Kekuatan Budaya Maritim Sebagai Solusi Penyelesaian Konflik

Oleh: Isna Fachrur Rozi, M.Han, Binus Bandung

Indonesia Dalam Disparitas

Terbentuknya sebuah negara tidak akan pernah lepas dari konsep dasar survivability atau kemampuan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup artinya, mempertahanakan suatu eksistensi. Ken Booth berpandangan bahwa kemampuan bertahan juga terkait dengan apa yang dinamakannya dengan survival plus, dimana plus nya sendiri adalah sebuah bentuk kebebasan dari ancaman yang mengancam kehidupan, dan bermuara pada kemampuan individu untuk mengambil keputusan (Ken Booth : 2017). Disamping perwujudan dari orientasi keamanan sendiri yang merupakan pengejaran dari berbagai politik dan ambisi sosial, apabila ditarik kepada subjek terkecil yaitu warga negara Indonesia, maka kehadiran pemerintah dibutuhkan sebagai katalis untuk menghilangkan permasalahan yang mungkin muncul terkait beragam aspek dengan tujuan akhir memakmurkan dan memberikan keamanan kepada seluruh elemen bangsa.

Tujuan akhir tersebut tidak akan dapat tercapai dengan adanya disparitas di Indonesia. Indeks Gini Indonesia yang tercatat pada September 2020 berada di angka 0.385, berdasar data BPS yang dilansir pada februari 2021 (bps.go.id). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat disparitas di Indonesia masih terbilang tinggi. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik terkait disparitas yang sifatnya multi spektrum. Kembali kepada tujuan negara itu sendiri yang seharusnya memiliki kekuatan untuk meredam konflik, dan merupakan solusi dari konflik, maka diperlukan langkah strategis terkait kekuatan nasional sebagai asupan pemerintah.

Indonesia dan Kekuatan Maritim

Indonesia sebagai bangsa maritim merupakan negara yang terdiri dari pulau – pulau, dimana laut adalah sumber vital masyarakat Indonesia. Laksamana TNI Dr. Marsetio dalam tulisannya menyampaikan bahwa ketahanan nasional merupakan kunci keberlangsungan kehidupan sebuah negara. Dalam melaksanakan upaya ketahanan nasional, diperlukan gabungan berbagai elemen yang ada di dalam Trigatra dan Pancagatra, dimana perspektif kemaritiman dapat digunakan sebagai sebuah pandangan (Marsetio). Disamping itu Alfred Thayer Mahan pernah menulis bahwa ada enam elemen penting dalam Sea Power, diantaranya adalah Geographical Position, Physical Conformation, Extent of Teritory,

Number of Population, National Character, dan Character of Government (Mahan: 1890). Oleh karena itu keterhubungan antara ketujuh hal tersebut akan memiliki peranan penting dalam mendefinisikan kekuatan laut Indonesia sebagai instrumen untuk meingkatkatkan kababilitas kemaritiman Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan dalam aspek yang beragam.

Apabila melihat dari ketujuh hal tersebut Indonesia dapat dikategorikan memiliki kekuatan laut yang besar. Jokowi dalam pidato pelantikannya sudah menegaskan bahwa Indonesia secara pendasaran kesamaan kebudayaan akan kembali kepada budaya maritim dengan Samudera, laut, selat, dan teluk sebagai masa depan. Visi pemerintah ini memberikan karakter bangsa yang sangat peduli terhadap kekuatan laut Indonesia, dimana sudah saatnya Indonesia kembali kepada kemaritiman sesuai dengan semboyan nenek moyang. Hal ini menjadi finalisasi arah langkah Indonesia dalam mengembangkan kekuatan maritim sebagai pandangan Indonesia kedepan yang terangkum dalam Poros Maritim Dunia (PMD).

Kekuatan Maritim dan Perekonomian Yang Inklusif

Indonesia memiliki pilar kebijakan kelautan terkait prinsip ekonomi biru. Dalam pilar ini tujuan dari kemaritiman jelas diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi di bidang kelautan yang terwujud melalui pembangunan berkelanjutan. Pembangunan tersebut memiliki sifat yang efisien bernilai tambah, inklusif, dan inovatif sebagai penunjang seluruh aktivitas ekonomi yang meliputi perdagangan barang, jasa, dan investasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (maritim.go.id)

Acemoglu dalam bukunya why nations fail pernah menulis bahwa salah satu cara untuk berkembang dalam lingkungan yang ekstraktif adalah dengan sedikit demi sedikit membangun institusi yang sifatnya inklusif di dalam model perkembangan yang eksklusif sehingga akan terwujud perekonomian yang inklusif (Acemoglu: 2012). Indonesia, guna mewujudkan visi PMD akan membutuhkan suntikan dana yang besar guna membangun infrastruktur kemaritimanya. Oleh karena itu bentuk kerja sama dengan negara lain, lembaga donor internasional dan organisasi internasional dibutuhkan untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur dalam negeri. Indonesia dapat menselaraskan hal yang positif secara inward dan menggunakan kekuatan budaya maritim indonesia yang sudah ada sebagai bargaining position.

Perlu disadari bahwa konsekuensi dari hal tersebut adalah peraduan kepentingan nasional dan kepentingan nasional negara,lembaga, dan atau organisasi penyuntik dana. Oleh karena itu

Indonesia perlu mengoptimalkan dan memberikan prioritas kepada infrastruktur atau program pengembangan yang akan dibangun. Hal tersebut dilakukan guna mendapatkan efek inklusif dari kemaritiman Indonesia dalam kerangka PMD. Bantuan tersebut bisa digunakan sebagai booster sektor maritim Indonesia, yang kemudian Indonesia dapat mengembangkan sisi strategis kemaritimanya. Seperti KEK misalnya (kawasan ekonomi eksklusif), sebagai salah satu pilar ekonomi maritim Indonesia yang tersebar di 12 titik Indonesia dari sabang sampai merauke (kek.go.id). Pada akhirnya kemakmuran akan tercapai dengan adanya ketahanan ekonomi berbasis budaya maritim, yang memiliki dampak terhadap kemakmuran rakyat sebagai alat untuk mereduksi konflik akibat disparitas di Indonesia.

Referensi

• Daryl Copeland (Feb 2, 2010). “Hard Power Vs. Soft Power”.

• Mahan, A. T. (1949). The influence of sea power upon history, 1660-1783. Boston: Little, Brown.

• Acemoglu, Daron, and James A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty. 1st ed. New York: Crown

• Makalah Laksamana TNI Dr. Marsetio – AKTUALISASI PERAN PENGAWASAN WILAYAH LAUT DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM YANG TANGGUH

• http://kek.go.id/

• https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/02/15/1852/gini-ratio-september-2020-tercatat-sebesar-0-385.html

Isna Fachrur Rozi, M.Han