Kitab Pengkhotbah dan Victor Frankl: Mencari Makna

by: Simon Mangatur Tampubolon

Kitab pengkhotbah mengajak pembaca untuk menikmati hidup dan bersenang-senang. Tentu bersenang senang dan menikmati hidup yang dimaksudkan oleh Pengkhotbah bukanlah hedonisme, karena ini telah ditelanjanginya sebagai sesuatu yang sia-sia juga (baca Pkh.2:1-3) Bersenang-senang dan menikmati hidup yang dimaksudkan oleh Pengkhotbah adalah menikmatinya dalam Tuhan dan hal ini hanya bisa dicapai dalam anugrah Tuhan yang mengubahkan prespektif kita dalam memaknai hidup dan kehidupan ini.

Victor Frankl seorang psikolog yang lolos dari kamp konsentrasi Nazi, mengatakan bahwa upaya untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya dan buka “rasionalisasi sekunder” yang muncul karena dorongan naluriah dan makna hidup ini sungguh unik dan khusus, karena hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan .[1] Untuk proses itu Victor Frankl menggunakan istilah “Logoterapi” dimana berasal dari kata “logos: (Yunani) yang berarti “makna”, karena ia percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut.[2]

Sesungguhnya apa yang ditawarkan oleh Victor Frankl sebagai “logoterapi” yang berproses pada pencarian makna hidup merupakan proses kecerdasan spiritual, karena sesuai dengan definisi di atas bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan dalam memberi atau menangkap makna atas sebuah persoalan dengan wawasan yang luas dan mengejahwantahkan makna tersebut dalam suatu tindakan atau jalan hidup yang bernilai.

Istilah “terapi” digunakan merujuk pada proses untuk membantu orang-orang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam mencari makna hidup. Hambatan atau gangguan itu oleh Victor Frankl dinamakan “Frustrasi Eksistensial” dimana eksistensial tersebut berarti: keberadaan manusia itu sendiri atau cara khusus manusia dalam menjalani hidup; makna hidup; dan perjuangan manusia untuk menemukan makna yang konkrit di dalam hidupnya.[3]

Ternyata proses mencari makna ini tidaklah gampang dan bisa membawa seseorang pada frustasi yang dalam istilah Pengkhotbah dinyatakan berulang-ulang kali – kurang lebih 30 kali – dengan istilah “kesia-siaan” dan digambarkan sebagai “usaha menjaring angin”. Frustrasi ini bisa memicu “neurosis noögenik” yaitu neurosis yang diakibatkan oleh pikiran (Yunani: noös). Yang pasti upaya manusia untuk mencari makna hidup bisa menimbulkan ketegangan batin  dan justru itu prasyarat yang sangat dibutuhkan untuk tercapainya kesehatan mental kata Victor Frankl.[4]

Bila kita membaca Pengkhotbah, maka kita akan merasakan ketegangan-ketegangan batin itu, dan itu cukup gamblang terlihat dari beberapa judul buku tafsiran Pengkhotbah diantaranya: “Problema Kehidupan Bersama dengan Tuhan” karya Tommy Nelson; “Kehidupan Di Tepi Tebing Yang Rapuh” karya Charles R. Swindoll; “Hidup Di Bawah Bayang Bayang Maut” karya Emanuel Gerrit Singgih;  “Berlimpah Namun Gersang” karya rabi Harold Kushner; “Menjaring Angin” karya Derek Tidball.

Ketegangan-ketegangan batin memicu kecerdasan spiritual bekerja memberi makna atau memaknai kembali hidup dan segala yang telah atau sedang terjadi dalam kehidupan menjadi sebuah pengalaman. Makna itulah yang menentukan pengalaman hidup kita, sehingga pengalaman bukanlah apa yang terjadi pada diri kita, melainkan makna yang kita berikan terhadap apa yang terjadi itu.

Pengkhotbah mengajak kita menelusuri pencarian akan makna hidup di bawah Matahari, yang merupakan berkat atau penyataan umum yang diberikan Tuhan kepada semua umat manusia tanpa memandang apapun, namun harapannya dalam pencarian makna itu kita menemukan berkat dan penyataan khusus di dalam Kristus, yang berasal dari atas Matahari, namun mengambil waktu di bawah Matahari dengan menjadi sama dengan manusia untuk menyelamatkan manusia.


[1] Victor E. Frankk. Man’s Search For Meaning (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), 160.

[2] Victor E. Frankk. Man’s Search For Meaning (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), 159.

[3] Victor E. Frankk. Man’s Search For Meaning (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), 162.

[4] Victor E. Frankk. Man’s Search For Meaning (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), 166.