Ancaman Radikalisme dan Urgensi Pembangunan Karakter di Wilayah Siber

Oleh: Meitty Josephin Balontia,M.Han, Binus Bandung

Lone wolf merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada pelaku aksi terror yang tidak terorganisir atau bergerak sendiri. Di Indonesia, aksi terror yang melibatkan lone wolf sudah ditemukan sejak tahun 2015 yakni, pada kasus bom Mall Alam Sutera. Setelahnya, masih ada kasus yang melibatkan lone wolf seperti bom panci di Bandung, bom Pos Polisi Kartasura, serangan bom di Markas Polisi Medan, serta Serangan di MABES POLRI pada 31 Maret 2021 lalu. Aksi-aksi tersebut dilakukan oleh pelaku tunggal yang tidak terafiliasi dengan jaringan terorisme manapun. Meskipun jarang terjadi di Indonesia, namun kasus-kasus di atas perlu penanganan serius. Hal tersebut berangkat dari fakta bahwa pelaku lone wolf adalah pihak yang terpapar paham radikalisme. Paham radikalisme di Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu persoalan besar. Di tengah perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat, para penganut paham radikalisme ikut mendapatkan akses untuk memperluas ajarannya. Perluasan ajaran radikalisme dengan menggunakan sosial media kemudian menjadi ancaman nyata yang perlu diantisipasi. Radikalisme menjadi ancaman nyata karena aktivitas terror baik yang dilakukan oleh sekelompok orang maupun individu (lone wolf) selalu dipicu oleh paham tersebut. Dengan kata lain, hadirnya aktivitas bermuatan terorisme pertama-tama diikuti oleh kemunculan serta internalisasi paham radikalisme itu sendiri.

Kementerian Pertahanan dalam Buku Putih Indonesia Tahun 2015 menyebutkan bahwa salah satu ancaman nyata negara Indonesia adalah terorisme. Masuknya terorisme ke dalam ancaman nyata negara membuat pemerintah Indonesia perlu memikirkan strategi pertahanan yang tepat untuk mengantisipasi adanya ancaman tersebut. Strategi pertahanan suatu negara harus dibentuk dengan berdasarkan pada pemetaan ancaman yang ada. Adanya ancaman radikalisme menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan ideologi yakni, Pancasila. Pembangunan karakter berbasis nilai Pancasila kemudian menjadi salah satu strategi untuk melawan paham radikalisme yang justru banyak menyasar generasi muda Indonesia. Pembangunan karakter berbasis nilai Pancasila tidak lepas dari usaha pemerintah untuk meningkatkan semangat nasionalisme khususnya, bagi generasi muda. Semangat nasionalisme inilah yang menjadi senjata utama mengantisipasi meningkatnya paham radikalisme.

Persoalannya, usaha pemerintah untuk menekan paham radikalisme semakin ditantang dengan cepatnya arus informasi yang masuk melalui berbagai media. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Lingkungan siber kemudian menjadi wadah perjumpaan manusia dengan berbagai nilai asing, termasuk didalamnya radikalisme. Ancaman radikalisme dengan demikian, melebar ke lingkungan siber. Beberapa kasus lone wolf yang pernah terjadi misalnya, berasal dari pertemuan pelaku terror dengan paham radikalisme di wilayah siber. Penyebaran ajaran radikalisme di media sosial jauh lebih berbahaya karena dapat mempengaruhi individu untuk melaksanakan aksinya secara tunggal. Aksi terror tunggal merupakan aksi yang datang secara tiba-tiba. Kita akan menjadi sangat sulit mengantisipasi aksi terror jika aksi tersebut justru dilakukan oleh orang-orang yang tidak terduga atau yang tidak terafiliasi dengan organisasi teroris tertentu.

Hal di atas menunjukkan bahwa implementasi strategi pertahanan dalam penanganan ancaman radikalisme, juga perlu dilaksanakan di wilayah Siber. Pemanfaatan wilayah siber dalam penanganan paham radikalisme menjadi sangat penting direalisasikan salah satunya, dengan menjadikan wilayah siber sebagai wadah untuk mengembangkan nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa di kalangan masyarakat. Sebagai salah satu perpanjangan tangan pemerintah dalam mempertahankan ideologi bangsa, para pendidik khususnya, pendidik karakter di setiap tingkat pendidikan harus bisa memanfaatkan wilayah Siber. Dengan kata lain, harus ikut terlibat secara aktif menciptakan iklim ruang maya yang lebih nasionalis. Keterlibatan tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan memberikan konten-konten yang membangun hingga secara aktif, mengajak peserta didik untuk mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila serta budaya Indonesia itu sendiri. Dengan cara ini, kita dapat melawan narasi-narasi bernada radikal yang dapat saja menjerumuskan anak muda Indonesia.

Sumber:

Buku Putih Pertahanan Republik Indonesia Tahun 2015, Kementerian Pertahanan: Jakarta. 2015

Meitty Josephin Balontia,M.Han