Iman Kepada Allah SWT

by : Sekar Pristirengganis, Catarina Manurung

Allah adalah nama Dzat Maha Agung, pemilik tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab kata “Allah” itu tidak pernah dipakai untuk benda atau Dzat lain apa pun. Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-penunjuk-sifat atau nama pemberian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata “Allah” tidak pernah dipakai dalm bentuk jamak. Kata “Allah” dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an. Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat, kata “Allah” itu, nama wujud bagi Dzat yang wajib adanya menurut Dzatnya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al adalah tidak terpisahkan dari kata itu. (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Alquran Dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, 1997, hal. 5)

Wujud Allah Taala amatlah tersembunyi dan jauh dari jangkauan, teramat rahasia dan tidak akan bisa ditemukan melalui penalaran manusia semata dan tidak ada argumentasi yang dapat membuktikan eksistensi-Nya secara konklusif. Masalahnya karena logika hanya bisa mengantar manusia sampai kepada tahapan perasaan bahwa kemungkinan ada yang namanya sosok Pencipta. Hanya saja perasaan ‘mungkin’ tidak sama dengan kepastian bahwa memang eksis.’ Mengingat jalannya logika manusia itu tidak sempurna, tidak lengkap dan diragukan maka seorang ahli filosofi tidak akan dapat menemukan Tuhan semata-mata hanya melalui penalaran. Kebanyakan manusia yang berusaha menemukan eksistensi Tuhan melalui logika pada akhirnya akan menjadi ateis.

Salah satu argumentasi adalah karena mereka berpendapat ada beribu-ribu hal di dunia ini yang tidak ada gunanya dan adanya hal tersebut tidak menjadi indikasi adanya sesosok perancang. Hal-hal tersebut ada di dunia hanya semata-mata sebagai barang yang mubazir dan tidak berguna. Orang-orang seperti ini tidak menyadari bahwa kurangnya pengetahuan mereka mengenai sesuatu tidak harus menjadikan hal itu sebagai hal yang tidak berguna.

Ada berjuta-juta manusia di dunia ini yang merasa dirinya sebagai seorang filosof yang amat bijak dan menyangkal eksistensi daripada Tuhan. Sebenarnya jika mereka memang bisa menemukan dasar pemikiran yang kuat yang mendasari eksistensi Tuhan, pasti mereka juga tidak akan menyangkal Wujud tersebut. Kalau saja mereka berhasil menemukan argumentasi yang konklusif yang mendukung keberadaan Tuhan, mereka juga pasti tidak akan menolaknya mentah-mentah. Dengan demikian jelas bahwa mereka yang mengikuti jejak langkah masuk dalam bahtera para filosof semata, tidak akan memperoleh pencerahan dari badai keraguan dengan akibat mereka akan tenggelam dan mereka tidak akan sempat menyaksikan mukjizat Ketauhidan. (Mirza Ghulam Ahmad, Inti Pokok Ajaran Islam, Jld.1)

Allah Ta’ala menerangkan dalam Al-Qur’an tentang kewajiban beriman kepadaNya. Artinya: ”Allah memberi kesaksian bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Dia dan demikian pula malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu, yang berpegang teguh pada keadilan; tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. (QS Ali-Imran [3]: 19)

Tuhan kita adalah Maha Esa dalam Wujud-Nya dan dalam Sifat-sifat-Nya. Tidak ada wujud lainnya yang bersifat abadi dan tegak dengan sendirinya seperti Wujud-Nya. Begitu juga sifat-sifat dari wujud lain yang menyamai Sifat-sifat-Nya. Pengetahuan seseorang membutuhkan seorang guru dan itu pun tetap terbatas. Pengetahuan Tuhan tidak memerlukan guru dan tanpa batas. Kemampuan pendengaran seseorang tergantung kepada udara dan bersifat terbatas, tetapi sifat mendengar yang dimiliki Allah Ta’ala bersifat inheren dan tanpa batas. Kemampuan penglihatan manusia tergantung kepada adanya sinar matahari atau sumber sinar lainnya serta bersifat terbatas, sedangkan penglihatan Tuhan adalah berasal dari Nur yang inheren dalam Wujud-Nya dan tanpa batasan. Kemampuan manusia untuk mencipta tergantung pada sarana dan waktu serta bersifat terbatas. Kemampuan Allah mencipta tidak bergantung pada apa pun, tidak juga pada waktu dan bersifat tanpa batas. Semua sifat-sifat-Nya tanpa banding dan tidak ada apa pun yang sepadan dengan Wujud-Nya atau pun sifat-sifat-Nya. Inilah Ketauhidan yang diajarkan Al-Qur’an dan menjadi dasar dari agama kita. (Khutbah Lahore, Lahore, Rifahi Aam Steam Press, 1904; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 152-155,  London, 1984).

Pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa keajaiban-keajaiban dan ciptaan-ciptaan qudrat ini yang sedikit pun tidak mengandung campur tangan kekuatan manusia dan kekuatan akal pikiran manusia. Pengingkaran terjadap Wujud Allah tidak berlandaskan pada dalil dan kesaksian. Justru, mengingkari Wujud Allah Yang Maha Mulia itu dalam kondisi dimana manusia menyaksikan qudrat-qudrat-Nya dan ciptaan-ciptaan-Nya adalah suatu kebutuhan yang sangat besar. (Malfuzhat, Add.Nazir Isyaat, London, 1984, jld.1,h.52-53)

Beriman Kepada Allah Melalui Rasulullah saw

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda: Adalah pendapat yang salah sama sekali mengharapkan bisa beriman kepada Ke-Esaan Allah s.w.t. tanpa melalui bimbingan Yang Mulia Rasulullah saw dan juga tak akan mungkin memperoleh keselamatan tanpa hal tersebut. Bagaimana mungkin bisa muncul keimanan kepada Ketauhidan Ilahi jika tidak yakin sepenuhnya akan eksistensi-Nya? Percaya dan yakinlah bahwa keimanan kepada Ketauhidan Ilahi hanya dapat dicapai melalui seorang Nabi sebagaimana Nabi Suci Rasulullah s.a.w. telah meyakinkan para ateis dan umat pagan di Arabia mengenai eksistensi Allah yang Maha Kuasa dengan memperlihatkan kepada mereka beribu-ribu tanda-tanda samawi. Sampai dengan hari ini, para pengikut yang benar dan sejati dari  Hazrat Rasulullah s.a.w. bisa memperlihatkan tanda-tanda itu kepada para ateis.” (Haqiqatul Wahyi, Qadian, Magazine Press, 1907; Sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, London, 1984, Vol. 222, hlm. 120-121)

REFERENSI: