Walau Kakinya Hanya Satu
Oleh: Christian Siregar
Entah siapa namanya, sepertinya itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah apa yang ia lakukan dalam bekerja dan bagi dua anaknya yang masih kecil.
Ibu berkaki satu dengan tongkat itu adalah seorang pemulung yang setiap hari kulihat berjalan tertatih mendorong gerobak sampahnya melintas seputar komplek. Apa saja sampah rumah tangga dan toko dikumpulkannya; benda berbahan plastik, kaleng, kertas koran, kardus, dll. semuanya serba bekas. Semuanya ditumpuk rapih dalam gerobak yang berfungsi sekaligus tempat bermain dan tidur kedua anaknya.
Pernah aku ngobrol dengan ibu itu saat dia sedang mengaso di pelataran toko di seberang rumahku. Aku kepoh bertanya soal keluarganya, suaminya, penyebab kecatatan fisiknya, diapun hanya terdiam. Tidak menangis, tidak pula bersuara. Hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Saat kuberi sejumlah uang sekadar tanda empatiku, dia menolak dengan cara sopan. Aku jadi penasaran. Kutanya, kenapa, bu? Rupanya bagi dia, pantang menerima upah tanpa bekerja. Selama saya masih kuat, saya akan bertahan, juga untuk anak-anak saya. Kata-kata penuh keyakinan itu diucapkannya tanpa terbersit keraguan sedikitpun. Itu prinsip hidupnya. Aku menghormatinya, itu haknya.
Dalam CB Agama, topik 13 tentang makna religius kerja, dijelaskan bahwa karakter orang yang religius itu tidak semata ditentukan oleh kerajinan atau rutinitasnya dalam beribadah; berdoa harian, ikut ibadah mingguan atau kewajiban menjalankan sholat 5 waktu secara konsisten. Akan tetapi, ditentukan juga oleh perilakunya dalam bekerja; apakah seseorang itu jujur, disiplin, rajin, kerja keras, mau bekerja sama, suka menolong rekan kerja, peduli, dsb. Bagiku, ibu pemulung dengan satu kaki itu sudah menunjukkan indikator religiositas paling utama dalam bekerja, yaitu integritas dan kerja keras. Nilai karakter yang cukup langka di tengah perilaku korupsi yang marak dalam dunia kerja dan justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya lebih sempurna.
Ibu satu kaki itu menunjukkan bahwa karakter religious seseorang tidak melulu ditentukan oleh penampilan fisiknya atau atribut keagamaan yang dikenakan, tapi oleh suara dan sikap hatinya.