Tentang Menjadi Manusia Menurut Confucius

Oleh: Kristan, SE, M.Ag

Tujuan utama Confucius adalah untuk mendidik murid-muridnya menjadi seorang manusia sejati dengan pengetahuan dan moral yang berkualitas tinggi. Dia menyarankan bahwa karier yang terbaik untuk manusia sejati seperti itu adalah sebagai pegawai pemerintahan yang bekerja untuk kepentingan rakyat banyak sehingga menghasilkan dunia yang lebih baik. Dengan alasan itu, Confucius melatih sebuah grup elit bukan berdasarkan atas kekayaan atau latar belakang keluarga, tetapi berdasarkan kemampuan dan integritas moral mereka. Kriteria untuk memilih muridnya adalah pandai, serta mempunyai keinginan dan semangat untuk belajar.

Confucius banyak membahas kualitas seorang manusia sejati (Junzi):

Seorang manusia sejati haruslah rendah hati, murah hati, berwawasan luas dan baik hati.

Seorang manusia sejati mengerti apa yang adil dan benar; orang yang picik hanya mencari keuntungan.

Seorang manusia sejati menolong sesamanya untuk menyadari potensi mereka dan tidak mengikuti temannya berbuat jahat; orang yang picik berbuat sebaliknya.

Seorang manusia sejati khawatir tentang ketidakmampuannya, bukan apakah orang lain menghargai kemampuannya atau tidak.

Seorang manusia sejati menuntut dirinya sendiri; seorang yang picik menuntut orang lain.

Seorang manusia sejati mempunyai lingkungan sosial yang luas; orang yang picik hanya menjadi pengikut.

Seorang manusia sejati mula-mula akan mempraktekkan apa yang dia katakan, kemudian mengatakan apa yang dia praktekkan.

Seorang manusia sejati lambat berbicara tapi cepat dalam bertindak.

Suatu ketika Confucius bertanya kepada murid-muridnya tentang angan-angan mereka. Zilu tanpa ragu-ragu berkata, “Ambisi saya adalah seperti ini: Misalnya sebuah kerajaan yang memiliki seribu kereta perang diduduki oleh kerajaan yang lebih kuat dan sedang menderita kelaparan. Saya akan mengatasi masalah mereka dalam waktu tiga tahun.”

“Berikan saya sebuah negara kecil,” kata Ran Qiu, “Saya akan membuat warganya menjadi kaya dalam waktu tiga tahun. Tapi untuk sopan santun dan menghargai musik, saya serahkan pada orang lain.”

“Saya ingin menjadi pimpinan acara yang mengatur bermacam-macam ritual di tempat umum dan konverensi diplomatik,” kata Gongxi Hua.

“Saya khawatir keinginanku berbeda dengan kalian,” kata Zeng Xi yang terakhir mengungkapkan keinginannya. “Ketika musim semi datang, saya akan mengenakan baju santai, mengajak beberapa teman pergi berenang di sungai. Kemudian saya akan menikmati kesegaran udara hutan, dan kembali ke rumah, bernyanyi dengan riang.”

“Kedengarannya sangat bagus,” senyum Confucius. “Saya paling menyukai angan-anganmu.”

Zilu bertanya apa angan-angan Confucius.

“Memberikan kenyamanan bagi yang tua; berlaku setia kepada teman dan menghargai yang muda,” jawab sang guru.

Pada suatu hari seorang penjual ikan ingin memberi Confucius seekor ikan sebagai hadiah. Pada mulanya Confucius menolak.

“Hari ini saya sudah menjual semua ikan saya kecuali yang satu ini,” kata penjual ikan. “Hari ini hangat. Daripada membuangnya, saya pikir saya sebaiknya memberikannya sebagai hadiah.”

Confucius berterima kasih kepada orang itu dan menerima ikannya. Kemudian dia menyuruh muridnya untuk membersihkan ruangan, karena ia ingin memberikan ikan itu sebagai sesaji kepada Tian Yang Maha Esa.

“Ini adalah ikan yang hampir dibuang seseorang,” salah seorang muridnya tidak setuju. “Kenapa anda ingin memberikannya kepada Tian?”

“Jika seseorang mengerti beramal dan memberikan apa yang tidak dia butuhkan,” kata sang guru, “dia seharusnya dihargai sebagai seorang suci. Sekarang saya telah menerima hadiah dari seorang suci, bukankah saya dapat mempersembahkannya kepada Tian?”

Bakti kepada keluarga adalah topik penting yang sering dibahas Confucius. “Di rumah hormatilah orang tuamu. Ketika kamu pergi dari rumah, hormatilah orang yang lebih tua. Jujurlah selalu. Cintailah teman-temanmu, dan cintailah apa yang baik. Kemudian teruslah belajar selama kamu masih mempunyai waktu dan tenaga.”

“Janganlah membuat orang tuamu khawatir kecuali ketika kamu sakit,” Confucius menasihati muridnya. “Ingatlah selalu usia orang tuamu dan jadikan kesenioran mereka menjadi kebahagiaan dan juga penghormatanmu.”

Sebagai seorang yang kaya oleh etika dan sopan santun, Confucius menghargai perayaan keagamaan sebagai bagian dari adat yang baku. Tetapi dia tidak pernah berbicara mengenai setan, supranatural, hal-hal gaib dan aneh. Dia berkata, “Kita tidak memahami kehidupan; bagaimana kita dapat mengerti kematian? Kita belum sepenuhnya memahami kewajiban kita pada orang yang masih hidup, bagaimana kita mengetahui kewajiban kita pada orang mati?” Untuk menghabiskan waktu, Confucius gemar memancing, tetapi hanya mau menggunakan kail, dan bukan jala. Dia suka berburu, tapi tidak mengincar burung yang sedang beristirahat karena dia merasa itu tidak adil bagi binatang tersebut.

Pada suatu hari, kandang kudanya terbakar. Ketika dia kembali, dia bertanya apakah ada orang yang terluka. Dia tidak menanyakan mengenai kuda-kudanya.

Pagi mendengar jalan suci, sore mati pun ikhlas

Kristan, SE.,M.Ag