Hidup Bagaikan Naik Kereta Api

Oleh: Dr. Arcadius Benawa (Dosen Character Building, Universitas Bina Nusantara)

Kehidupan sering diumpamakan sebagai sebuah perjalanan. Saat kita dilahirkan ke dalam dunia ini, kita ibaratnya sudah harus duduk di dalam sebuah kereta kehidupan. Orang tua kitalah yang telah membelikan tiket untuk kita melakukan perjalanan entah untuk berapa lama dan berapa jauh. Sementara orang yang paling awal kita kenali dalam perjalanan itu adalah ayah dan ibu. Kita mengira serta berharap bahwa mereka selalu bisa mendampingi dalam perjalanan hidup kita. Namun dalam kenyataannya tidak seperti itu. Mereka bisa saja turun lebih dahulu di sebuah terminal pemberhentian, meninggalkan kita sendiri, sementara kita masih tetap harus melanjutkan perjalanan. Perhatian dan kasih sayang mereka, curahan hati dan pendampingan mereka yang begitu total dan mendalam tidak tergantikan, dan tidak akan bisa ditemukan lagi.

Namun demikian, ada pula orang kemudian naik dalam gerbong di mana kita ada. Mereka itu kemudian menjadi teman seperjalanan. Sebagian orang di antara mereka mempunyai arti yang khusus dan penting bagi kita. Di antara mereka itu adalah kakak dan adik kandung, ada pula saudara-saudara dan teman baik dan orang yang kita cintai, suami atau isteri dan anak-anak kita. Beberapa di antara mereka harus turun di sebuah stasiun mendahului kita dan meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam.

Kadang kala, dalam perjalanan itu ada penumpang yang penting dan mempunyai makna mendalam bagi kita malah duduk dalam gerbong yang lain. Kita mencoba untuk mendekatinya, akan tetapi sayang sekali, kita sudah tidak bisa duduk di sampingnya, karena sudah ditempati oleh orang lain. Namun demikian kereta mesti tetap berjalan terus.

Di antara orang-orang yang menjadi teman seperjalanan dalam kereta yang sama itu ada yang menikmati perjalanan dengan canda dan tawa penuh kegembiraan, sehingga perjalanan menjadi terasa cepat dan menyenangkan. Tetapi ada pula yang cemberut, sedih dan tegang, sehingga perjalanan terasa lama dan membosankan. Ada juga yang sibuk kian-kemari di dalam kereta, setiap saat siap membantu orang yang butuh dibantu. Ada banyak orang pula yang setelah turun dari kereta, masih selalu dikenang oleh para penumpang lain, karena kehadirannya sangat dirindukan, karena telah memberi sesuatu yang bermakna. Tetapi juga ada sebagian orang, ketika meninggalkan tempat duduknya, tak ada orang lain yang memperhatikan. Kehadirannya tidak mempunyai arti. Bahkan ada juga yang kehadirannya tidak diharapkan, karena mengganggu ketenangan, sehingga ketika dia meninggalkan kereta, penumpang yang lain malah bersyukur dan senang. Namun apa pun yang terjadi kereta tetap berjalan terus mengarah pada suatu tujuan.

Pendeknya, pelbagai macam pengalaman dan perasaan mewarnai perjalanan itu: kegembiraan, kesusahan, rasa memiliki, rasa kehilangan, impian, harapan, kekecewaan, perjumpaan dan perpisahan. Sedapat mungkin kita harus membuat perjalanan ini menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan dengan saling menolong, berbagi, peduli dan cinta. Kita memberikan dan melakukan yang terbaik, agar perjalanan terasa indah dan menyenangkan serta mengesankan. Dan pada saat harus turun dan meninggalkan tempat duduk, kita meninggalkan kenangan indah bagi mereka yang masih harus melanjutkan perjalanan dalam kereta kehidupan.

Teka teki dari kehidupan in adalah kapan dan di stasiun mana kita harus turun dari kereta?

Penumpang yang duduk di samping kita akan turun di stasiun mana dan kapan? Kapan dan di mana saudara-saudara dan teman-teman kita akan turun dari kereta? Kita tidak tahu dan tidak akan tahu.

Di masa pandemi Covid 19 in banyak orang harus turun untuk mengakhiri perjalanannya.

Aku sering berpikir demikian, ketika tiba waktunya turun kereta, apa yang masih kurasa berat untuk ditinggalkan? Aku pasti akan merasa berat meninggalkan orang-orang yang kucintai. Berpisah dengan isteri, suami, anak, saudara, teman, rasanya sulit, bahkan mungkin menyakitkan. Namun kereta mesti tetap berjalan terus.

Membiarkan istri dan anak-anakku berjalan seorang diri, rasanya tidak tega. Tapi aku mempunyai harapan bahwa di tempat pemberhentian akhir kita akan berkumpul bersama lagi dengan semua orang yang kucintai.

Ketika anakku mengawali perjalanan dalam kereta ini, dia tidak membawa apa-apa. Akulah yang harus memberinya bekal. Seandainya aku bisa memberinya sebuah koper yang berisi kisah-kisah cinta, kenangan-kenangan yang indah dan manis rasanya bahagia sekali.

Setelah aku turun dari kereta dan masih dikenang oleh para penumpang yang berjalan bersamaku dalam kereta, aku akan merasa senang dan terhibur.

Selamat melanjutkan perjalanan hidup di tahun 2021 ini. Tuhan selalu menyertai dan memberkati perjalanan kita. (Diadaptasi dari buku “The Train of Grace” karya Pater Leonardo Boff)