TINJAUAN ETIKA ATAS PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK

by: Andy Gunardi

FENOMENA KAWIN KONTRAK

Di tengah banyak masalah sosial yang ada, fenomena kawin kontrak seperti sebuah lampu yang menyala buram, pudar cahayanya; ia kurang  dilihat dan kurang mendapat perhatian. Dalam perbincangan seputar masalah-masalah moral dan etika, ia dikalahkan oleh heboh masalah lain seperti kasus kloning, masalah pelacuran yang klasik itu, korupsi yang semakin membudaya dan lain sebagainya. Pada umumnya kita sudah berpikir bahwa fenomena ini jelas merupakan suatu penyimpangan terhadap lembaga perkawinan; dengan kata lain sudah jelas benar-salahnya dan tidak perlu diperbincangkan. Benarkah demikian? Apakah dari fenomena ini sungguh tidak ada sesuatu hal yang menarik untuk disimak dan digali lebih dalam? Apa tidak mungkin kita sebagai masyarakat dapat bercermin dan mawas diri  dengan adanya fenomena ini, mengingat permasalahan ini menyangkut suatu lembaga yang nantinya menjadi dasar terbentuknya keluarga, sel terkecil namun juga dasar (yang dapat menentukan perkembangan) masyarakat?  Jika hendak digambarkan, masalah kawin kontrak ini memang “serba tanggung dan menggantung”. Dari istilahnya saja sudah dapat ditangkap dengan jelas pertentangan yang ada di dalam fenomena itu: bukan sebuah perkawinan resmi, tetapi juga tidak dapat dikatakan sebagai sebuah praktek pelacuran begitu saja. Lalu, apa itu kawin kontrak? Apa bedanya dengan kawin resmi yang umum terjadi? Mengapa tidak dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pelacuran begitu saja?

Apa itu kawin kontrak? Kawin kontrak yang dalam bahasa Arab disebut kawin/nikah  mut’ah ialah nikah yang diberi jangka waktu, baik waktu yang telah ditetapkan (satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun) maupun yang belum ditetapkan (untuk sementara waktu).[1] Sejarah kawin mut’ah dalam sejarah Islam dapat dilihat dalam sunah Rassullah ketika terjadi perang Tabuk. [2] Pada saat perang Tabuk, para sahabat nabi berhari-hari bahkan berbulan-bulan berada di garis perbatasan antara jazirah Arab dan Romawi. Melihat keadaan itu, Rasullah memberikan kemudahan kepada para sahabat, katakanlah kawin kontrak. Tradisi semacam oleh sebagian sahabat masih diperbolehkan, misalnya oleh Ibnu Mas’ud dan Jabir bin Abdullah. Akan tetapi, pada waktu saman Umar bin Khatab tradisi semacam itu sudah dilarang. Dalam agama Islam sendiri, sampai saat ini masih ada dualisme terhadap tradisi ini: aliran Syi’ah memperbolehkan kawin mut’ah sementara aliran Ahlul Sunnah wal Jama’ah menolaknya. Sebagai catatan: hukum perkawinan Indonesia menganut aliran Ahlul Sunnah wal Jama’ah yang menolak kawin mut’ah.

Benarkah kawin mut’ah itu ada di Indonesia? Jika ada, bagaimana tanggapan masyarakat terhadapnya? Keberadaan fenomena semacam ini di tengah masyarakat dapat dilihat dari hasil wawancara terhadap sejumlah tokoh masyarakat. Menurut Dewi Motik Pramono, seorang pengusaha,”Siapa bilang kawin kontrak hanya di Indramayu? Wong ada di mana-mana, dari Bali, Singkawang, Jakarta, pokoknya kawin kontrak itu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.”Sementara itu, mantan hakim agung Bismar Siregar menyatakan bahwa kawin kontrak tidak hanya terjadi di daerah pinggiran atau pedesaan yang miskin ataupun banyak keterbatasan, justru di kota-kota besar lebih terbuka peluang untuk mengadakan kawin kontrak. Mantan hakim agung itu kemudian menambahkan bahwa keputusan untuk mengadakan kawin kontrak itu sebagian besar didorong oleh motif ekonomi. Namun demikian, ia pun tidak meremehkan motif lain yaitu rasa kesepian,”kemiskinan batiniah”, sebagai salah satu alasan yang cukup dominan. Menurutnya, kawin kontrak itu melanggar hukum agama dan undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Namun demikian, ia mengakui bahwa kawin kontrak sulit dihapus karena sudah begitu akrab dengan masyarakat, seperti budaya. Tokoh lain, yaitu Candra Kirana, mantan aktivis Green Peace, mengatakan bahwa cukup sulit mengungkapkan fenomena kawin kontrak itu. Menurutnya, permasalahan ini begitu kompleks sehingga tidak dapat dijawab ‘linier’. Menurutnya lagi, fenomena ini sudah ‘membudaya’ di sebagian masyarakat.

Hampir semua tokoh di atas mengakui keberadaan fenomena kawin kontrak ini di tengah masyarakat, tidak saja masyarakat desa/pinggiran tetapi juga masyarakat kota.  Mereka bahkan mengakui bahwa kawin kontrak sudah seperti “budaya” dalam  masyarakat.

Mereka yang berkomentar di atas tadi adalah orang-orang yang berada di “luar” permasalahan, dalam arti mereka tidak terlibat/mengalami langsung. Sekarang kita akan melihat tanggapan mereka yang memang mengalami langsung apa yang disebut kawin kontrak itu. Salah satu dari mereka bernama Ambar, seorang janda beranak satu berusia 30 tahun, dari daerah Indramayu. “Saya pernah kontrak dua tahun dengan orang asing dan setelah itu putus begitu saja, karena dia harus pulang ke negaranya. Pernah dia memaksa saya ikut tapi bagaimana wong dia sudah punya keluarga. Saya menolak.” Selain itu, ia juga mengatakan bahwa banyak temannya terlibat kawin kontrak dan bernasib sial. Alasannya: mereka punya anak dari perkawinan kontrak itu tetapi tidak dapat menuntut banyak. Menurut pengakuannya, ia sudah ‘kapok’ dengan pengalaman kawin kontraknya. Komentar lain berasal dari Mita, perempuan muda asal Solo, lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.”Mulanya iseng, tapi malah keterusan. Nongkrong di kafe atau di diskotek juga bukan kebiasaan saya, karena pergaulan bebas saya terjerumus. Nggak tahan banting, ketimbang rugi mendingan kawin kontrak dengan bule.” Ia mengkui menikmati perkawinan model itu, walau ia sadar bahwa ia berada dalam posisi lemah; secara hukum ia tidak dapat menuntut apa-apa. “Habisnya bagaimana lagi, toh dengan kawin kontrak saya bisa berlimpah materi dan tidak kekurangan,” katanya. Menyinggung soal anak,”Itu di luar program, tapi apa boleh buat, sudah terlanjur. Kandungan saya waktu itu sudah membesar dan nggak mungkin digugurkan walaupun sudah berusaha keras.” Bagaimana pertanggungjawaban pasangan ‘kontraknya’?”Menurutnya, pasangannya itu pergi meninggalkannya begitu saja:”Padahal anak ini anaknya, (tapi) saya tidak dapat menuntutnya karena masa kontrak keburu habis. Saya menikah dengannya bukan karena kepepet saya hamil, bukan itu. Tapi Hendar (sang pasangan) menawarkan kemewahan dan menjamin hidup saya.” Pengalaman yang hampir sama dialami oleh Sartinah, perempuan asal Indramayu yang berusia 23 tahun. Ia dikontrak oleh seorang pengusaha asal Jakarta setiap akhir pekan. “Saya nggak mikir, yang penting saya dapat duit tiap bulannya untuk membantu keluarga. Saya orang miskin, mau kerja bingung, wong cuma lulusan SMP.” Selanjutnya, Sartinah yang sehari-harinya bekerja di rumah dan malam harinya membantu teman menjajakan minuman di pinggir jalan itu, mengatakan,”…suami saya datangnya tidak tiap hari. Paling banter seminggu sekali bahkan sebulan sekali juga sering. Saya nggak banyak menuntut sama suami, karena saya sudah dikasih tahu, kalau statusnya cuma istri simpanan sesuai kesepakatan bersama.” Menyesalkah Sartinah dengan pengalaman kawin kontraknya yang masih berlangsung itu? “Menyesal apa wong menikahnya sah dan nggak melanggar agama. Saya ini punya suami meskipun tidak setiap hari ada.” Akan tetapi, kemudian ia menambahkan,”Sebenarnya malu, kalau mau jujur. Saya sudah pusing ndak karuan. Saya nggak ngerti apa maunya laki-laki itu. Kalau mau cerai, ceraikan saja.” Katanya lebih lanjut,”Wong saya sudah menikah tiga tahunan, tiba-tiba begini….” Dari hasil wawancara ini, motif ekonomi nampaknya menjadi motif yang paling menonjol bagi pihak perempuan untuk melakukan kawin kontrak. Mengapa kawin kontrak? Secara agama hal itu disahkan, begitu pengakuan Sartinah, walau ia tahu bahwa suaminya sudah punya keluarga di tempat lain.  Sebagian besar dari mereka merasa menyesal dengan pengalaman kawin kontraknya dan memandang lebih baik kawin secara resmi. Ada satu dari mereka yang berpendidikan tinggi; kiranya dia ‘melek’ hukum tapi toh tetap melakukan kawin kontrak juga.

Dari hasil wawancara di atas, nama daerah Indramayu disebut beberapa kali. Dari data yang ada, daerah ini mempunyai angka perceraian yang cukup tinggi. “Dalam sebulan sekitar 500 orang bercerai. Jumlah yang besar bahkan terbesar di Indonesia,” kata Humas Pengadilan Agama, Sulaiman. Untuk mengurus surat cerai, diperlukan biaya Rp. 200.00,- sampai Rp. 300.000,-. Bagaimana pandangan masyarakat terhadapa kawin-cerai yang kerap terjadi itu? “Kalau sering kawin-cerai berarti kita laku,” begitu ungkap Dartini, Darten, Titi, Suminah yang diwawancarai Media.  Di samping itu, daerah Indramayu tampaknya sudah terbiasa dengan fenomena kawin kontrak/kawin simpan (istilah setempat). Di beberapa tempat bahkan ada suatu pelembagaan tertentu untuk memudahkan hal itu terjadi: tersedia kyai yang dapat merestuinya dan proses keluarnya surat nikah-cerai dapat dengan cepat.

TANGGAPAN PRO-KONTRA

Pro

            Dalam suatu kondisi masyarakat dimana kemiskinan dan industrialisasi menjadi komponen pokok yang ikut mewarnai proses sosiologisnya, maka fenomena kawin kontrak merupakan hal yang dapat saja terjadi dengan sendirinya. Para pendatang sangatlah mungkin akan menderita “kesepian” dan juga membutuhkan suatu sarana pemuas ataupun pelepas ketegangan hidupnya yang dialami setiap hari. Dari gejala ini maka amat mungkin timbul aktivitas pelacuran yang memang muncul dari kepentingan yang berbeda : keinginan akan kepuasan (bagi para kaum pendatang dan keinginan/motif ekonomi bagi masyarakat/wanita setempat). Kawin kontrak dipandang lebih bernilai dibandingkan dengan pelacuran. Maka lalu orang berpendapat bahwa kawin kontrak dapat saja dibenarkan sejauh itu merupakan suatu usaha untuk menghindari maraknya pelacuran dan juga merupakan jalan untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Kawin kontrak tak dapat dinilai begitu saja buruk, karena dari akibat-akibat dan tujuannya justru bermaksud untuk memberi solusi atas permasalahan hidup manusia secara konkret dan sederhana. Memang bisa terjadi juga kawin kontrak dalam masyarakat yang relatif lebih modern, namun motifnya hampir sama yaitu untuk pemenuhan keinginan masing-masing pihak.

            Pandangan lain beranggapan bahwa kawin kontrak merupakan salah satu sarana dimana orang dapat saling mengenal dan “belajar” hidup bersama dalam suatu ikatan sementara yang nantinya, kalau dirasa cocok, dilanjutkan dalam pernikahan yang sebenarnya. Apabila di tengah jalan orang merasa tidak cocok maka keduanya dapat dengan bebas mengakhirinya sesuai dengan kontrak atau persetujuan yang telah disepakati sebelumnya.

            Bagi sebagian orang, ambil saja di daerah Indramayu, rupanya fenomena kawin kontrak ini dianggap merupakan suatu fenomena yang wajar dan biasa saja. Mereka, khususnya masyarakat dimana kawin kontrak menjadi “tradisi”, malahan menganggap hal ini merupakan suatu tolok ukur kehormatan, prestise dan harga diri seseorang, dalam hal ini pihak wanita. Tak sedikit yang merasa bahwa dengan kawin kontrak, dan selalu berganti pasangan, mereka laku dan dihargai.

Kontra

Selain pandangan yang menyetujui adanya kawin kontrak, banyak pula orang-orang yang menolak pandangan atau praktek kawin kontrak. Mereka menganggap kawin kontrak itu sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum agama (juga dari pihak islam sendiri, khususnya aliran ahlus Sunnah),melanggar undang-undang, dan mempersempit makna cinta pada kehidupan seksual belaka. Berikut ini akan dipaparkan pandangan-pandangan mereka.

1. Undang-undang

Menurut undang-undang tahun 74 Bab III, tentang Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia sub F kawin kontrak (kawin mut’ah) itu dilarang. Penolakan ini didasarkan pada tujuan perkawinan menurut pemerintah, yaitu untuk memperoleh anak yang sah, dengan mendirikan rumah tangga tetap, yang damai dan teratur. Untuk memperjelas hal ini ada sebuah contoh, yaitu tentang seorang wanita bernama Am. Wanita ini telah ditalak tiga (dicerai yang ketiga kalinya) oleh sang suami bernama Mhd. Talak tiga merupakan talak “bain” besar, yang berakibat sang suami yang telah menjatuhkan talak itu tidak boleh menikah lagi dengan mantan istrinya, kecuali bila wanita itu sudah kawin dulu dengan laki-laki lain dan telah bersetubuh dengan laki-laki itu dan ditalak olehnya dan habis masa iddahnya (masa tunggunya). Laki-laki ini dinamakan “muhallil” yakni orang yang membuat halal pernikahan baru antara suami yang lama dengan bekas istrinya yang telah ditalak tiga olehnya. Janda tadi kemudian menikah secara mut’ah dengan seorang laki-laki bernama Nr, mungkin atas permintaan sang mantan suami.  Perjanjian yang ada ialah perkawinan itu hanya berlaku satu hari dan satu malam saja dan setelah itu sang suami baru mentalak sang istri (menikah tanggal 4 Desember 1957 dan ditalak tanggal 5 Desember 1957).

Kemudian pada tanggal 19 Maret 1958 Am akan dinikah kembali oleh Mhd. Pernikahan antara Am dengan Nr merupakan nikah mut’ah yang dilarang oleh syari’ah, maka pernikahan itu dibatalkan oleh pengadilan agama Rembang dan Am dianggap masih janda dari Mhd[3].

2. Pandangan-pandangan dari Beberapa Pihak

A. Bismas Siregar, mantan hakim agung.

            Beliau sangat tidak setuju dengan kawin mut’ah, karena melanggar hukum agama dan undang-undang perkawinan. Untuk itu perkawinan seperti ini harus perlahan-lahan dibenahi.

B. Candra Kirana, mantan aktivis Green Peace

Kawin kontrak itu sudah membudaya di dalam masyarakat kita. Jika ada perkataan yang mengatakan sisi wanita dilemahkan dengan adanya kawin kontrak, kita perlu melihat lebih dahulu darimana kita memandang. Jika mau jujur , maraknya kawin kontrak bukan lantaran ketidaktahuan aparat yang menjabat di departemen, namaun adanya kecenderungan masyarakat yang memandang kawin-cerai sebagai hal yang biasa dan kawin kontrak ala Indramayu bisa direkayasa untuk mendapatkan surat yang resmi tentang pernikahan. Maka perlu adanya pembenahan dari pihak aparat dan masyarakat melakukan pembenahan dari bawah. Menyoalisasikan hukum ke tingkat masyarakat yang terendah sekalipun, supaya mereka tahu hukum dan bagaimana melanggar hukum. Masyarakat yang tinggal di pedesaan seringkali menjadi korban karena ketidaktahuannya.

3. Pandangan para ulama Islam

A. Dr Said Aqil Siraj, dosen IAIN Syarif Hidayatiullah, Jakarta.

Nikah itu ibadah dalam rangka mendirikan keluarga. Mendirikan keluarga sendiri adalah salah satu hak dari lima prinsip yang dijamin oleh islam. [4] Dengan demikian perkawinan untuk senang-senang itu tidak dibenarkan. Dr Said secara pribadi berpendapat kawin kontrak itu merusak sendi-sendi masyarakat, merusak keturunan, dan melecehkan wanita, karena kawin menurut mut’ah itu tidak memiliki idealisme dan hanya melepaskan hawa nafsunya saja.

B. Morteza Mutahhari.

Morteza mengkritik pemikiran Betrand Russel yang mengatakan  bahwa hubungan seks antar lawan jenis diperkenankan dengan syarat tidak mengandaikan kekerasan dan adanya keterjaminan kehamilan. Maka dapat dikatakan seks bebas diperbolehkan dengan catatan tidak ada unsur pemaksaan dan adanya keterjaminan wanita hamil.

Morteza berkata bahwa cinta itu tidak terbatas pada hubungan seksual belaka. Kebebasan seks merupakan suatu tindakan pelecehan  terhadap cinta. Menurutnya setiap pribadi dapat memancarkan cinta yan agung dalam dirinya. Kemudian rohaninya menjadi gelisah dan mencari ketentraman dalam diri atau dalam bayangan orang yang dicintainya. Di mana pasangan bercinta tetap berada bersama-sama, maka kasih sayang dan kebaikan timbal balik, maupun ketulusan dan kedamaian mungkin akan mereka pancarkan[5].

Dengan demikian dapat dikatakan bagi Morteza kawin kontrak itu jelas mereduksi makna cinta yang sesungguhnya, di mana cinta berarti saling membagi dan memberi dalam format mencari kedamaian antara satu dengan yang lain.

TANGGAPAN KRITIS

Dalam tanggapan kritis berikut ini, akan disampaikan suatu pandangan, yang berangkat dari prinsip-prinsip moral dasar yang berlaku untuk menilai apakah suatu perbuatan baik atau buruk,  tentang kawin kontrak. Pandangan ini tidak secara satu persatu menguraikan masalah dari masing-masing pendekatan etika yang ada namun dirumuskan dari prinsip-prinsip moral dasar yang dapat dikatakan sebagai suatu benang merah dalam rangkaian pendekatan-pendekatan etika yang ada.

Kawin kontrak dililhat dari segi moralitas tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dengan alasan kebudayaan, kemiskinan ekonomi, menghindari perzinahan atau sebagai sarana saling mengenal. Dengan menggunakan alasan-alasan yang bermotif ekonomi, menghindari perzinahan, budaya dan sarana saling mengenal sebelum mengikrarkan perkawinan yang sesungguhnya sekilas nampak bahwa kawin kontrak dapat dibenarkan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral universal. Walaupun tujuan dari kawin kontrak dipandang sebagai hal yang baik dan positif menurut argumen tersebut, tetapi secara moral tindakan tersebut tidak dapat begitu saja dibenarkan. Kalau kita lihat lebih mendalam dan kritis, kawin kontrak sungguh-sungguh merendahkan martabat manusia yang oleh Tuhan diciptakan dengan keadaan baik dan dengan tujuan untuk hidup sebagai mana manusia harus hidup menurut kodratnya itu. Dengan kawin kontrak manusia telah mengobyekkan satu sama lain sebagai sarana untuk memuaskan dorongan dan keinginan masing-masing. Dengan kata lain memakai tubuhnya untuk saling mencari tujuan pemuasan masing-masing (seksual dan materi). Dengan demikian pelaku kawin kontrak telah merendahkan martabatnya masing-masing untuk dengan sadar atau tidak sadar memakai tubuhnya sebagai alat memperoleh tujuan dorongan keinginannya. Pelaku kawin kontrak telah merendahkan martabat tubuh mereka menjadi budak atas keinginan-keinginan yang menyimpang dari segi moralitas. Dalam situasi ini sebenarnya seseorang tidak dapat mengendalikan dorongan-dorongan lahiriah dalam dirinya tetapi justru dikuasai olehnya.

            Selain itu kawin kontrak secara moral telah menyalahgunakan keluhuran nilai perkawinan yang merupakan panggilan alami manusia untuk melanjutkan keturunan dan sebagai ungkapan cinta paling mendalam dan murni antara dua pribadi menjadi sekedar sarana untuk salilng mencari tujuan masing-masing. Kawin kontrak telah merendahkan perkawinan, sebagai tujuan pada dirinya baik untuk ungkapan cinta dua pribadi, menjadi sarana untuk mencari tujuan di luar tujuan perkawinan itu yang berbeda satu sama lain (tujuan kepuasan nafsu seksual yang harus dipenuhi dan memperoleh imbalan materi dari pemberian diri sebagai pemuas nafsu seksual). Yang jelas alasan-alasan di atas yang mendukung adanya kawin kontrak adalah sekedar pembenaran belaka. Seharusnya alasan-alasan itu secara moral dapat di atasi atau tidak begitu saja menyerah pada keadaan dan situasi yang sebenarnya dapat di atasi dengan keteguhan moral yang didukung hati nurani.

Berhadapan dengan konflik moral, seperti misalnya dimana seseorang di satu sisi ingin melepaskan diri dari kemiskinan tapi di sisi lain dia berhadapan dengan kecenderungan/tradisi kawin kontrak maka secara kritis kita perlu melihat beberapa hal berikut ini. Perlu diteliti lebih jauh apakah keinginan untuk lepas dari kemiskinan sungguh didasari oleh motivasi yang sifatnya hanya egoisme pribadi, dimana hubungan antar pribadi akhirnya direduksi menjadi sekedar hubungan yang saling mengobyekkan satu sama lain. Kalau demikian halnya maka sudah jelas bahwa dalam situasi yang demikian orang wajib untuk memilih menolak kawin kontrak. Ini tidak berarti bahwa apabila motivasinya obyektif baik maka kawin kontrak dibenarkan. Menghadapi situasi yang demikian ini, orang akhirnya perlu melihat permasalahan ini dari  titik pandang moral (the moral point of view),  orang wajib memilih mana yang lebih bernilai berdasarkan prinsip-prinsip moral yang berlaku universal dan menurut apa yang diyakininya benar dalam suara hatinya.

Dalam kasus ini mungkin kita dapat melihat peranan dari formasi suara hati dalam masyarakat setempat. Bisa dikatakan bahwa masyarakat di sana hidup dalam sebuah tradisi dimana kawin kontrak merupakan hal yang wajar-wajar saja. Tentu saja situasi ini cukup berpengaruh atas pandangan dan formasi suara hati serta keputusan-keputusan mereka atas kawin kontrak. Pengetahuan dan informasi yang keliru sehubungan kawin kontrak dapat menyebabkan bahwa keputusan-keputusan mereka  keliru pula. Dalam hal ini suara hati keliru karena ketidaktahuan yang tak teratasi. Lalu bagaimana selanjutnya ? Berhadapan dengan situasi ini maka  setiap orang harus dapat bersikap terbuka dan mencari mana yang benar secara obyektif. Dia harus mencari informasi yang benar dan lalu memperbaiki keputusannya yang keliru tadi. Pemahaman dan pandangan yang benar tentang hakikat perkawinan di sini perlu mendapat perhatian besar. Oleh sebab itu, peranan kaum ulama dan pemuka agama, serta pemerintah sangat penting di sini. Mereka dapat berperan dalam memberikan pandangan atas hakikat perkawinan dalam terang iman dan wahyu masing-masing agama, dan pemerintah pun perlu untuk memberikan informasi mengenai kedudukan institusi perkawinan  dalam tata undang-undang/hukum negara. Usaha ini secara tidak langsung akan menunjang proses pembentukan suara hati yang benar

KESIMPULAN       

            Kita dapat melihat ternyata permasalahan kawin kontrak tak dapat dilihat secara hitam putih saja. Banyak faktor yang terjalin dalam permasalahan tersebut, seperti faktor-faktor budaya, tradisi, sosial ekonomis. Berhadapan dengan alasan-alasan tersebut orang dapat saja akhirnya menilai bahwa kawin kontrak dapat dibenarkan, lebih-lebih apabila melihat dari tujuan-tujuannya seperti bebas dari kemiskinan, dan mengurangi maraknya pelacuran. Namun rupanya di sisi lain ada pula yang menggugat alasan ini karena  kawin kontrak  dipandang sebagai hal yang melecehkan institusi perkawinan dan mereduksi relasi interpersonal manusia.

            Dengan demikian timbul suatu perdebatan, mana yang benar ? Berhadapan dengan situasi yang demikian secara moral memang kita dapat melihat bahwa kawin kontrak bertentangan dengan penghargaan terhadap hakikat manusia, oleh sebab itu kawin kontrak tak dapat dibenarkan begitu saja. Namun demikian  masalah ini tak dapat diselesaikan dengan mudah. Ikatan-ikatan tradisi, masalah-masalah kemiskinan dan budaya membuat kasus ini menjadi rumit; banyak faktor yang terkait sehingga solusi moral tidaklah cukup untuk menanggulanginya.

            Salah satu cara dalam pandangan moral yang dapat ditempuh adalah formasi suara hati. Sejauh mana masyarakat mengetahui hakikat perkawinan yang benar menurut hukum sipil dan juga menurut agama masing-masing juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap peranan suara hatinya dalam menanggapi permasalahan kawin kontrak.


[1] K.H. Hasbullah Bakry SH, KUMPULAN LENGKAP UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA, Djambatan, Jakarta 1978, hlm. 207

[2] Sumber: Media Indonesia, Minggu

[3] K.H. Hasbullah Bakry SH, KUMPULAN LENGKAP UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA, Djambatan, Jakarta 1978, hlm. 207-208

[4] Lima prinsip Islam disebutkan : hak beragama serta berhak  untuk menjalankan perintah, hak berpendapat atau berkreasi, hak membangun keluarga atau keturunan, hak melindungi kepemilikannya dari monopoli, dan hak mempertahankan diri atau nyawanya termasuk harga dirinya.

[5] Morteza Mutahhari, Etika Seksual Dalam Islam, Bandung ; Penerbit Pustaka, 1984, halaman 93-101.