Menelesik Kualitas Keguruan Kita

Oleh: Arcadius Benawa (Dosen Character Building, Universitas Bina Nusantara)

Tulisan reflektif ini terkait langsung dengan jatidiri penulis sebagai orang Jawa yang beragama Katolik dan mengajar Character Building, khususnya CB Agama. Maka tulisan reflektif ini merupakan gado-gado atas kedirian saya. Artinya, kalau saya bicara tentang guru wajar karena saya seorang guru walau karena di tingkat Perguruan Tinggi lebih disebut Dosen. Namun sosok guru bagamanapun adalah pemimpin. Minim pemimpin pembelajaran di kelas. Suka tidak suka seorang guru menjadi sorotan murid ataupun mahasiswa. Sebagai orang yang beragama Katolik maka saya dalam menghayati keguruan saya bercermin pada Yesus, Sang Guru sejati. “Mengapa kamu menyebut Aku Guru yang baik? Hanya satu yang baik. Kalau kamu menyebut Aku Tuhan dan Guru, hendaklah kamu melakukan apa yang Kuperintahkan kepadamu: kasihilah seorang akan yang lain.”

Sebagai seorang Jawa saya pun mengenal sosok guru yang diidealkan, tetapi juga dihujat dalam dunia perwayangan. Dialah Resi atau Begawan atau Bapa Guru Durna, yang menjadi guru para Kurawa dan Pandawa. Durna sangat piawai dalam ketatanegaraan dan keprajuritan. Tidak mengherankan kalau Durna menjadi guru tata negara dan olah keprajuritan. Ia pandai dalam strategi perang, dan tak tanggung-tanggung menghalalkan strategi yang licik. Selain itu, Durna sebagai guru juga acapkali bersikap oportunis. Artinya, apa yang menguntungkan bagi dirinya itulah yang dilakukan. Misalnya, ia lebih berpihak kepada Kurawa karena dengan demikian ia mendapatkan jabatan dan kedudukan di negara Hastina.

Waktu muda, Resi atau Bapa Guru Durna dikenal dengan nama Bambang Kumbayana. Ia bersikap angkuh dan sombong. Karena keangkuhan dan kesombongannya itulah ia dianggap tidak tahu tata krama, sehingga ia dihajar oleh Patih Gandamana sampai babak belur. Wajahnya rusak, hidungnya bengkok, badannya bungkuk, tangannya patah. Hanya satu tangan yang bisa digerakkan. Maka sosok seperti itulah Resi atau Bapa Guru Durna kemudian muncul dan dikenal dalam pewayangan. Bersama Sengkuni, Durna suka memprovokasi anak-anak Kurawa untuk melenyapkan Pandawa. Salah satu cara yang dia buat adalah menyuruh Bima (murid Durna yang sangat mengagungkan Bapa Guru Durna) mencari “Air Kehidupan” atau lebih dikenal dengan istilah “Banyu Suci Perwitasari”. Semula Bima diminta untuk mencarinya di hutan Dandakan yang terkenal angker. Binatang atau manusia yang masuk ke hutan itu bisa masuk tetapi pasti tidak bisa keluar dalam kondisi selamat. Namun ternyata Bima tidak menemukannya di hutan Dandaka itu tetapi Bima yang sakti itu tidak binasa. Ia kemudian melapor kegagalan misinya itu kepada Bapa Guru Durna. Oleh karena di dalam hutan Dandakan tidak berhasil ditemukan kemudian Bima disarankan untuk mencarinya  di dasar samudera raya.

Perintah itu maupun sebelumnya sebetulnya punya maksud terselubung yang sama, yakni melenyapkan Bima atau dikenal juga dengan nama Werkudoro sebagai salah satu kekuatan Pandawa. Di situlah keculasan Durna sebagai Bapa Guru. Artinya, ia bermaksud jahat, namun seandainya pun Bima berhasil, Durna tidak merasa rugi. Pasalnya, sebagai guru seolah dia bisa menunjukkan kepada Bima ilmu yang sangat tinggi tentang “Manunggaling kawula-Gusti” dengan menemukan Air Perwitasari tersebut. Dan kisahnya memang demikian. Bahwa setelah menenggelamkan diri ke dasar Samudera raya Bima bisa menemukan air perwitasari itu setelah ia berhasil membunuh Naga dengan Ajian Kuku Pancanaka, yakni dengan mencangap mulut Naga itu yang ternyata ketika mulut Naga itu dikuak memancarlah cahaya di telak sang Naga sebuah kantung berisi air yang kemudian diambil oleh Bima yang ternyata itulah Air Perwitasari.

Sebagai Dosen Katolik saya mengenal sosok Yesus Sang Guru sejati. Pernah suatu hari Yesus memperingatkan kepada murid-murid-Nya untuk waspada terhadap kaum Farisi dan para Ahli Kitab.

 “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan, tetapi tidak melakukannya.”Artinya, mereka itu bukan tipe guru yang patut “digugu lan ditiru” (menjadi panutan yang layak diteladani). Pasalnya, mereka suka mengikat beban berat di pundak orang, tetapi mereka sendiri tak mau menyentuhnya. Mereka hanya senang dipuja-puja orang. Mereka senang memakai baju kesalehan, berdoa dengan berteriak-teriak biar dilihat orang dan suka dipanggil Rabi.  Mulutnya berbicara suci tetapi tangannya merampas harta orang dan kakinya menginjak bawahan.

Ajaran Yesus jelas, “Siapa pun yang terbesar di antara kamu, hendaklah dia menjadi pelayanmu. Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.”

Oleh karena itu sebagai dosen Katolik yang menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Guru kita bisa dan layak berefleksi: Mau sombong dan licik serta oportunis seperti Bapa Guru Durna, atau sungguh menjadi Guru yang layak diandalkan dan diteladani melalui kepemimpinan yang melayani?