PELAYANAN PASTORAL TERHADAP ANGGOTA KELUARGA KRISTEN DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA

by: Daulat Tambunan

Pendahuluan

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang diharapkan dapat membahagiakan sepasang kekasih yang akan menikah. Kebahagiaan ini juga diharapkan dapat dirasakan oleh orang tua, keluarga besar, bahkan kawan-kawan dari orang yang akan menikah. Pelaksanaan perkawinan ini biasanya telah direncanakan jauh-jauh hari. Pesta perkawinannyapun tidak jarang dibuat meriah, kadang-kadang bahkan sampai menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Tetapi setelah perkawinan berlangsung beberapa tahun, tidak jarang mulai muncul berbagai masalah. Masalah-masalah ini bisa menimbulkan salah paham, konflik dan pertengkaran. Bila hal ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, pernikahan yang diharapkan membahagiakan itu bisa berubah menjadi sebuah “neraka” yang bisa berakhir dengan perceraian.

Masalah yang terjadi dalam perkawinan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor eksternal maupun internal. Walaupun tidak selalu terjadi, salah satu masalah yang bisa mengganggu perkawinan anggota jemaat yang menikah adalah masalah perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama dan persoalannya

Perkawinan biasanya dilakukan oleh dua orang yang berbeda; berbeda jenis kelaminnya, berbeda latar belakangnya, berbeda pendidikannya, berbeda sukunya, dan seterusnya. Pada kenyataannya, perkawinan ada juga yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda agama. Sebenarnya perbedaan itu bisa memperkaya, tetapi bisa juga menimbulkan persoalan baru.

Perkawinan beda agama bisa mendatangkan persoalan kalau suami dan isteri yang menikah beda agama itu berpegang pada agama mereka secara fanatik, tertutup, kaku,  dan tidak bisa toleran satu terhadap yang lain. Ketaatan orang terhadap agamanya memang harus bisa kita pahami, karena peranan Tuhan begitu penting dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Kehidupan dan pertumbuhan spiritualitas suami istri juga tidak boleh dilupakan. Suami istri Kristen harus tetap hidup sebagai anak-anak Tuhan yang taat kepada Tuhan di dalam kehidupan pernikahan mereka. Karena itu berbagai upaya untuk mengembangkan spiritualitas dalam perkawinan perlu dilakukan, antara lain melalui: doa, ibadah, dan pelayanan baik di dalam gereja maupun kepada masyarakat.

Walaupun demikian, dalam perkawinan beda agama, orang yang menikah harus bisa  menghargai agama dari pasangannya. Ia harus bisa bersikap toleran. Ia tidak boleh menghambat atau bahkan berusaha menarik pasangannya kepada agamanya.

Setiap orang memang berhak untuk menikah dengan siapapun juga yang ia cintai. Namun, melakukan kawin campur beda agama tidaklah mudah, baik dari segi hukum, iman Kristen, budaya, maupun psikologis. Karena itu orang yang akan dan yang telah menikah beda agama membutuhkan pelayanan pastoral yang memadai.

            Sebenarnya ada beberapa persoalan yang dapat terjadi pada orang yang menikah beda agama. Pertama, dari segi iman Kristen, perkawinan beda agama ini bisa dipersoalkan dan dipercakapkan orang. Peranan iman di dalam perkawinan adalah sangat penting. Perkawinan bagi orang Kristen bukanlah pertama-tama peraturan manusia, melainkan  anugerah Allah. Karena itu perkawinan adalah merupakan persekutuan percaya. Sehubungan dengan hal ini, ada  orang Kristen dan teolog yang mempertanyakan bagaimana mungkin persekutuan percaya ini bisa terjadi kalau salah satu pasangan beragama lain? Sebab pasangan yang tidak Kristen mungkin akan merasa sulit untuk memahami dan menerima arti dan fungsi iman di dalam perkawinan mereka. Walaupun demikian pasangan beda agama harus tetap mau untuk mengerti dan mempelajari agama pasangannya.    

Kedua,  perkawinan yang harmonis dan bahagia adalah perkawinan yang dilandasi dan disempurnakan oleh kasih Kristus. Kasih Kristus yang disebut agape adalah kasih yang bersifat memberi dan berkorban. Kasih ini jauh melebihi cinta kasih antar manusia yang biasa disebut dengan eros atau filea. Dalam perkawinan beda agama, kalau seseorang dari pasangan itu tidak percaya kepada Kristus, bagaimana mereka dapat melandaskan pernikahan mereka pada kasih Kristus? Barangkali orang yang menikah beda agama perlu mendalami dan merasakan kasih Allah yang besar. Kasih ini tidak membeda-bedakan orang.

            Ketiga, apakah mungkin dalam perkawinan beda agama, pasangan suami isteri dapat beribadah bersama? Dapatkah mereka berdoa bersama atau datang ke gereja bersama? Seringkali yang terjadi tidaklah demikian. Mereka akan beribadah menurut agama mereka masing-masing. Akibatnya, tidak jarang suami atau isteri akan merasakan kesepian secara religius dan psikologis. Untuk mengatasi hal ini, suami dan isteri yang berbeda agama dapat saja berdoa bersama, walau dengan cara yang berbeda. Mereka juga dapat mendiskusikan masalah bersama dari sudut agama yang berbeda. Pelayanan pada masyarakat juga dapat kita anggap sebagai ibadah kepada Tuhan juga dapat dilakukan bersama.

            Keempat, dalam perkawinan beda agama, suami atau isteri akan memegang prinsip hidup sesuai dengan agama mereka masing-masing. Hal ini tidak jarang menyulitkan mereka ketika mereka harus mengambil keputusan bersama di dalam memecahkan persoalan-persoalan bersama. Sehubungan dengan hal ini, suami dan isteri yang menikah beda agama harus bisa terbuka dan menghargai pandangan pasangannya. Mereka juga perlu melihat hal-hal yang sama dari agama mereka yang dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan mereka. Hal-hal yang berbeda sekalipun dapat dikompromikan, tanpa paksaan.

            Kelima, dalam perkawinan beda agama, seringkali masalah terjadi ketika mereka mendidik anak-anak. Akan-anak mereka akan dididik menurut agama apa? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tidak jarang konflik terjadi dalam hal mendidik anak. Anakpun akan menjadi bingung bila ia diperhadapkan dengan pilihan dari dua keyakinan iman yang berbeda. Dalam hal ini, pasangan beda agama tidak boleh memaksakan agamanya kepada anak-anak mereka. Mereka perlu memberi kesempatan kepada anak-anak mereka untuk memahami dan memilih agama mereka masing-masing. Pasangan beda agama boleh saja memperkenaklan agama mereka kepada anak-anak mereka, tetapi pada akhirnya biarlah anak-anak itu sendiri yang menentukan agama mereka.

            Keenam, dalam perkawinan beda agama, bila salah satu pasangan sangat dominan, tidak jarang ia akan “membawa” pasangannya untuk berpindah agama atau sekurang-kurangnya tidak taat lagi terhadap agamanya. Hal ini akan merugikan pertumbuhan spiritualitas seseorang yang tidak diharapkan terjadi dalam pernikahan beda agama. Pasangan beda agama memang boleh berdoa kepada Tuhan, tetapi mereka tidak boleh memaksa pasangannya untuk berpindah agama.

Untuk mengatasi atau mengurangi persoalan yang dialami suami isteri beda agama, mereka perlu mengembangkan beberapa sikap positif seperti: (1) Menerima dan memahami pasangan sebagaimana adanya; (2) Memberi perhatian dan penghargaan kepada pasangan dan agamanya; (3) Menyesuaikan diri secara terus-menerus; (4) Berpikir positif terhadap pasangan dan agamanya; (5) Terbuka dan siap untuk melakukan dialog bersama pasangannya; (6) Mengembangkan komunikasi yang baik antara suami-isteri; (7) Meluangkan waktu untuk membina kehidupan pernikahan.

Pelayanan pastoral

Pelayanan  pastoral merupakan pelayanan yang dibutuhkan bagi pasangan beda agama, baik sebelum maupun sesudah mereka melakukan perkawinan. Sebelum  mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan, mereka harus mempertimbangkan baik-baik akan persoalan-persoalan yang bisa terjadi. Setelah mereka melakukan perkawinan, untuk mencegah dan mengatasi persoalan-persoalan itu, mereka juga perlu dilayani secara pastoral.

Pelayanan pastoral pada dasarnya merupakan pelayanan gereja yang mencerminkan pemeliharaan Allah terhadap ciptaanNya, secara khusus kepada manusia. Pemeliharaan ini, di dalam Alkitab digambarkan seperti pemeliharaan yang dilakukan gembala terhadap domba-dombanya[1]. Menurut  John  Patton, istilah “pastoral” menunjuk pada sikap yang memelihara (care) dan mempedulikan (concern).[2]

Dasar pelayanan pastoral atau penggembalaan adalah relasi perjanjian yang ada antara Allah dan manusia, dan kasih Allah. Dalam perjanjian, Allah berinisiatif mendatangi manusia dan menjumpai manusia. Melalui Tuhan Yesus Kristus, Allah menyingkapkan diri kepada umat-Nya, untuk menyelamatkan mereka. Tetapi semua itu tidak menghapuskan unsur tanggapan manusia. Manusia adalah partner Allah dalam perjanjian. Dalam hal ini, proses pertumbuhan dan pendidikan manusia menjadi bagian yang perlu diperhatikan di dalamnya. Pelayanan pastoral atau penggembalaan berlangsung dalam situasi ini. Pernyataan Allah dan kenyataan kehidupan manusia mempunyai nilai tersendiri sehingga ada komunikasi dua arah dalam pelayanan pastoral. Selain itu, Allah sendiri adalah kasih. Kasih tidak memaksa, tetapi menumbuhkan sikap saling mempengaruhi dan saling membutuhkan.

            Secara alkitabiah, pelayanan pastoral perlu dilakukan karena hal itulah yang dilakukan dan ditunjukkan Allah dan Yesus Kristus kepada umat manusia dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah dan Yesus Kristus digambarkan sebagai gembala yang mencirikan suatu kualitas, karakter dan pekerjaan yang dimiliki dan dikerjakan oleh Allah dan Yesus kepada umat manusia sebagai domba-domba-Nya. Gereja harus melakukan pelayanan ini karena secara alkitabiah inilah salah satu alasan pelayanan gereja atau motif menggembalakan, selain karena Tuhan sendiri memerintahkannya (Yoh. 21:15, 16, 18, bnd. Yeh. 34).[3]

            Dalam Perjanjian Lama digambarkan Allah adalah gembala dan manusia adalah kawanan domba gembalaan-Nya (Mzm 23:1, 79:14, 100:4). Sebagai gembala, Allah memiliki, memimpin, menuntun, dan melindungi umat-Nya (Yes. 40:1-11); Ia juga memulihkan jiwa orang yang berputus asa, menuntun yang dituntun ke jalan yang benar, melindungi mereka dari si jahat, dan memberikan pemeliharaan jasmani dan rohani dalam kebaikan Allah (Mzm. 23).[4]

            Dalam Perjanjian Baru, Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik” (Yoh. 10:11). Sebagai gembala yang baik, Yesus mengenal setiap domba-Nya (Yoh. 10:14). Ada hubungan yang baik antara gembala dan domba karena domba mengenal gembalanya (Yoh. 10:3-5), Ia memberikan kehidupan dan kelimpahan kepada domba-domba-Nya (Yoh. 10:10), Ia bahkan memberikan nyawa-Nya bagi keselamatan domba-domba-Nya (Yoh. 10:11).

            Dan kepada Petrus, Yesus berkata sampai tiga kali: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh. 21:15-18). Dengan demikian, pelayanan kepada saudara-saudara seiman, Yesus samakan dengan “menggembalakan” di mana saudara-saudara tersebut dijaga, dipelihara, dibimbing, dan diselamatkan dari bahaya melalui peran gembala tersebut.[5]   

Dari definisi pelayanan pastoral di atas, maka dapatlah dipahami bahwa palayanan pastoral pernikahan adalah pelayanan pastoral yang dilakukan atau diberikan kepada atau terhadap pernikahan, dalam hal ini adalah pasangan suami-isteri, dalam rangka mencerminkan pemeliharaan dan kepedulian Allah terhadap hidup pernikahan mereka. Melalui pelayanan pastoral pernikahan semakin dirasakan karya Allah dalam memelihara dan mempedulikan lembaga yang Dia ciptakan sejak awal penciptaan.

Pelayanan pastoral dapat dilakukan kepada pasangan beda agama, sesuai dengan fungsi pastoral yang ada. Menurut William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, ada 4 fungsi dasar pastoral yang telah dilakukan di sepanjang sejarah gereja, yaitu: menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), dan mendamaikan (reconciling).[6] Howard Clinebell menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara (nurturing).[7] Apakah yang dimaksud dengan kelima fungsi tersebut?

            Pertama, menyembuhkan. Menyembuhkan adalah fungsi pastoral yang bertujuan mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan cara memperbaiki orang tersebut menuju keutuhan dan membimbing orang ini mencapai keadaan yang lebih maju dari keadaan yang sebelumnya.[8]

 Pasangan beda agama bisa mengalami sakit hati atau luka batin kalau orang tua mereka tidak menyetujui atau bahkan menolak mereka karena mereka melakukan perkawinan beda agama. Sakit hati atau luka batin ini harus disembuhkan dalam percakapan pendampingan pastoral.

Kedua, menopang. Fungsi ini diwujudkan dengan menolong orang yang sakit atau terluka agar ia dapat bertahan dan mengatasi keadaan, di mana perbaikan seperti keadaan sebelumnya atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi diusahakan atau kemungkinannya sangat kecil sehingga tidak dapat diharapkan lagi.[9]

Bagi pasangan beda agama, penopangan perlu dilakukan ketika hati mereka terluka. Hati yang terluka bisa disebabkan karena penolakan dari orang tua, mertua, atau anggota gereja lainnya. Hati yang terluka bisa juga terjadi ketika pasangan beda agama ini mengalami konflik terus-menerus atau bahkan penolakan dari pasangannya. Melalui penghiburan dan penguatan,  penopangan ini dapat dilakukan. Konseling pastoral atau support group dapat dipakai untuk membantu mereka.

Ketiga, membimbing. Dalam pelayanan pastoral, yang dimaksud dengan fungsi membimbing adalah menolong orang-orang yang sedang berada dalam kebingungan ketika mereka harus mengambil keputusan-keputusan yang pasti di antara serangkaian alternatif pikiran dan tindakan, ketika pilihan-pilihan itu dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang.[10]

Pasangan beda agama seringkali harus mengambil keputusan-keputusan yang berarti bagi hidup mereka. Keputusan-keputusan itu misalnya keputusan untuk melanjutkan pacaran mereka sampai ke jenjang perkawinan, untuk menentukan pelaksanaan perkawinan mereka, untuk menghadapi kesukaran dan konflik yang mereka hadapi, dan sebagainya.

Pada masa-masa yang sulit seperti ini, seseorang memang membutuhkan pendamping. Dalam hal ini, pelayan pastoral tidak boleh membujuk, mengancam, apalagi memaksa. Pelayan pastoral juga tidak boleh mengambil alih tanggung-jawab orang yang dilayani dalam mengambil keputusan-keputusan yang berarti bagi hidup dan masa depannya.[11]

Keempat, fungsi mendamaikan. Fungsi pastoral di sini adalah berusaha membangun kembali hubungan yang rusak antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah.[12] Dasar pelayanan pendamaian sebenarnya terletak pada karya pendamaian Kristus. Kristuslah yang telah mendamaikan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Di dalam upaya pendamaian, pengampunan memainkan peranan yang sangat penting.[13]

Pasangan beda agama membutuhkan pendamaian kalau mereka mengalami konflik dengan orang tua atau keluarga yang tidak merestui pernikahan mereka karena alasan beda agama. Kalau hubungan mereka dengan saudara-saudara seiman mereka terganggu, atau kalau hubungan mereka dengan Tuhan terganggu karena pernikahan mereka itu, mereka juga perlu dibantu untuk berdamai kembali dengan mereka.

            Kelima, memelihara. Fungsi pastoral ini bertujuan memampukan orang untuk mengem-bangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang perjalanan hidup mereka dengan segala lembah, puncak, dan datarannya.[14]

            Pasangan beda agama memiliki potensi-potensi yang seringkali tidak mereka sadari. Perbedaan agama mereka bisa menjadi salah satu sumber dialog yang berguna bagi peningkatan kehidupan spiritual mereka masing-masing. Selain pelayanan pastoral melalui percakapan atau konseling pastoral, kesaksian dari pasangan beda agama yang bisa hidup harmonis dan sejahtera berguna untuk menolog pasangan beda agama mengembangkan perkawinan mereka..

Penutup

Perkawinan merupakan peristiwa yang diidam-idamkan oleh semua orang. Bagi pasangan beda agama, untuk mewujudkan idam-idaman ini agaknya tidak mudah. Mengapa? Karena mereka harus melalui berbagai tantangan dan  pergumulan, baik dari segi agama, sosial-budaya, hukum, dan psikologis. Tidak jarang perkawinan beda agama ini kandas di tengah jalan karena perbedaan-perbedaan prinsip  dalam mengatur kehidupan keluarga.

            Oleh karena itu, bagi orang-orang yang akan melakukan perkawinan beda agama, hal ini harus dipertimbangkan dengan baik. Orang tua dan keluarga perlu diajak berbicara. Bagi mereka yang sudah melakukan perkawinan dengan pasangan beda agama, perkawinan yang sudah terjadi itu perlu diupayakan bersama agar dapat menjadi perkawinan yang harmonis dan sejahtera.

Berbagai persoalan memang bisa saja terjadi dalam perkawinan beda agama, tetapi dalam hidup ini tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Dalam hal ini, pelayanan atau pendampingan  pastoral dapat membantu untuk menyelesaikannya.

Daftar Pustaka:

Abineno, J.L.Ch., Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral.Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Brister, C,W. Brister, Pastoral Care in the Church. New York: Harper Collins Publishers, 1992

Clebsch, William A & Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective. New York: Harper & Row, 1967.

Clinebell, Howard, Basic Types of Pastoral Care and Counselling – Resources for the Ministry of Healing & Growth. London: SCM Press Ltd.

Heitink, Gerben, Pastorale Zorg: theologie – differentiatie – praktijk. Kampen: Kok, 1998.

Hiltner, Seward, Preface to Pastoral Theology. Nashville: Abingdon Press, 1958.

Patton, John, From Ministry to Theology – Pastoral Action and Reflection. Nashville: Abingdon Press, 1990.

Susanto, Daniel, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi – Orasi Dies Natalis ke-72 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: UPI STT Jakarta, 2006.


[1] Daniel Susanto, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi – Orasi Dies Natalis ke-72 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2006), hlm. 23.

[2] John Patton, From Ministry to Theology – Pastoral Action and Reflection (Nashville: Abingdon Press, 1990), hlm. 65.

[3] C,W. Brister, Pastoral Care in the Church (New York: Harper Collins Publishers, 1992), hlm. 33-34.

[4] Ibid., hlm. 34.

[5] Bons-Storm, op. cit., hlm. 22.

[6] William A Clebsch & Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective (New York: Harper & Row, 1967), hlm. 8-10, 32-66.

[7] Howard Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counselling – Resources for the Ministry of Healing & Growth (London: SCM Press Ltd., 1984), hlm. 42-43.

[8] Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, Op.cit., hlm. 33.

[9] Ibid.,hlm. 8-9.

[10] Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, Op.cit., hlm 9.

[11] Susanto, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi, Op.cit., hlm. 31-32.

[12] Ibid.

[13] Susanto, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi, Op.cit., hlm 32.

[14] Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counselling, Op.cit.,hlm. 43.