Toleransi Agamawan Sejati (The Accountable Faith)

Oleh: Kristan, SE, M.Ag

Membina diri adalah merupakan pengembangan harkat kemanusiaan kita, dimulai dari diri sendiri, lalu keluarga, meningkat pada tingkat kerabat, lalu masyarakat kemudian menuju tingkat negara dan akhirnya seluruh dunia. Membina diri merupakan ibadah yang paling utama dan merupakan suatu tema sentral. Karena manusia adalah makhluk sosial tidak ada manusia yang hidup untuk dirinya sendiri saja.

Seorang agamawan sejati akan selalu peduli terhadap nasib bangsa dan negaranya. Karena hidup beragama bukan hanya masalah kerohanian semata atau lebih sempit pada masalah seputar ibadah saja, melainkan mencakup ajaran sosial, teologi, filsafat, dsb. Sesuatu yang sangat luas yang harus diaplikasikan bagi dunia kita bersama.

Dalam meyakini suatu ajaran kita sebetulnya tidak perlu mengklaim sebagai pihak yang paling benar atau bahkan merasa sebagai satu-satunya yang paling benar. Kita sepatutnya merasa senang apabila jalan yang ditapaki oleh pihak lain pun sama benarnya dengan kita. Bukankah semakin banyak pihak yang menemukan jalan yang benar kita akan menjadi semakin bergembira. Karena kita ingin agar semua manusia selamat bahkan tidak ada yang tertinggal walaupun hanya satu orang saja.

Pada zaman dahulu semula kajian dan pengajaran suatu agama atau ajaran biasanya hanya dilakukan oleh para agamawan/rohaniwan. Tujuan pengajaran tersebut terutama untuk menanamkan keyakinan pada orang lain akan kebenaran ajarannya. Pendekatan semacam ini sangatlah bersifat apologetic, kadang para rohaniwan tersebut sering kali terjebak pada upaya meyakinkan orang lain bahwa ajarannya saja yang paling benar dan sempurna sedangkan ajaran lain keliru, tidak lengkap atau ada saja cacat celanya.

Umumnya agamawan yang demikian sangatlah anti kritik, minatnya hanyalah bagaimana menduplikasi orang lain dengan keyakinan dan prilaku yang sama dengan dirinya. Mereka berharap agar orang lain berfikir dan berprilaku sebagaimana ia berprilaku.

Tujuannya adalah tidak lebih dari sebuah reproduksi, sikapnya sangat tidak menyukai perbedaan dan tidak toleran sehingga selalu penuh kecurigaan. Toleransi yang hanya didasarkan pada kesediaan menenggang pada kehadiran pihak lain adalah toleransi yang semu, karena toleransi yang sejati adalah toleransi yang mencakup kesediaan untuk mengakui validitas pihak lain, setidaknya ada elemen kebenaran dari pihak lain.

Seorang agamawan yang sejati haruslah dengan bebas menerima kebenaran yang terdapat dalam pihak lain dan juga mungkin menolak sudut pandang yang keliru yang ada dalam ajaran yang dihayati oleh dirinya setidaknya sebagai diri pribadi.

Hakikat dari agama adalah merupakan suatu kritik. Para Nabi dan Rasul datang dengan membawa suatu konsep masyarakat yang ideal. Maka tentu saja ada kesenjangan antara kondisi yang aktual dan ideal.

Fungsi dari agama adalah memperkecil kesenjangan tersebut. Agar kondisi pribadi maupun sosial mendekati model ideal yang dimaksud dalam ajaran agama. Seorang agamawan harus terus mengungkapkan kritik yakni menjelaskan kebenaran, karena kritik adalah merupakan pengungkapan kebenaran bukan merupakan pengungkapan suatu kesalahan.

Terbongkarnya suatu kekeliruan akibat dari sampingan, sama sekali bukan tujuan karena tujuan seorang agamawan adalah melakukan perbaikan yang nyata. Jika ia berhenti melakukan hal-hal tersebut maka mungkin ia sudah meninggalkan misi keberagamaannya.

Confucius mengatakan bahwa manusialah yang harus mengembangkan agama, bukan sebaliknya. Maksudnya manusia diberikan tanggung jawab untuk turut merumuskan panduan menuju ketertiban pribadi dan masyarakat. Karena Tuhan telah memberikan kebenaran yang telah tertanam pada fitrah manusia, aktualisasinya menjadi tugas kita sebagai manusia.

Setiap orang mendapatkan kodrat kebaikan yang menjadi mandat pribadi dari Tuhan. Oleh karena zaman terus berkembang maka cara manusia dalam merespon perkembangan dunia pun harus disesuaikan dari waktu ke waktu, dengan kata lain bahwa setiap individu dipanggil untuk menjadi manusia yang berhati nurani dan bertindak akali. Maka dengan begitu agama dipandang menjadi faktor yang dinamis.

Sayang sekali para agamawan kadang cenderung lebih melihat organisasinya sebagai kelompok sosial semata bukan memandangnya sebagai kelompok manusia yang beriman. Mereka melihat ummat dari agama lain sebagai objek buruan, yang biasanya diusahakan untuk menyeberang ke dalam kelompoknya.

Ummat lain dipikat, dibujuk diberi insentif, bahkan jika perlu dipaksa untuk beralih agama. Mereka berlomba-lomba menunjukan bahwa ummatnya lebih megah dan hebat, jadi kalau dilihat hal ini lebih mirip pada pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh partai politik, dimana kegiatan dan misi penyebaran agama menjadi suatu bentuk kampanye.

Jika semua kelompok berfikiran demikian maka pantaslah bentrok dan benturan kebencian tidak akan ada putus-putusnya. Agama adalah persoalan pengembangan batin dan kualitas kemanusiaan. Agama adalah urusan dirimu pribadi dengan Tuhan yang diwujudkan dalam sikap kemanusiaan.

Maka dari itu seorang manusia yang unggul dan sejati akan mengetahui secara persis dengan apa yang diyakininya [ know what you believe ] dan menyadari serta memahami dengan sepenuhnya mengapa ia mempercayai sesuatu [ why you believe ], dengan begitu seseorang barulah dapat menjadi individu yang matang dan independen yang dapat berinteraksi secara arief dan cerdas, karena ia telah memiliki iman yang dapat dipertanggung jawabkan [ accountable faith ].

Oleh: Kristan, SE, M.Ag (Dosen Character Building, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)