Bodoh VS Bijaksana

Oleh: Dr. Arcadius Benawa (Dosen Character Building Universitas Bina Nusantara)

Perumpamaan tentang Sepuluh Gadis ini oleh St. Mateus diletakkan dalam konteks pengajaran tentang akhir zaman. Yang menarik dari pengajaran tentang akhir zaman ialah bahwa Yesus selalu menampilkan dua orang atau kelompok dengan “nasib” yang berbeda: “Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, maka yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan; kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, maka yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan” (Mat 24:40-41); ada hamba yang setia dan bijaksana dan hamba yang jahat (Mat 24:45-51); ada hamba yang diberi banyak talenta dan bahkan ditambahkan sampai berkelimpahan, ada hamba yang diberi sedikit namun malah diminta lagi sehingga tidak memiliki apa-apa lagi (Mat 25:14-30); ada domba di sebelah kanan dan kambing di sebelah kiri (Mat 25:31-46). Dengan menunjukkan adanya binary opposition, bahwa selalu ada pasangan untuk segalanya: baik–jahat, sukses-gagal, bahagia–sedih, kaya-miskin, dan seterusnya, Yesus mau mengingatkan bahwa hidup ini merupakan pilihan. Sepanjang hidup kita harus memilih dan pilihan itu menentukan kualitas hidup.

Fokus perumpamaan ini bukan pada ritus perkawinan tetapi sikap para gadis pengiring. Yang membedakan antara gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh adalah perbedaan pola pikir (mind-set). Mind-set itu menentukan tindakan yang dipilih. Gadis-gadis yang bijaksana bertindak dengan hati-hati dan cermat. Mereka ingin menjalankan tugas yang dipercayakan dengan sebaik-baiknya sehingga seluruh waktu dipergunakan untuk mempersiapkan diri. Tidak ada waktu yang terlewatkan dengan sia-sia. Sedang gadis-gadis yang bodoh tidak serius mempersiapkan diri, menunda pekerjaan dan “nggampangke”, membiarkan waktu dan kesempatan berlalu tanpa arti. Persiapan itu membutuhkan waktu, memerlukan proses. Tidak ada persiapan kilat, jalan pintas atau akselerasi. Menunda dan menyia-nyiakan waktu adalah jalan menuju kegagalan. Dalam Mat 7:24 dan 7:26 perbedaan antara bijaksana dan bodoh terletak pada “melakukan” dan “tidak melakukan” Sabda Allah.

Memang dalam ay. 5 diceritakan bahwa semua pengiring yakni baik gadis-gadis yang bodoh maupun yang bijaksana “mengantuk dan tertidur”. Ungkapan ini hanya untuk menunjukkan lamanya waktu menunggu dalam ketidakpastian bukan menunjukkan kelengahan atau kurangnya kesiap-siagaan. Penolakan gadis-gadis bijaksana terhadap permintaan gadis-gadis bodoh agar bersedia membagikan minyaknya sangat masuk akal karena prosesi iring-iringan mempelai membutuhkan waktu yang lama. Seandainya membagikan persediaan minyaknya, mereka takut obornya tidak akan cukup menerangi sampai akhir perayaan. Bukankah lebih baik masih ada 5 buah obor yang dapat menyala sampai akhir pesta daripada 10 obor dinyalakan semua pada awal namun di tengah pesta semua padam karena kehabisan minyak? Bila obor mati di tengah prosesi tentu merupakan suatu aib yang sangat memalukan karena menunjukkan bahwa mempelai wanita tidak mempersiapkan diri dengan baik. Oleh karena itu, penolakan mereka untuk berbagi minyak adalah sikap yang bijaksana. Fokus perumpamaan bukan pada jawaban kelima gadis bijaksana, tetapi pada kerepotan dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh kelima gadis bodoh karena keteledorannya tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Dalam tradisi Perjanjian Lama, mempelai pria dipakai sebagai metafor untuk Allah dan bukan Mesias maka perumpamaan ini aslinya merupakan “Perumpamaan tentang Kerajaan Allah”. Pesan pokoknya : Kedatangan Kerajaan Allah itu seperti pesta perkawinan, merupakan saat keselamatan yang membahagiakan. Allah memberikan Diri-Nya sebagai anugerah. Setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menyambut-Nya. Mereka yang tidak mempersiapkan diri tidak akan diperkenankan mengambil bagian dalam Kerajaan-Nya. Dengan demikian perumpamaan ini aslinya merupakan ajakan untuk selalu siap siaga dengan bertobat dan memperbaharui diri agar pantas menyambut kedatangan Kerajaan Allah. 

Kemudian Gereja Perdana “mengaktualisasikan” perumpamaan ini dengan menerapkannya pada Yesus. Aktualisasi itu mengubah makna alegoris unsur-unsur perumpamaan asli lainnya: sepuluh gadis menggambarkan komunitas Kristiani yang sedang berharap; lima gadis bodoh menunjuk pada mereka yang tidak mempersiapkan diri menghadapi Parousia dan mengalami penolakan pada pengadilan terakhir; minyak lampu dan penolakan sharing cadangan minyak dimaknai sebagai perbuatan-perbuatan baik karena, keutamaan hidup yaitu menjadi pelaksana kehendak Bapa itu merupakan tanggungjawab pribadi dan tidak bisa dibagikan kepada orang lain; pesta perkawinan menggambarkan kebahagiaan surgawi; lima gadis bijaksana yang masuk ke dalam pesta perkawinan menjadi metafor mereka yang terpilih dan diperkenankan masuk ke dalam kebahagiaan surga.

Pada suatu ketika, setelah masa penantian yang panjang, semua umat manusia akan mendengar seruan, “Mempelai datang! Songsonglah dia!”. Yang masih menjadi misteri ialah kapan dan bagaimana peristiwa itu akan terjadi: melalui jalan atau cara manakah Allah menuntun hidupku sampai ke hadapan Putra-Nya? Sejarah hidup kita terjalin antara rahmat dan dosa, jatuh dan bangun, keberhasilan dan kegagalan, kebaikan dan keburukan, cinta dan kebencian. Setiap episode kehidupan menawarkan kesempatan dan perkembangan yang tidak terduga. Dan semua itu membawa kita pada penyempurnaannya di hadapan kaki Sang Pemenang Agung.

Dalam perumpamaan ini, kebijaksaan bukan sekedar pikiran, kecerdasan atau sikap batin, tetapi terutama adalah tindakan! Hidup dengan pelita bernyala artinya hidup dalam berbagai tindakan yang baik, benar dan suci, “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala“ (Luk 12:33-35). Hidup dengan membawa pelita selalu bernyala berarti hidup dengan cadangan minyak yang penuh: minyak pengurbanan, pelayanan, persaudaraan, cinta dan belaskasih. Kematian adalah tidur panjang. Bila Sang Mempelai membangunkan dari tidur panjang itu, kita telah siap mengikuti-Nya dengan pelita yang selalu menyala untuk memasuki bangsal pesta perkawinan. Apakah kita cukup menyediakan minyak setiap hari? Hari ini adalah saat “Kairos” (kesempatan yang tidak akan terulang) untuk mengisi botol cadangan minyak sebanyak-banyaknya.

Helena Frings adalah seorang gadis eksekutif muda dari Santiago, Chile. Pada usia 25 tahun dokter pribadinya memberitahu bahwa dia mengalami lemah jantung yang akut dan kesehatannya terus memburuk. Dari sisi medis diramalkan bahwa dia hanya bisa bertahan hidup selama 6 bulan. Helena kemudian memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan menjadi relawan pada sebuah LSM yang mendampingi masyarakat miskin kota. Cintanya kepada kaum yang lemah dan tersingkir itu ditunjukkan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam pelayanan. Karyanya mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional. Helena diundang ke New York untuk memberikan ceramah dalam forum pertemuan organisasi-organisasi sosial se dunia tentang programnya dalam mendampingi masyarakat miskin di perkotaan. Di New York itu dia berjumpa dengan seorang ahli jantung senior yang berhasil mengoperasi jantungnya dan Helena dapat disembuhkan dari penyakitnya. Helena Frings kembali ke Santiago melanjutkan karyanya pemberdayaan masyarakat pinggiran. Kedekatannya dengan kematian membuat Helena Frings mengubah arah hidupnya. Kematian ternyata justru memberikan makna baru dalam hidupnya.