaksanakan dan tergolong berhasil membuka jalur komunikasi di antara negara-negara yang terlibat. Pelaksanaan diplomasi jenis ini dapat dilihat dalam diplomasi ping pong (ping pong diplomacy) yang berhasil memperbaiki relasi Cina-Amerika Serikat pada 1972.

Dalam bukunya yang berjudul Ping Pong Diplomacy: The Forgotten Architect of Sino-US Rapproachment oleh Mayumi Itoh, disebutkan bahwa secara sempit ping pong diplomacy (Diplomasi Ping Pong) dapat diartikan sebagai penggunaan turnamen tenis meja internasional sebagai kendaraan diplomatik selama kompetisi Nagoya World tahun 1971. Sementara dalam arti yang lebih luas, diplomasi ping pong dapat dipahami sebagai penggunaan turnamen tenis

meja internasional sebagai alat diplomasi untuk menghancurkan kebuntuan relasi yang terjadi diantara negara, dimana jalur diplomasi resmi dianggap sudah tidak dapat digunakan ataupun mengalami jalan buntu (Itoh, 2011). Diplomasi Ping Pong yang dilakukan oleh pihak Cina pada turnamen Nagoya di Jepang tahun 1971 telah berhasil memperbaiki relasi Amerika Serikat dengan Cina pada tahun berikutnya (1972).

Bentuk diplomasi ini tidak hanya berhasil memperbaiki relasi Amerika Serikat dan Cina, tetapi juga terbukti berhasil mempertemukan dua negara lainnya yang sedang bertikai di kemudian hari. Contohnya, dibentuknya suatu momen pertemuan antara Irak dan Iran dalam kejuaraan the Asian Table Tennis Union (ATTU) ditengah perang keduanya (1980-1988). Ataupun dipertemukannya Korea Utara dan Korea Selatan pada 1988 dalam kompetisi kesembilan the Asian Table Tennis Union (ATTU) yang dilaksanakan di Niigata, Jepang. (Itoh, 2011)

Dalam sejarah lahirnya diplomasi ping pong, hubungan bilateral antara Cina dan Amerika Serikat yang sempat rusak pasca perang dingin berhasil dibuka kembali akibat peristiwa yang terjadi selama kompetisi Nagoya World di Jepang. Saat itu, sikap ramah dan bantuan yang diberikan oleh para atlet Cina terhadap salah satu atlet Amerika Serikat telah berhasil mencairkan ketegangan diantara keduanya. Peristiwa tersebut bermula saat salah seorang atlet Amerika Serikat Glenn Cowan tanpa sengaja ditinggalkan oleh timnya saat sedang berlatih dengan salah seorang atlet Cina. Mengetahui hal tersebut, para atlet Cina pun menawarkan Cowan untuk ikut bersama rombongan mereka. Kebaikan hati para atlet Cina ini serta kebersamaan diantara kedua atlet negara yang bertikai sukses menjadi perhatian media massa. Hingga berujung pada diundangnya seluruh atlet tenis meja Amerika Serikat yang ada di Nagoya untuk berkunjung ke Beijing. Undangan ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Cina saat itu, Mao Zedong. Rupanya, keterbukaan baik atlet Cina maupun Perdana Menteri Cina saat itu melunakkan hati Amerika Serikat untuk membuka dialog diplomatik melalui rangkaian kunjungan terbuka kedua negara pasca turnamen Nagoya. Di mulai dengan kunjungan penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Hendry Kissinger pada 1971, yang diikuti oleh kunjungan presiden Amerika Serikat Richard Nixon di bulan Februari 1972. Hingga pada akhirnya, wakil perdana menteri Cina, Deng Xiaoping mengadakan kunjungan ke Washington pada awal tahun 1979.

Dari penjabaran di atas kita bisa melihat bahwa diplomasi ping pong adalah salah satu bentuk diplomasi yang menggunakan jalur kompetisi olahraga untuk memperbaiki relasi di

antara kedua negara yang bertikai. Diplomasi kiranya dapat diwujudkan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh rakyat sipil tak terkecuali, oleh para atlet selama kompetisi berlangsung. Dengan kata lain, aktivitas atau pelaksanaan diplomasi demi kepentingan bangsa tidak harus selalu dikaitkan dengan aktor negara. Akan tetapi, dari peristiwa ping pong diplomasi Cina-Amerika Serikat, kita dapat belajar bahwa usaha diplomasi dari aktor bukan negara (atlet tenis meja) hanya mungkin memiliki dampak besar jika ditopang dengan langkah pemerintah negara bersangkutan untuk membuka komunikasi diplomasi antar negara. Jadi, pemerintah pun harus mengambil kesempatan yang sebelumnya telah dibuka oleh para aktor non-pemerintahan.

Daftar Pustaka

Itoh, Mayumi, The Origin of Ping Pong Diplomacy: The Forgotten Architect of Sino-US Rapprochment, Palgrave Macmillan: US, 2011

Meitty Josephin Balontia,M.Han