Tiga Fondasi Dalam Mentaati Perintah Kasih
Oleh: Dr. Arcadius Benawa
Menyimak perintah kasih dalam Injil Lukas 6:27-38 ini rasanya mustahil. Betapa tidak? Bagaimana mungkin kita mengasihi musuh, berbuat baik kepada orang yang membenci kita; memintakan berkat bagi orang yang mengutuk kita; berdoa bagi orang yang mencaci kita. Apalagi memberikan pipi kiri, kita bila orang menampar pipi kanan kita, dan memberikan baju kita pada orang yang telah mengambil jubah kita. Memberi kepada setiap orang yang meminta kepada kita; dan tidak meminta kembali kepada orang yang telah mengambil kepunyaan kita.
Kalau mengikuti arus utama ajaran Yahudi yang berpegang pada hukum balas dendam atau ‘Ius talionis‘ memang mustahil. Namun, Yesus membawa ajaran yang sama sekali baru. Sebuah ajaran dan perintah yang tidak lazim bahkan juga untuk konteks zaman ini. Memang misi utama Yesus membawa ajaran atau hukum kasih, bukan hukum yang mengikat manusia dan menghukumnya.
Implikasi dari ajaran dan hukum baru yang dibawa Yesus itu adalah kita tidak mengikuti dorongan instingtif naluriah kodrat kita sebagai manusia. Nyatanya ada orang yang telah berhasil menjalankannya. Ambil contoh misalnya, Paus Yohanes Paulus II yang kemudian menjadi Santo Yohanes Paulus II. Beliau berhasil mewujudkan perintah kasih dari Yesus itu dengan mengampuni orang yang menembaknya di lapangan Santo Petrus. Bahkan Paus Yohanes Paulus juga mengunjungi Mehmet Ali Agca di penjara. Ia mengampuni dan memeluk dengan kasih orang yang berusaha membunuhnya, sehingga tidak ada lagi permusuhan, yang terbangun adalah persahabatan.
Contoh lain adalah Jean Valjean. Setelah dibebaskan dari penjara, ia hidup secara baru setelah ditolong oleh Uskup Mgr. Bienvenu yang menyadarkannya akan arti kejujuran, kebaikan dan belaskasih. Ia yang kemudian bernama Monsieur Madeleine adalah orang yang berhasil menjadi orang terkaya di Vigau dan menjadi walikota. Ia melakukan kebaikan kepada semua warganya. Ia membangun bengkel-bengkel kerja, rumah sakit, sekolah dan fasilitas lainnya. Namun seorang inspektur polisi, Kolonel Javert selalu mengejar dia dan ingin menjebloskannya dalam penjara. Di sinilah kisah utama Les Miserables mengalir. Orang yang selalu berbuat baik, namun diburu untuk dipersalahkan. Di Vigau, ia menolong Fantine, seorang pelacur yang punya anak di luar nikah. Di Paris ia memberi makanan dan pakaian kepada orang-orang miskin, gelandangan, anak yatim. Dalam situasi revolusi yang kacau, Valjean sebenarnya punya kesempatan untuk membalas dendam. Ia bisa saja membunuh Javert. Namun Valjean membebaskan dan mengampuni orang yang memusuhinya itu. Ia melepaskan Javert dari amuk dan amarah para pejuang revolusi.
Ada 3 pondasi untuk kita berpijak dalam mentaati perintah kasih dari Yesus. Pertama adalah salib Yesus. Bahwa Yesus menebus dosa kita tidak dengan cara lain selain dengan wafat di salib dan dari salib-Nya pula Yesus mendoakan dan mengampuni musuh-musuh-Nya: “Ya Bapa, jangan tanggungkan kesalahan ini pada mereka, melainkan ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Jadi, dalam salib Yesus itulah kita menimba daya kekuatan untuk mengasihi musuh-musuh dengan memaafkan, tidak mendendam.
Kedua, sebelum Yesus terangkat ke sorga, pergi kepada BapaNya, Ia menjanjikan kepada para murid Roh penghibur, Roh penolong, yakni Roh Kudus. Itu berarti kita harus lebih membiarkan Roh Kudus menolong dan menguatkan kita dalam mengasihi sesama dengan mengampuni kesalahan mereka. Bukan dengan mengandalkan kekuatan manusiawi kita. Ketiga, Yesus pergi kepada Allah Bapa-Nya untuk menyediakan tempat bagi para murid-Nya. Artinya, kita sebagai murid-murid Yesus diberi perspektif hidup kekal. Tanpa perspektif hidup kekal sia-sia-lah dan absurd hidup saling mengasihi dan mengampuni itu. Namun dengan perspektif akan anugerah kehidupan kekal, hidup menjadi powerful dan penuh harapan. Perjuangan memiliki arah dan tujuannya.
Semoga dengan tiga pondasi itu kita semakin bisa mengamini ajaran dan ajakan Yesus yang telah memberi contoh tentang hidup dalam kasih dengan rela mengampuni yang menganiaya bahkan menyalibkan-Nya, karena membiarkan diri-Nya dipimpin oleh Roh Allah sendiri sehingga kesatuan-Nya dengan Allah Bapa-Nya valid dalam memberikan jaminan kehidupan kekal bagi para murid yang setia mengikuti ajaran dan teladan-Nya.