Makna kemerdekaan Dalam Islam
Oleh: Sukron Ma’mun, S.Ag.M.A
Secara etimologis tidak ditemukan kata atau kalimat yang menunjuk secara langsung kepada makna dan pengertian kemerdekaan di dalam al-Qur’an, apalagi dengan menggunakan term kata al-hurriyyah ataual-Istiqlal. Namun bukan berarti al-Qur’an tidak menyinggung masalah ini. Banyak ayat yang secara implisit menjelaskan pengertian kemerdekaan tersebut, terutama substansi ayat yang memiliki hubungan dengan kemerdekaan dalam dimensi yang luas dan penegakan hak-hak asasi manusia. Kemerdekaan secara substansial dikaitkan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Sebagai makhluk yang dimuliakan manusia memiliki hak-hak dasar atas kemanusiaannya. Berkaitan dengan nilai kemuliaan manusia, Allah swt berfirman di dalam surat al-Isra ayat 70 sebagai berikut :
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Berdasarkan ayat tersebut Allah swt menyatakan tentang penghormatan-Nya kepada Bani Adam dan kemuliaan yang diberikan-Nya kepada mereka. Dia telah menciptakan mereka dalam bentuk yang paling baik dan paling sempurna di antara makhluk lainnya (QS 95 : 4). Manusia lebih utama daripada makhluk hidup lainnya, bahkan berdasarkan ayat ini pula dapat dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan manusia di atas malaikat. Disamping itu, nilai keutamaan manusia adalah karena Alah telah menganugerahkan akal yang dengannya manusia memperoleh pengetahuan. Dengan pengetahuan yang dimiliki maka manusia akan terbebas dari penjajahan dan penindasan dari manusia lain. Selama manusia terbebas dari penjajahan dan penindasan maka saat itu pula manusia memperoleh kemuliaan. Namun jika kemerdekaan hilang dan manusia dalam penindasan maka saat itu pula mereka mendapatkan kehinaan. Firman Allah SWT di dalam surat an-Naml ayat 34 menggambarkan tentang efek buruk penjajahan :
Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.
Ini adalah persepsi Ratu Bilqis dan bisa jadi manusia secara umum melihat kenyataan yang pernah terjadi memang demikian, meskipun hal itu, belum tentu terjadi ketika penguasa yang memasuki suatu negeri itu adalah penguasa yang beriman kepada Allah SWT, seperti baginda Nabi Sulaiman, faktanya dalam kasus ini persepsi Ratu Bilqis keliru. Karena faktanya Nabi Sulaiman ketika memasuki Negeri Saba tidak membuat kerusakan disana dan tidak menjadikan hina penduduk setempat. Ia justru melakukan perbaikan-perbaikan dan memuliakan penduduknya.
Oleh karena itu, sebutan yang cocok buat mereka bukanlah al-isti’mar(penjajajah) akan tetapi al-Fatih(pembuka kejayaaan) karena memang demikian kenyataannya. Inilah yang membedakan antara orientasi orang-orang beriman dengan yang tidak. Dimana orang-orang beriman ketika memasuki suatu negeri bertujuan memerdekakan manusia dari penyembahan kepada selain Allah menuju kepada penyembahan kepada Allah dan menyelamatkan umat manusia dari perbudakan hawa napsunya. Sementara kelompok tidak beriman ketika memasuki suatu negeri maka mereka akan melakukan hal sebaliknya. Mereka akan menghina penduduknya merusak tatanan kehidupan sosialnya dan menjadikan hina penduduknya.