Ikatan Sosial Keluarga dan Ancaman Bunuh Diri di Masa Pandemi Covid-19
Oleh: Yustinus Suhardi Ruman
Salam satu dampak sosial dari pandemic Covid-19 ini adalah kecenderungan meningkatnya angka percobaan bunuh diri dan bunuh diri. Kencederungan ini terutama terjadi pada negara-negara berpenghasilan tinggi di Dunia.
Ada banyak alasan di balik bunuh diri ini. Kita bisa menjelaskannya dari sisi psikologi. Misalnya stress dan cemas.
Pada kesempatan ini saya ingin menjelaskan sedikit penjelasan sosiologis tentang bunuh diri. Studi sosiologi klasik membuat banyak kategori bunuh diri, termasuk salah satunya adalah bunuh diri altrusitik seperti yang terjadi dalam budaya hara kiri Jepang, atau yang terjadi pada prajurit saat berperang.
Namun, ada juga bunuh diri yang tidak dikehendaki, namun orang tetap melakukannya. Jenis bunuh diri ini secara sosiologis disebabkan karena terpisahnya seseorang dari ikatan sosialnya. Tentang ini saya ambil ilustrasi dari penelitian klasik tentang bunuh diri oleh Emile Durkheim.
Tentu, Studi ini dapat kita persoalkan, tapi yang saya maksudkan adalah bagaimana peran ikatan sosial dalam membantu kesehatan mental seseorang.
Durkheim menunjukkan bahwa semakin seseorang telepas dari ikatan sosialnya, semakin peluang bunuh dirinya lebih besar. Sebaliknya semakin seseorang terikat, atau terintegrasi dengan ikatan kelompok semakin kecil peluang bunuh dirinya.
Perbandingan antara pemeluk agama contohnya, Orang katolik ikatan sosialnya lebih tinggi dibandingkan protestan. Protestan jauh lebih terbuka, dan bebas. Dalam kedua agama ini, angka bunuh diri diantara orang katolik lebih rendah. Lalu jika dibandingkan katolik dengan agama yahudi, katolik lebih tinggi angka bunuh dirinya.
Orang yang menikah peluang bunuh dirinya lebih kecil dibandingkan dengan orang yang tidak menikah.
Semua masyarakat, semua agama mengajarkan bunuh diri itu dosa, dan oleh karena itu, dilarang. Namun mengapa kecenderungan bunuh diri dalam kelompok masyarakat agama itu berbeda, itu disebabkan karena ikatan sosialnya berbeda.
Studi pada tahun 1984 di Amerika Serikat antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Menunjukkan angka bunuh diri para orang kulit putih lebih tinggi dari pada orang kulit hitam. Orang kulit hitam cenderung hidup dalam kelompok-kelompok emosional.
Jadi sekali lagi teintegrasi dengan jaringan kelompok emosional sangat penting untuk meningkatkan kesehatan, kesehatan mental kita.
Selama masa Covid-19 angka bunuh diri pada masyarakat di negara berpenghasilan tinggi lebih besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat membuat hipotesis bahwa masyarakat dinegara berkembang seperti Indonesia. Jaringan dukungan sosialnya masih lebih baik jika dibandingkan dengan masyarakat di negara maju.
Relasi-relasi sosial di negara-negara maju bersifat impersonal. Orang dihubungkan karena fungsi mereka ditempat kerja atau fungsi mereka dimasyarakat.
Namun saat pemberlakuan PSBB, fungsi itu hilang. Mereka tinggal di rumah, tidak bisa ke mall sebagai satu-satunya ruang sosial bagi mereka untuk membangun relasi sosial yang personal di mana dukungan emosinal dapat dibangun.
Masyarakat berpenghasilan tinggi di negara-negara maju cenderung individual, hidup sendiri, dan bahkan tidak berkeluarga.
PSBB dengan demikian mendesak mereka pada titik dimana kehilangan relasi sama sekali. Kehilangan relasi sosial, berakibat kehilangan relasi dengan dunia ini. Alias mati bunuh diri.
Pesan bagi kita adalah kreatif membanguh jaringan-jaringan sosial, ikatan sosial, karena itu sangat membantu meningkatkan kesehatan mental dan sosial kita. Kelompok di sini dapat memiliki memberikan dukungan afeksi atau emosional pada seseorang.
Pentingnya Dukungan Keluarga di Masa Pandemi
Salah satu kelompok sosial utama yang sangat penting saat Pandemi dan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah keluarga. Keluarga memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah jaminan material dan emosional.
Keluarga melindungi dan mendukung anggota-anggotanya baik secara fisik, emosional maupun secara finansial. Dukungan ini biasanya dimulai sejak anggota keluarga tersebut lahir hingga ia mati. Keluarga bisanya merupakan kelompok sosial utama setiap pribadi. Selain itu, anggota keluarga pada umumnya hubungan yang intens dan bertahan lama antara satu dengan yang lainnya.
Keluarga Sebaga Kelompok Utama
Keluarga dapat diidentifikasi sebagai kelompok utama dan dimana ikatan-ikatan antara anggotanya dapat bertahan lama. Dalam kelompok utama ini setiap orang loyalitas yang sangat kuat dan bertahan lama. Setiap anggota dalam kelompok utama ini memiliki apa yang disebut sebagai primary relationship oleh Cooley.
Setiap anggota dalam kelompok utama ini bisanya banyak melakukan aktivitas secara bersama dan menghabiskan banyak waktu juga secara bersama. Dalam kondisi demikian, setiap anggota dapat saling mengenal satu dengan yang lainnya dengan sangat baik.
Relasi yang intens dalam kelompok utama ini memberi individu perasaan yang nyaman, tenang dan aman. Dalam kelompok utama ini, setiap anggota dapat menjadi diri mereka sendiri apa adanya, tanpa merasa kuatir untuk dinilai oleh yang lainnya. Keanggotaan dalam kelompok utama ini secara pasti menyediakan banyak keuntungan personal, baik dalam bidang keuagan maupun keuntungan emosional.
Bacaan
Macionis John J. (1989), Sociology, New Jersey: Prentice-Hall, Inc