Memulai dengan “Mengapa”

by: Simon Mangatur Tampubolon

Kencenderungan kita adalah berpikir tentang apa yang akan kita lakukan dan bagaimana melakukannya, namun kurang atau bahkan tidak memikirkan mengapa kita melakukannya. Hal ini bertentangan dengan apa yang disebut oleh Simon Sinek sebagai “Lingkaran Emas”. Dalam bukunya “Start With Why” Simon Sinek[1] menjelaskan bahwa sesungguh segala sesuatu yang bermakna dan berpengaruh itu digerakkan oleh “Mengapa.”

            Hal itu bergerak dari dalam ke luar yang digambarkan lewat lingkaran emas:

Mengapa adalah sebuah kepercayaan atau keyakinan; Bagaimana adalah tindakan yang kita lakukan untuk mewujudkan mengapa; Apa sendiri adalah hasil dari tindakan-tindakan itu. Sesungguhnya orang lain terpengaruh oleh kehidupan kita adalah karena mereka menangkap mengapa pada diri kita, demikian juga kita sesungguhnya digerakkan oleh mengapa yang kita tangkap dalam kehidupan ini, dalam relasi kita dengan apa yang di bawah kolong langit dan terlebih dengan APA yang di atas langit, entah itu disadari atau tidak disadari.

            Mengapa adalah sebuah pertanyaan yang eksploratif, yang menuntut apa yang ditekadkan oleh Pengkhotbah dengan berkata: “Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit…” (Pkh.1:13)

­            Pembahasan Simon Sinek ada dalam konteks psikologi pemasaran, namun hal itu memberikan gambaran betapa pentingnya “mengapa” itu, bahkan dikatakan olehnya: “Mengetahui MENGAPA bukanlah satu-satunya cara untuk sukses, tetapi satu-satunya cara untuk mempertahankan sukses yang langgeng dan memiliki perpaduan yang hebat antara inovasi dan kelenturan.”[2]

            Pengkhotbah menggunakan “Mengapa” dalam konteks penggalian yang lebih luas, yaitu kehidupan di bawah kolong langit, di mana: diri, kepuasan, jerih payah, keadilan, kekayaan, waktu, hikmat, kesenangan, relasi, kebosanan dan takut akan Tuhan perlu dipertanyakan.

            Robert Davidson, sebagaimana dikutip oleh Emanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa Pengkhotbah pada dasarnya memberitahukan pembacanya dengan bahasa religious mengenai keadaan dunia dan kekompleksannya secara apa adanya, telanjang dan memberitahukan bagaimana untuk hidup di dalam dunia yang seperti itu[3]

            Bahasa religious yang menjadi dasar Pengkhotbah untuk menjawab “MENGAPA” adalah aksioma semua orang bijak dalam Alkitab, bahwa takut kepada Tuhan adalah permulaan kebijaksanaan. Tetapi Pengkhotbah baru membawa pembaca kepada gagasan religious itu pada akhir uraiannya, sekalipun sekali-kali disinggungnya, seakan-akan ia membiarkan pembaca putus asa mencari jawaban dan akhirnya tersimpuh dalam hikmat yang lahir dari takut akan Tuhan.[4]

            Dalam takut akan Tuhan itulah, pencarian “MENGAPA” menjadi sebuah kecerdasan spiritual kristiani. Kecerdasan untuk mencari makna hidup dan kehidupan ini dari perspektif ilahi, sehingga kita dapat bersenang-senang dan menikmati hidup yang telah Tuhan berikan, karena itulah yang dianugrahkan Tuhan kepada kita. Percayalah, karena berulang kali Pengkhotbah  mengajak untuk bersenang-senang dan menikmati hidup yang dianugrahkan Tuhan (baca. Pengkhotbah 2:24; 3:12-13; 3:22; 5:17 dan 9:9)


[1] Simon Sinek. Start With Why (Jakarta: Kompas Gramedia, 2020)

[2] Simon Sinek. Start With Why (Jakarta: Kompas Gramedia, 2020), 72.

[3] Emanuel Gerrit Singgih. Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut: Sebuah Tafsiran Kitab Pengkhotbah (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2015), 7.

[4] Derek Kidner. Pengkhotbah: Hikmat Melebihi Kebodohan Seperti Terang Melebihi Kegelapan (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1997), 12.