PERANAN GEREJA MENGATASI KEKERASAN YANG DIALAMI REMAJA DALAM KELUARGA
by: Daulat Tambunan
Kemajuan teknologi dan usaha pembangunan di masa kini menyebabkan masyarakat menjadi semakin ruwet dan kompleks; kontak sosial jadi makin longgar; bahkan banyak terjadi disintegrasi masyarakat dan disintegrasi perorangan. Semua kejadian ini mendorong semakin banyak timbulnya gangguan psikis.
Gangguan-gangguan psikis pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu kompleks faktor penyebab. Dengan kata lain, sebab-sebabnya adalah multifaktor, yaitu disebabkan oleh faktor organis, faktor psikis, dan faktor sosio kultural.
Kondisi jasmaniah dan rohaniah yang tidak efektif, juga penyakit-penyakit tertentu yang tidak bisa disembuhkan dan merusak sistem syaraf otak, akan mengakibatkan munculnya: perubahan karakter dan macam-macam gangguan psikis.
Orang-orang yang memiliki predisposisi psikis yang lemah dan labil, ditambah dengan pengalaman-pengalaman traumatis, dan cara pemasakan yang keliru – yaitu internalisasi pengalaman-pengalaman traumatis dalam kehidupan kejiwaan dengan cara yang keliru – bisa memunculkan gejala: dekompensasi, psikotis, dan neurosa.[1]
Disamping itu, masyarakat modern dengan proses mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi, banyak memprodusir masalah-masalah sosial yang parah sebagai produk sampingan. Akibatnya, di mana-mana ada berlangsung ketidakadilan, kekejaman, pemerasan, kekerasan, pemaksaan, dan lain-lain, sehingga banyak muncul penderitaan dan kesengsaraan. Apalagi lingkungan sosial, terutama keluarga tidak mampu berfungsi sebagai “lembaga pendidik” dan “lembaga psiko-sosial” yang mengintegrasikan anak dalam keutuhan keluarga, lingkungan sedemikian ini pasti merangsang kemunculan banyak gangguan psikis dan disintegrasi kepribadian pada remaja. Kealpaan pemupukan kehidupan emosional pada usia kanak-kanak sampai remaja oleh orangtua, biasanya menghasilkan gejala psikopatis.[2]
Kekerasan dalam keluarga bukanlah fenomena yang baru. Kekerasan ini sudah berlangsung lama, tetapi belum mendapat perhatian publik. Kesadaran tentang kekerasan dalam keluarga sebagai suatu tindakan kriminal timbul sekitar tahun 1970an. Pada waktu itu, penelitian-penelitian kekerasan dalam keluarga mulai diadakan dan bermunculanlah buku-buku yang membahas tentang kekerasan dalam keluarga. Nancy Nason, seorang peneliti di bidang kekerasan dalam keluarga menyatakan bahwa lahirnya kesadaran tentang kekerasan ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, masyarakat semakin memiliki sensitvitas tentang kekerasan. Kedua, munculnya gerakan anti kekerasan yang membangkitkan kelompok-kelompok untuk berbagi pengalaman hidup mereka. Ketiga, tantangan-tantangan teoritis dalam disiplin sosiologi menyokong penyelesaian suatu konflik tanpa kekerasan.[3]
Kasus kekerasan kepada remaja akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Namun seringkali kekerasan itu jarang terungkap. Atau, hal ini sering dianggap sebagai masalah biasa karena kedua belah pihak tidak merasa itu sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap remaja dianggap lumrah secara sosial, bahkan dipandang sebagai hal yang positif. Namun jika kita amati kekerasan tersebut dampaknya tidak bisa langsung kita amati, namun efeknya sangat jelas di saat remaja menjadi semakin dewasa.
Pola asuh orangtua terhadap remaja yang terlalu keras akan menghasilkan remaja yang memberontak, sementara orangtua yang permisif menghasilkan remaja yang mementingkan diri sendiri. Orangtua menjadi teladan bagi perilaku anak-anaknya. Baik atau buruk, semuanya menjadi alternatif pilihan remaja untuk bertindak serupa di masa depannya.[4]
B. GAMBARAN PERMASALAHAN
1. DATA KASUS KEKERASAN
Hasil penelitian Familier and Work Institute and The Coloradu Tourt Amerika Serikat pada tahun 2014, dari 200.000 anak remaja yang diwawancara, sebagian besar mengaku bahwasannya remaja sering diejek, diolok-olok atau dibicarakan hal-hal negatif tentang dirinya oleh orang lain atau anggota keluarganya sebanyak 94.000 anak (47%), pernah dipukul atau dilukai 74.000 anak (37%) dan diserang dengan senjata 32.000 anak (16%) yang akhirnya mengakibatkan trauma pada dirinya.[5]
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu: adanya budaya kekerasan. Seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa atau wajar. Tindak kekerasan merupakan suatu fenomena yang kompleks, akibat dari berbagai faktor antara lain kemiskinan, rasial, penggunaan obat terlarang dan alkohol, paparan kekerasan usia dini (child abuse) dan kekerasan dari media masa. Bahwa tekanan ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung kepada kenakalan pelajar melalui gaya pengasuhan yang dilakukan orangtua terhadap anak remajanya tersebut. Menyebutkan bahwa peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja adalah ada peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja,
Di Indonesia Jakarta, Surabaya, dan Medan, kasus menunjukkan angka peningkatan. Tercatat selama 2014 terdapat 788 ribu kasus kekerasan terhadap remaja. Sepanjang kwartal pertama 2014 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Data tahun 2013, menyebutkan kekerasan fisik 247 kasus kekerasan seksual 426 kasus, dan kekerasan psikis 451 kasus. Jumlah tersebut, hanya terbatas pada yang tercatat, sementara yang tidak terdeteksi mungkin jauh lebih banyak lagi.[6]
Menurut Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan, di DKI Jakarta saja, terdapat 1.200 kasus kekerasan terhadap remaja kategori kekerasan dalam keluarga (KDRT). Kemudian ada 1.299 kasus kekerasan terhadap remaja yang terjadi dalam keluarga. Sementara berdasarkan data Yayasan Pulih, pada tahun 2014 jumlah kasus kekerasan yang ditangani yayasan mencapai 150 kasus. Jumlah kasus ini meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2013 yang tercatat 116 kasus. “Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat dari tahun ke tahun,” kata Miryam. Menurutnya, kasus kekerasan terhadap remaja ini bersifat konstruktif atau bukan bawaan. Artinya kekerasan terhadap remaja terjadi akibat perilaku kekerasan yang bisa jadi disebabkan cara atau pola didikan di masa lalu. Faktor penyebab perilaku kekerasan ini antara lain faktor tingkat pendidikan dan kesejahteraan atau ekonomi. Oleh karena itu, kampanye ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat agar rantai kekerasan terhadap remaja bisa putus.[7]
Gangguan dalam hubungan dengan orangtua merupakan faktor psikososial yang utama dalam gejala bunuh diri pada remaja. Hubungan emosional yang baik antara orangtua dan remaja sangat dibutuhkan. Namun, jika terganggu mengakibatkan remaja menjadi putus asa, depresif, dan akhirnya mengambil keputusan untuk bunuh diri saja. Buat mereka, apapun resikonya, bunuh diri itu dipandang masih lebih ringan daripada persoalan atau kenyataan yang ada yang rasanya tidak mungkin terpecahkan seperti kegagalan dalam pelajaran sehingga mengecewakan orangtua, hamil sehingga memalukan orangtua, atau merasa tidak diterima oleh siapapun di dunia ini, merasa terasing, sendiri, tanpa ada orang yang mau mengerti apalagi menolongnya.[8]
Menurut Seto Mulyadi seorang Psikolog anak yang juga menjabat Ketua umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), remaja sekarang banyak yang terperangkap dalam berbagai situasi sosial yang sangat tidak kondusif. Mereka stres oleh tekanan-tekanan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat, hingga memicu perilaku agresif yang seringkali tidak terkontrol sebagai akibat trauma yang mereka alami. Pemberian lingkungan yang tidak kondusif pada remaja, tekanan yang berlebihan dan hal-hal yang secara psikologis menyebabkan remaja terluka inilah yang oleh Seto Mulyadi, ditekankan sebagai kekerasan psikologis. Bentuknya bisa berupa tudingan, memberikan label buruk pada remaja, ancaman, tudingan ataupun umpatan, kata-kata yang kasar, maupun gerakan-gerakan mengancam, membuat anak terluka hatinya, membuat anak takut, stress dan sebagainya.[9]
Situasi seperti ini memanggil gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya, sebab melalui pelayanan pastoral remaja dapat ditolong untuk mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan, dan pendamaian.
2. KEKERASAN YANG DIALAMI REMAJA
Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa anak-anak menuju kearah kedewasaan. Remaja merupakan kelompok masyarakat yang berjumlah paling banyak. Secara psikologis, remaja termasuk kelompok yang sangat mudah terpengaruh dan jiwanya pun gampang bergolak. Hal itu akibat kondisi pribadi mereka yang belum terbentuk.
Sesuai dengan pergolakan jiwa remaja, permasalahan yang muncul pun cukup beragam. Persoalan tersebut bukan hanya menjadi permasalahan remaja belaka, melainkan menjadi persoalan semua. Karena itu, masalah paling berat bagi orangtua adalah menyelamatkan sang anak dari masa remaja. Memasuki masa ini umumnya remaja merasa dirinya sudah besar, bukan arti dalam anak-anak lagi. Oleh karena itu terkadang anak cenderung susah diatur.
Kecenderungan ingin mencoba hal-hal yang baru yang dilihat maupun yang didapat, lebih kepada rasa keingintahuan yang belum jelas manfaatnya bagi dirinya terlebih untuk orang lain. Perilaku yang tampak mencolok dalam kehidupan anak ketika memasuki fase remaja (pubertas) adalah munculnya salah satu gejala perilaku negatif, hasil penelitian Widowati bahwa tingkat pendidikan orangtua berhubungan dengan pola interpersonal antara orangtua dan anak.[10] Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Bab 2 Pasal 3 bahwa, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[11]
Kekerasan dalam keluarga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama remaja, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik. Kekerasan dalam keluarga juga dapat diartikan kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik maupun secara psikologis yang bertujuan menyakiti remaja dan dilakukan secara sengaja oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Adapun kekerasan yang sering dialami remaja adalah kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik di mana remaja mengalami perlakuan kasar dengan ditampar, dijambak, didorong hingga terjatuh dan bahkan dilempar dengan menggunakan benda. Remaja juga mengalami kekerasan verbal dan psikologis, di mana remaja sering dimarahi dengan kata-kata makian dan hinaan. Sedangkan kekerasan psikologis yang remaja alami adalah remaja sering mendapatkan ancaman, selalu diatur dan diperintah oleh pelaku. Selain itu, remaja juga mengalami kekerasan dalam bentuk kekerasan finansial, di mana remaja mendapatkan pembatasan dan pengontrolan dalam hal keuangan dengan tidak yang semestinya. Kekerasan lain yang remaja alami adalah kekerasan emosional dari lingkungan, di mana remaja tidak mendapatkan pertolongan dan perhatian yang semestinya dari orang-orang terdekat serta masyarakat sekitar yang mengetahui jika remaja mendapatkan kekerasan dalam keluarga. Remaja juga mengalami kekerasan dalam bentuk lainnya, baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan spiritual. Kekerasan dalam keluarga yang remaja alami memiliki berbagai dampak terhadap diri remaja, di mana pada diri remaja terjadi ini penurunan prestasi akademik serta hilangnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan dan trauma. Remaja juga menyimpan rasa dendam dan sakit hati terhadap pelaku kekerasan serta masih merasakan trauma akibat dari kekerasan yang dialaminya. Selain itu, kekerasan dalam keluarga yang remaja alami juga berdampak pada rasa kepercayaan diri remaja, di mana remaja memiliki rasa percaya diri yang rendah. Remaja juga cenderung mengalami kesulitan untuk dapat mempercayai orang lain, tidak merasa kerasan untuk tinggal di rumah dan terkadang bersikap melanggar hukum dan norma sosial. Dampak lainnya terdapat pada sikap remaja dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, di mana remaja tidak dapat menjalin komitmen yang serius dengan satu pria dan menetapkan kriteria tertentu terhadap lawan jenis yang akan mendekatinya. Selain itu, kekerasan dalam keluarga yang remaja alami juga memiliki dampak pada perilaku dan emosional remaja, di mana remaja jadi suka berkata kasar. Namun terdapat dampak positif yang muncul pada diri remaja, di mana remaja tidak menginginkan masalahnya diselesaikan dengan cara kekerasan, di mana remaja ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang demokratis. Terdapat berbagai faktor yang turut mempengaruhi hingga menyebabkan remaja mengalami kekerasan dalam keluarga. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor melakukan kekerasan, di mana pelaku kekerasan tersebut atau yang tak lain adalah ayah tiri remaja memiliki pengalaman dalam hal kekerasan. Faktor lainnya adalah kondisi psikologis remaja, di mana sebagai seorang anak remaja tidak mengetahui hak-haknya serta terjadinya perceraian pada kedua orangtua remaja sehingga remaja memiliki ayah tiri. Selain itu, peneliti menemukan faktor lain yang turut mendorong mengapa remaja mendapatkan kekerasan dalam keluarga, yaitu faktor persepsi orangtua tentang pentingnya memberikan hukuman terhadap anak, sikap menentang pada remaja, riwayat kesehatan orangtua serta persepsi sosial terhadap kehidupan dalam bekeluarga.[12]
Dalam kebudayaan timur, masih banyak orangtua yang menganggap anak adalah milik orangtua sehingga dapat diperlakukan dengan bebas dan sesuka hati. Padahal, remaja berhak memiliki kehidupannya sendiri, menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tentu saja peran orangtua sangat besar sebagai pembimbing.
Sebagian orang sering mengatakan bahwa memukul anak adalah bagian dari kegiatan mendisiplin anak. Mereka mengutip ayat yang berkata demikian: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” (Ams. 13:24). Akhirnya, hukuman yang diberikan sudah mengarah pada penyiksaan, ini bukan lagi tindakan mendisiplin tetapi tindakan penyiksaan. Tindakan ini malah dapat menggoreskan luka hati, kepahitan bahkan trauma yang dalam pada diri si anak atau remaja. Akibatnya, remaja yang tidak berdaya untuk melawan dan membebaskan dirinya akan memendam kebencian, kemarahan dan kepahitan di dalam dirinya. Kelak, bila ini berlangsung terus menerus ia akan tumbuh sebagai seorang remaja yang brutal, binal, bertindak kasar sehingga menyakiti hati orang lain, suka melanggar kehormatan seks lawan jenis dan bahkan melakukan berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri. Atau yang terjadi malah sebaliknya. Ia dapat menjadi seorang yang pemurung, rendah diri, menarik diri dari pergaulan, perasaannya sangat peka dan mudah terluka, cepat tersinggung dan membesar-besarkan kekurangan sendiri, ada rasa khawatir terhadap dirinya sendiri. Remaja yang bermasalah jenis ini sering memperlihatkan adanya rasa bingung, banyak menggunakan waktu untuk melamun keadaan-keadaan dirinya. Dalam taraf intensitas yang lebih tinggi lagi remaja yang bermasalah jenis ini cenderung menjadi peminum, penghisap candu, narkotik, morfinis, dan tega bunuh diri.[13]
Kekerasan yang terjadi dalam keluarga menuntut gereja untuk tidak menutup mata atas kenyataan yang ada. Pengalaman tersebut merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga merupakan fakta dan peristiwa dalam kehidupan remaja. Dalam hal ini gereja merupakan tempat yang paling tepat dan pertama untuk mendapatkan pertolongan atas tindak kekerasan yang dialami remaja dalam keluarga. Sehubungan dengan itu, James menegaskan bahwa gereja bukan hanya tempat yang tepat, tetapi juga tempat di mana remaja dapat ditolong untuk mengatasi trauma akibat kekerasan dalam keluarga yang dialaminya.[14]
Gereja sebagai lembaga keagamaan dan lembaga yang terdekat dalam kehidupan keluarga seharusnya merupakan institusi terdepan untuk menangani dan mengatasi trauma akibat kekerasan dalam keluarga. Gereja merupakan sumber dukungan yang paling vital bagi para korban kekerasan dibandingkan dengan apa yang dilakukan masyarakat. Oleh karena itu, gereja harus sungguh-sungguh memberikan pelayanan, baik diminta maupun tidak diminta oleh keluarga.
Kekerasan dalam keluarga terhadap remaja bukan semata-mata merupakan persoalan sosial, psikologis, dan hukum, melainkan juga persoalan teologis, sebab tindakan kekerasan tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebab itu gereja harus melakukan upaya penghapusan kekerasan. Korban membutuhkan perhatian dan kepedulian gereja atas persoalan kekerasan yang remaja alami. Pelayan pastoral semestinya melihat dan memperhatikan kekerasan yang terjadi dan trauma yang mengikutinya dan peristiwa itu janganlah dianggap sebagai tindakan kekhilafan semata.
[1]Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. x-xi.
[2] Ibid.
[3] Nancy Nason-Clark, How Christian Comfort Family Violence (Louisville: John Knox Press, 1997), hlm. 2.
[4] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ke-3,2005), hlm.229.
[5]http:// Familier and Work Institute and The Coloradu Tourt Amerika Serikat.html
[6]http://mantri-siaga.blogspot.com/2011/01/faktor-penyebab-perilaku-kekerasan-pada.html.
[7]http://kampus.okezone.com/read/2012/02/02/373/568540/remaja-putri-harus-waspadai-bahaya-kekerasan
[8] Ibid., hlm. 218.
[9]http://shintaksari.multiply.com/journal/item/273/?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
[10]NMP, “Mengapa Rancangan UU Anti-KDRT Diperlukan?”, Kompas 5 Juni 2012, hlm. 11.
[11]Ibid.
[12] James Leehan, Pastoral Care for Survivors of Family Abuse (Louisville, Kentucky: John Knox Press, 1990), hlm. 115.
[13]Agnes Maria, Layantara. Luka Batin. Penyebab, Dampak dan Penyembuhannya (Jakarta: Yayasan Maranatha Krista cet. 4, 2005), hlm. 8-9.
[14] Leehan., op.cit., hlm. 116