Bijaksana di dunia maya
Oleh: Hari Sriyanto, S.Sos.,M.M (Dosen Character Universitas Bina Nusantara, Jakarta)
Perusahaan Microsoft mengeluarkan laporan tahunan terbaru yang antara lain mengukur tingkat kesopanan netizen atau pengguna internet dengan tajuk 2020 Digital Civility Index (DCI).
Survei diselenggarakan antara bulan April sampai Mei 2020, melibatkan 16 ribu responden yang terdiri dari kaum muda dan dewasa. Risiko netizen yang dimaksud termasuk paparan kabar hoax, ujaran kebencian, penipuan atau diskriminasi yang dialami di dunia maya. Diberlakukan skor dari 0 sampai 100, di mana makin rendah skor berarti paparan risiko online makin rendah, sehingga tingkat kesopanan di internet negara itu disimpulkan makin tinggi.
Netizen Indonesia termasuk yang diteliti dan menempati rangking bawah, dimana intinya, netizen Inonesia paling tidak sopan di Kawasan Asia Tenggara.
Menanggpi hasil survey tersebut sebagian netizen Indonesia marah dan menganggap survey tersebut tidak akurat. Sebagian netizen menilai hasil survey itu nyatanya sangat berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia. Umumnya netizen menilai hasil survei DCI, bertentangan dengan kondisi orang Indonesia, yang dikenal sopan. Sering kita mendengar bahwa sebagai orang timur, orang Indonesia menjunjung adat istiadat, tata krama, dan sopan santun.
Pada masyarakat kita mengenal kebiasaan saling menyapa, menunduk kepala tanda hormat, saling mengirim makanan antar tetangga, suka menolong dan karakter positif lainnya. Keyakinan itu tidak salah. Nyatanya, memang ada survei yang menyebut orang Indonesia paling murah senyum (The Smiling Report), orang Indonesia paling religius (Survei Gallup dan Abt Associate 2019, yang dirilis Pew Research Center.
Bahkan survei Charities Aid Foundation (CAF) tahun 2018 menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara yang paling murah hati di dunia dari 146 negara. Hal ituah yang membuat banyak netizen yang tidak setuju dengan hasil survey DCI.
Meski demikian, menurut hemat saya, hasil survey tersebut justru harus menjadi renungan kita bersama. Karena dalam kenyataaannya, survey yang dilakukan DCI tersebut bukanlah survey abal-abal, tetapi survey yang bisa dipertanggung jawabkan.
Harus diakui, dalam kenyatakannya, pada dunia maya, di Indonesia seringkali terjadi “peperangan” antar netizen, dengan menggunakan berbagai cara. Kita masih ingat saat pemilu presiden ataupun legeslatif, terjadi “perang antar pendukung” yang sangat sengit. Dalam “peperangan tersebut” muncul hoaks, makian, hujatan, ujaran kebencian dan kata-kata yang tidak pantas. Bahkan saat kontestasi hajatan polilik sudah usai, “perang tersebut” juga belum berakhir.
Survey dari Digital Civility Index (DCI) tersebut sesungguhnya merupakan sentilan bagi kita untuk lebih santun saat berseluncur di dunia maya. Sangat penting agar mata kita tidak berhenti pada judul pemberitaan, namun membaca hingga ujung isi berita, kalau perlu kita cari sumber primernya. Hal ini perlu dilakukan agar kita benar-benar mendapat informasi yang valid dan bukan hoaks.
Kita juga harus lebih berhati-hati dalam bertransaksi di dunia maya, agar tidak terjadi penipuan on line. Strateginya, jadikan literasi terkait penipuan online sebagai pintu masuk untuk mencegah hoax, dikriminasi, rasis, dan lain-lain. Seburuk apapun hasil survei, kita tidak perlu khawatir, tentunya dengan catatan selama tahapan-tahapan menuju pemberantasan hoax, penipuan online, ujaran kebencian, diskriminasi berjalan dengan baik. Kita harus bisa bersikap bijaksana saat berada di dunia maya. Sebaliknya, kita perlu khawatir jika masih menemukan SMS percobaan penipuan, serta ketidakadilan hukum terhadap pelaku hoax, diskriminasi dan rasis terjadi di depan mata.