Belajar dari Pandemi Covid 19

Oleh: Dr. Arcadius Benawa

Sekarang pun masih ada orang yang tidak percaya kalau virus corona itu sungguh ada dan nyata. Bahkan yang tidak percaya itu bukan orang tidak berpendidikan. Saya tidak usah sebut nama dan gelarnya. Ada sebagian orang yang menolak diberi vaksin. Ada juga yang menolak ditest dengan dalih agar tidak menambah jumlah orang yang positif, karena dengan tidak test kan tidak ketahuan kita positif atau negative, dalihnya.

Ada yang minta ditunjukkan mana virusnya. Berita-berita  dianggap kebohongan belaka. Padahal data sebaran sudah begitu nyata disiarkan tiap hari oleh team satgas nasional Covid 19. Orang disuruh pakai masker saja susah sekali. Karena mereka tidak percaya. Orang hanya nyinyir bahkan menantang Tuhan.

Akhir-akhir ini virus corona makin merebak. Angka kematian makin meningkat. Baru setelah ada anggota keluarga yang dipanggil Tuhan dan orang-orang terdekat terpapar covid, orang-orang diam tak berkutik. Apa harus sakit atau bahkan mati dulu baru orang akan percaya?

Orang-orang zaman ini membutuhkan bukti dan tanda. Kalau ada bukti dan tanda orang baru percaya. Apakah ruang-ruang ICU yang penuh bukan bukti? Apakah kematian yang terus meningkat bukan tanda? Apakah kuburan-kuburan baru yang terus bertambah bukan tanda? Harus dengan apa lagi orang-orang degil itu disadarkan?

Sosok Thomas dalam Injil menjadi cermin bagi kita untuk merenung susahnya menjadi percaya. Dia adalah pribadi yang tidak mudah percaya. Ia tidak mudah larut dalam euphoria percaya pada omongan orang. Ia membutuhkan bukti dan tanda.

Bedanya, ketidakpercayaan Thomas, murid Yesus ini bukan untuk meragukan Tuhan. Ia justru dalam rangka untuk meneguhkan imannya ia menuntut tanda. Nyatanya ketika Yesus menampakkan diri kepadanya, Thomas langsung speechless dan hanya bisa berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku.”

Tanda itu hanya sebagai sarana untuk meneguhkan dan meyakinkan imannya. Setelah Yesus menunjukkan bekas paku di tangan-Nya dan luka di lambung-Nya, Thomas langsung sampai pada inti imannya. Ia mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Allah.

Pada masa pandemi ini kita seperti Thomas yang bergumul dengan iman. Dalam situasi kritis ini kita sering butuh tanda dan bukti kehadiran Tuhan. Dengan pandemi ini kita bisa meniru sikap Thomas, bersujud dihadapan Tuhan dan mengaku, “Yesus, Engkaulah Tuhan dan Allahku.” Masihkah kita tidak percaya? Mestinya dengan menyaksikan bukti merebaknya sebaran kasus covid 19 dari hari ke hari, korban meninggal dan yang terpapar yang terus meningkat, mestinya membuat kita menyadari betapa kecilnya kita. Kita juga patut bersyukur bila masih dianugerahi sehat wal afiat. Mestinya ini menjadi kesempatan kita untuk bisa lebih peduli pada yang menderita entah karena sakit atau karena sedih ditinggal anggota keluarga yang meninggal. Di lain pihak kita juga perlu semakin lebih aware untuk menjaga kesehatan diri kita dengan menjaga imunitas tubuh dan kesegaran jiwa serta kematangan spiritual kita.

Pergi ke surabaya naik kereta

Hanya untuk beli nasi sambal belut

Jangan tantang Tuhan dengan minta tanda

Pandemi Covid ini tanda malaikat maut.

Dr. Arcadius Benawa