Daud dan Sekularisme

Oleh: Dr. Arcadius Benawa

Dalam topik tentang Sekularisme pada pembelajaran CB Agama, salah satu sub-topiknya adalah strategi menghadapi godaan duniawi. Godaan duniawi sendiri popular dengan istilah  ta-ta-ta, yakni harta, tahta, dan seksualita. Umumnya “Ta” ketiga itu diasosiasikan ke “Wanita”, namun saya ganti seksualitas karena tidak realistis dan bias gender. Kaum feminis tentu akan marah-marah kalau Wanita pada dirinya disebut sebagai godaan. Pasalnya, dalam realitas memang godaan ketiga itu berkaitan dengan nafsu seksualita, sehingga tidak tepat dan terasa gegabah kalau menempatkan Wanita pada posisi sebagai godaan pada dirinya sendiri. Bahwa banyak pria tergoda oleh Wanita tidak boleh menjadi alasan untuk menempatkan Wanita sebagai godaan.  

Dalam menghadapi tiga godaan tersebut, disebutkan ada 3 strateginya. Pertama, kita perlu menggunakan nalar/akal budi. Kedua, mengedepankan iman (relasi dengan Tuhan). Ketiga, menjaga satu sama lain (minim dengan tidak menjadi pemicu orang lain jatuh dalam dosa, apalagi menjadi pelaku dosa). Dalam 2 Samuel 11: 1-27 ada kisah menarik tentang Daud yang tergelincir jatuh dalam dosa. Dalam kisah itu kita diajak untuk merenungkan lika-liku laku Daud jatuh dalam dosa. Semua bentuk godaan masuk. Daud berkuasa. Daud berharta. Daud memiliki hasrat seksual. Pada saat mata kelelakiannya menikmati kemolekan leku liku tubuh Betsyeba yang memesona. Buyarlah iman dan nalar serta wisdom Daud untuk menjaga pagar ayu rumah tangga diri dan orang lain. Yang merangsek membakar dirinya adalah hasrat main kuasa demi nafsu birahinya terhadap wanita, dalam hal ini Wanita molek Bernama Betsyeba. Forget it dengan Uria orang kepercayaannya, seolah begitu gemuruh batin Daud yang telah dikuasai nafsu birahi. Singkirkan dia toh aku berkuasa! Itulah sebetulnya cermin dari impuls kita untuk jatuh atau menjatuhkan diri dalam dosa. Intinya, ketika kita malas berpikir tentang baik-buruk, manfaat-mudarat, untung-rugi; ketika kita males mengenakan iman: kita tidak mau memikirkan apakah tindakanku mengeratkan atau mengendorkan bahkan memutuskan relasiku dengan Tuhan; ketika kita menjadi mata gelap dalam menjaga tali silahturahmi, pertemanan, atau persaudaraan, maka ya sudahlah: ambyarrrr. Bubar tatanan moral ditabrak oleh nafsu seksualitas. Setanlah yang kemudian bersorak-sorai dan berjoget, ngibing ndang-ndutan, dst. Pesta sukacita merayakan kejayaannya.

Oleh karena itu, marilah kita bercermin pada diri kita masing-masing! Seperti apa aku telah memaksimalkan penggunaan anugerah Tuhan yang berupa nalar/akal budi, iman, dan rahmat persaudaraan/pertemanan/kekerabatan? Atau, kita main EGP, peduli amat? Amat aja nggak peduli. 

Dr. Arcadius Benawa