GEREJA, ORANG MISKIN, DAN PELAYANAN PASTORAL
by: Daulat Tambunan
A. Pendahuluan
Membicarakan gereja, orang miskin dan pelayanan pastoral di Indonesia pada masa kini bukanlah masalah yang mudah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, topik ini mempuyai cakupan yang amat luas yang tidak mungkin dibahas hanya dalam waktu satu jam atau dua jam. Kedua, tidak semua orang setuju dengan istilah “orang miskin” untuk menyebut masa di mana kita hidup di Indonesia pada saat ini. Ketiga, istilah “ pelayanan pastoral” belum dimengerti secara seragam baik oleh gereja maupun komunitas pastoral. Walaupun demikian, pembahasan tentang gereja, orang miskin dan pelayanan pastoral di Indonesia pada masa ini sangat penting bagi gereja-gereja, lembaga-lembaga pendidikan teologi, dan komunitas pastoral di Indonesia, sebab melalui pembahasan ini kita bisa melakukan refleksi kembali tentang pelayanan pastoral apa yang sudah dan apa yang seharusnya dapat kita lakukan di Indonesia pada masa kini.
B. Tinjauan Alkitab dan Teologi
Teologi bukanlah sekadar pengajaran tentang “apa yang dikatakan oeleh Alkitab” atau tentang “sejarah perjalanan umat Allah”. Teologi harus bersentuhan dengan berbagai pergumulan dan persoalan nyata manusia. Melalui teologi, gereja melihat, merespons, dan menyoroti bagaimana Allah berprakarsa, berencana, bekerja, dan berperan dalam penanganan masalah-masalah kemanusiaan. Salah satu di antaranya adalah masalah kemiskinan.
J.B. banawiratma dan J. Muller mengatakan, “mengingat teologi selalu harus berbicara berhadapan dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus mempunyai ciri sosial atau kontekstual, agar dapat dimengerti secara lebih jelas dan karena itu lebih berfungsi bagi Gereja.”[1]
Karena itulah, gereja pun seharusnya bertanggung jawab untuk menolong masyarakat miskin. Apalagi kita tahu, Allah peduli kepada orang-orang miskin dan peduli untuk mengatasinya. Kemiskinan bukanlah kehendak Allah, bukan juga karena hukuman atas dosa. Kemiskinan juga bukan hal baik untuk ditiru atau dijadikan ukuran kedekatan dengan Allah. Karena itulah, manusia harus berjuang untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Allah sendiri, melalui umat-Nya, berusaha menolong orang-orang miskin. Dalam Ulangan 15:11 Allah mengatakan: “… Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudara-mu yang tertindas dan yang miskin di negerimu.” Dalam Yesaya 58:6-7 Allah katakan, “… supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7).
Masalahnya sekarang, banyak gereja yang mengabaikan atau tidak serius menjalankan tugas untuk menolong orang-orang miskin. Padahal, gereja perlu memberdayakan mereka, sehingga mereka mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Alkitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) sendiri banyak sekali berbicara tentang perintah Allah untuk memperhatikan dan mengasihi kaum miskin. Dalam PB, Yesus katakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kita lakukan untuk mengasihi salah seorang dari yang paling hina ini – mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit, yang hidup sebagai orang asing dan orang tahanan – kita tidak melakukannnya juga untuk Tuhan (Mat. 25:42-45).
Perintah Tuhan untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri pun tak terlepas dari pengertian mengasihi orang-orang miskin. Beberapa ayat dalam PL tentang perintah Tuhan untuk mengasihi kaum miskin ini, antara lain: Janganlah engkau memperkosa hak orang miskin di antaramu dalam perkaranya (Kel. 23:6); Sebab TUHAN mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan (Mzm. 69:34); Ia akan sayang kepada orang lemah dan orang miskin, Ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin (Mzm. 72:13); Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia (Ams. 14:31).
Dengan begitu, keberpihakan kita kepada kaum miskin seharusnya muncul berdasarkan pengalaman kita dengan Firman Allah. Jorge C. Bravo dalam Samuel Amirtham dan John S. Pobee mengatakan, “Dasar-dasar dari refleksi dan misi kita harus terjadi dengan membaca dan membaca ulang Alkitab dalam konteks pengalaman rakyat. Iman kita muncul dari pengalaman sehari-hari dengan Allah dan dengan sesama kita. Itu sebabnya, pemilihan untuk berpaling kepada yang miskin dan yang tersisih adalah hasil pembacaan ulang amanat Alkitab dalam menjawab serbuan dari orang-orang miskin dan tersisih, ke dalam jantung gereja.[2]
Perhatian kepada kaum miskin tentu saja bukan berarti bahwa gereja harus terdiri atas orang miskin. Dalam hal ini tentu saja gereja pun harus melindungi orang-orang kaya, yang dengan kekayaannya, mereka dapat membantu memberdayakan orang-orang miskin. Dengan kekayaan itulah gereja menolong dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Michael Wilson dalam salah satu tulisannya tentang pendampingan pastoral menyatakan bahwa pendampingan pastoral merupakan sesuatu yang situasional sifatnya.[3] Tekanan pada sifat situasional dari pendampingan pastoral ini didasarkan pada keyakinan Wilson bahwa bentuk-bentuk pendampingan pastoral berakar pada konteks di mana pendampingan pastoral itu dilaksanakan. Itulah sebabnyaq secara tegas Wilson mengatakan bahwa: “pendampingan pastoral dipengaruhi berbagai pertanyaan yang terus menerus membentuk konteks seperti ‘dunia macam apa yang kita harapkan?; komunitas macam apa yang kita inginkan dalam kehidupan bermasyarakat?[4]’”Jika pernyataan Wilson ini dikaitkan dengan gereja sebagai salah satu basis pelayanan atau pendampingan pastoral, menurut penulis pernyataan ini mengandung tiga implikasi penting. Pertama dalam pernyataan ini ada pengakuan bahwa tidak ada praktik pendampingan atau pelayanan pastoral yang tidak berkonteks. Semua praktik pelayanan pastoral gereja lahir dan dibentuk oleh konteks tertentu. Pelayanan pastoral karenanya merupakan bentuk tanggapan gereja terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi pada waktu dan tempat tertentu. Sesuatu yang kemudian diteruskan sebagai tradisi. Kedua yang berkaitan dengan ini adalah pertanyaan-pertanyaan kritis tentang konteks dengan mana manusia hidup, turut mewarnai pendekatan, metode, dan bentuk pelayanan pastoral yang diterapkan.
Dengan demikian pelayanan pastoral bersifat unik dan khas untuk setiap konteks. Sesuatu yang mendorong Wilson secara khusus menegaskan bahwa tidak ada blueprint pelayanan pastoral yang berlaku umum untuk segala situasi dan tempat.[5] Ketiga, yang tak kalah penting adalah implikasi imperatifnya dimana gereja sendiri sebenarnya perlu selalu mencari pendekatan, metode, dan bentuk pelayanan pastoral yang lebih relevan dengan kebutuhan konteks. Satu tuntutan yang wajar karena bagaimanapun konteks merupakan sesuatu yang terus berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, jika gereja tidak memikirkan dan merancangkan bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang relevan dengan kebutuhan konteks, maka pelayanan pastoral gereja akan kehilangan relevansi.
Sehubungan dengan itu, Theodore Wedel melukiskan bahwa bahaya abadi yang dihadapi gereja adalah ketidak-relevanan. Pada khususnya, bahaya ini amat hebat pada saat gereja berhasil secara lahiriah. Relevansi yang dimaksudkan adalah relevansi kepada kebutuhan manusia yang mendalam. Artinya, gereja harus relevan kepada situasi manusia yang menimbulkan rasa sakit, kelaparan akan arti kehidupan, dan kehausan akan hubungan yang bermakna. Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat yang berharga yang melaluinya gereja tetap relevan kepada kebutuhan manusia.[6]
C. Pelayanan Pastoral Sosial
Allah, melalui Firman-Nya, dengan jelas dan tegas meminta perhatian kita untuk memperhatikan, menolong, memberi sedekah atau bantuan, dan memberdayakan orang-orang miskin – dalam arti turut menangani penyebab kemiskinan itu sendiri, sehingga mereka mampu mandiri dan berdaya. Inilah salah satu bentuk pelayanan pastoral sosial. Pelayanan ini tidak muncul karena keinginan hati semata, tetapi lebih karena panggilan hidup kita sebagai umat yang beriman kepada Tuhan dan karena dialog kita dengan Firman Tuhan.
Pelayanan pastoral itu sendiri. Menurut Abineno, sekarang ini memiliki banyak jenis dan aliran – yang tidak biasa dianggap berdiri sendiri. Ada jenis pelayanan pastoral sebagai pemberitaan Firman, pelayanan pastoral sebagai konseling (pemberian bantuan), ada juga jenis yang mengkombinasikan pemberitaan Firman dan pemberian bantuan dalam pelayanannya. Selain itu, ada juga pelayanan pastoral sebagai persekutuan (koinonia) dan sebagai diakonia.[7]
Beragam jenis pelayanan pastoral itu ternyata belum mampu meningkatkan peran serta gereja untuk mengangkat masyarakat dari keterpurukan dan kemiskinan. Perhatian dan peran yang yang masih minim itu adalah juga karena ketidakmampuan gereja dan umat Kristen pada umumnya untuk mengerti makna pelayanan pastoral. Gereja (khususnya Protestan) masih memandang bahwa pelayanan pastoral itu adalah pelayanan penggembalaan bagi anggota jemaat. Padahal, seharusnya meliputi semua manusia (lintas iman dan agama) serta alam ciptaan Tuhan (secara holistik).
Menurut Daniel Susanto, pemahaman pelayanan pastoral di Indonesia (yang sempit dan terbatas itu) bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: (a) pemahaman pelayanan pastoral di Indonesia diwarisi dari Barat (bersifat individualistis dan pietis) dan belum dikembangkan sesuai dengan konteks Indonesia; (b) pelayanan pastoral masih didasarkan pada gambaran gembala dan domba pada masyarakat agraris. Di sini, domba dipahami sebagai orang-orang percaya atau anggota gereja saja; (c) pelayanan pastoral masih mengikuti pembagian pelayanan gereja secara tradisional, sehingga terjadi pengkotak-kotakan; (d) pelayanan pastoral masih belum mencakup alam sebagai sasaran pelayanan. Padahal, alam adalah ciptaan Tuhan yang dipelihara oleh Tuhan. Gereja sebagai umat-Nya juga dipanggil untuk memelihara alam ciptaan Tuhan.[8]
Demikian luasnya ladang pelayanan pastoral, namun sedikit sekali gereja yang memperhatikan dan “mengolahnya”. Gereja-gereja, menurut Abineno[9], lebih banyak melakukan bentuk pelayanan verbal dan kurang sekali dalam bentuk perbuatan (diakoni). Pelayanan verbal itu harus diubah, khususnya dalam pelayanan di kota-kota. Di kota – di mana penderitaan mengganas di segala bidang – tidak cukup kalau gereja-gereja hanya berfungsi sebagai “rumah rohani” dari anggota-anggotanya. Mereka harus berbuat lebih daripada itu. Mereka harus benar-benar berfungsi sebagai “persekutuan-persekutuan pelayanan” bagi mereka yang lapar, mereka yang dahaga, mereka yang telanjang, mereka yang sakit, dan lain-lain (Mat. 25).
Karena itulah, sudah saatnya gereja dan umat Allah tidak lagi terus memandang ke atas dan memimpikan kehidupan bahagia di surga, sehingga lupa memandang ke bawah ke arah sesama (yang hidup menderita, tersisih, dan miskin itu) untuk mendatangkan Kerajaan Allah di dunia. Bagaimana kasih dan pemeliharaan Allah terwujud melalui orang-orang percaya yang melayani dan memberdayakan orang-orang miskin dan menderita itu. Di situlah terlihat salah satu bentuk pelayanan pastoral sosial. Pelayanan pastoral ini juga merujuk pada pandangan Howard Clinebel yang mengungkapkan fungsi pelayanan pastoral, yaitu: menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding), memulihkan atau mendamaikan (reconciling). Kemudian Clinebell menambahkan satu fungsi lagi, yaitu: memelihara atau mengasuh (nurturing).[10]
Kelima fungsi pelayanan pastoral di atas, selain digunakan untuk pelayanan bagi seseorang atau individu, bisa juga diterapkan bagi masyarakat sebagai bentuk pelayanan pastoral sosial. Untuk hal ini, Susanto mengungkapkan bahwa fungsi menyembuhkan bermakna untuk menolong masyarakat sembuh dari penyakit sosial (seperti: menyebarnya pengemis, meningkatnya kriminalitas, pengangguran, pelacuran, kenakalan remaja, pemakaian narkoba dan psikotropika, serta korupsi). Fungsi mendukung bermakna untuk menolong orang-orang miskin (secara ekonomi), korban bencana alam, dan sebagainya.[11]
Sedangkan fungsi membimbing bermakna untuk membantu masyarakat mengambil keputusan-keputusan yang bermakna bagi kehidupan bangsa, seperti pada keputusan untuk memilih kepala daerah, anggota dewan, atau presiden dan wakilnya. Kemudian fungsi memulihkan/mendamaikan bermakna untuk mendamaikan masyarakat yang terlibat berbagai konflik sosial atau politik, sehingga mereka kembali rukun/berdamai. Sedangkan fungsi memelihara bermakna untuk membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Dengan begitu, mereka diberdayakan agar hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada belas kasihan orang.
D. Kemiskinan sebagai Masalah Pastoral
Diantara sekian masalah dan tantangan (konteks) pelayanan pastoral yang perlu dijawab gereja, salah satu diantaranya yang penting adalah masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan secara pastoral perlu mendapat perhatian gereja karena berbagai alasan. Alasan yang pertama adalah alasan teologis. Sebagaimana kita tahu kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang secara teologis terus menantang kehadiran gereja secara lebih bermanfaat. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena Alkitab penuh dengan gagasan mengenai keberadaan orang miskin dan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam Alkitab kemiskinan terutama dilihat sebagai sebuah skandal, bukan sesuatu yang diterima apa adanya. Sebagai skandal, kemiskinan dianggap sebagai kondisi yang mencederai hakikat manusia sebagai ciptaan Allah. Dengan demikian panggilan utama orang percaya adalah melawan kemiskinan dengan segala dampak buruknya terhadap kehidupan.
Suatu perlawanan yang dilakukan dengan keyakinan dan pengharapan akan campur tangan Allah yang berjanji memulihkan kerajaanNya termasuk bagi orang-orang miskin yang tersisih.[12] Selain alasan teologis, alasan lain mengapa kemiskinan secara pastoral perlu mendapat perhatian gereja adalah dampak buruk kemiskinan bagi manusia sebagai individu yang menjadi sasaran pelayanan pastoral. Dari berbagai fakta di lapangan kita tahu bahwa kemiskinan dalam wajah yang semakin massif ikut menciptakan dan memperumit berbagai persoalan pada level individu. Masalah-masalah seperti alkoholisme, kriminalitas, pelacuran, konflik rumah tangga, dan lain-lain menjadi semakin kompleks akibat kemiskinan. Itulah sebabnya Clinebell misalnya mengatakan bahwa ketidakadilan masyarakat/kemiskinan melahirkan dosa dan penyakit individu, sama seperti rawa tergenang melahirkan nyamuk-nyamuk.[13]
Sesuatu yang bisa dipahami karena seperti disitir Halmos dalam masyarakat sendiri sebenarnya ada pertentangan yang tidak korelatif antara nilai-nilai yang menghargai dan yang tidak menghargai kemanusiaan.[14] Mengingat dalam kondisi kemiskinan yang dominan adalah nilai-nilai yang tidak menghargai kemanusiaan, sudah tentu nilai-nilai ini seperti dikatakan memperumit dan memperparah persoalan-persoalan orang miskin.
Dengan demikian jika gereja dalam hal ini tidak melakukan pelayanan pastoral terhadap orang miskin secara bermanfaat, tentu gereja mengabaikan salah satu mandat teologis yang paling mendasar dan juga salah satu fakta sosial yang mempunyai pengaruh luar biasa dalam merusak manusia sebagai sasaran pelayanan pastoral gereja.
E. Pelayanan Pastoral Gereja bagi Orang Miskin
Sehubungan dengan hal di atas maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang seharusnya dilakukan gereja agar pelayanan pastoralnya bermanfaat bagi orang miskin? Pertanyaan ini penting karena bagaimanapun upaya mengembangkan pelayanan pastoral terhadap orang miskin perlu berangkat dari realitas pelayanan pastoral yang sejauh ini dilakukan gereja. Tanpa titik berangkat seperti ini dipastikan apa yang ditawarkan hanya sebatas konsep yang sulit diimplementasikan.
Untuk itu sebagai entry point pertama-tama perlu dikonstantir apa sesungguhnya ciri pelayanan pastoral yang sejauh ini telah dipraktikkan gereja sebagai titik pijak untuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan. Dari berbagai sumber dan juga berdasarkan fakta empirik, kita bisa mengatakan bahwa secara umum pelayanan pastoral gereja sejauh ini dipraktikkan sangat bersifat gereja sentris[15], terorientasi pada segi-segi spiritual, mengutamakan pelayanan individu[16], dan mengacu pada kerangka nilai masyarakat kelas Menengah.[17]
Inilah ciri-ciri umum pelayanan pastoral gereja. Orientasi pelayanan yang bersifat gereja sentris merupakan buah dari apa yang oleh Gutierrez disebut mentalitas ghetto, yang serba tertutup dan defensif, yang secara menentukan mengarahkan praktik kehidupan bergereja.[18]
Sebagaimana kita tahu gereja/orang kristen dalam hal ini sering memahami diri sebagai komunitas yang dikhususkan/disendirikan. Masalahnya seringkali tafsiran keliru terhadap kekhususan ini membuat gereja/orang kristen gagal melihat bahwa sebenarnya ada persoalan di luar praktik kehidupan bergereja yang seharusnya juga diperhatikan. Secara operasional, pemahaman ini kemudian membuat pelayanan gereja, termasuk pelayanan pastoral diartikan secara sempit sebagai bentuk pelayanan untuk kebaikan gereja dan bukan untuk kebaikan dunia kemana gereja dipanggil.
Tekanan pada segi-segi spiritual dalam pelayanan gereja, merupakan akibat pengaruh ajaran dua kerajaan yang dipahami dalam kerangka berpikir filsafat platonis. Sebagaimana kita tahu, dalam kekristenan ada tekanan yang sangat kuat terhadap ide kerajaan Allah. Ide Kerajaan Allah ini aslinya merupakan sebuah cita-cita untuk mentranformasikan kehidupan menjadi sesuatu bersesuaian dengan kehendak Allah. Dalam hal ini sebuah transformasi yang menghadirkan damai sejahtera (shalom) dalam arti yang holistik, menyangkut segi-segi jasmani dan rohani. Persoalannya pada tataran operatif, ide tentang kerajaan Allah ini dipertentangkan secara asimetris dengan apa yang disebut ide tentang kerajaan dunia yang dianggap sebagai sumber masalah/kejahatan.
Satu cara mempertentangkan yang kemudian karena intervensi pemikiran filsafat platonis dalam ajaran kristen membuat adanya kecenderungan merohanikan ide kerajaan Allah. Sesuatu yang tidak terhindarkan karena sebagaimana kita tahu dalam kategori berpikir filsafat platonis, dunia spiritual/dunia maya dianggap sebagai dunia yang lebih ideal ketimbang dunia materi/dunia nyata. Konsekuensinya pelayanan gereja, termasuk pelayanan pastoral sebagaimana dikatakan di atas cenderung diarahkan pada pelayanan yang mengurus segi-segi spiritual/rohani karena pandangan bahwa secara kualitatif hal-hal spiritual lebih berharga dari hal-hal materi.
Selanjutnya orientasi pada pelayanan individu dan nilai masyarakat kelas menengah, dalam hal ini merupakan ciri pelayanan pastoral gereja yang menguat karena fakta bahwa dalam sejarahnya masyarakat kelas menengah Eropa dan Amerika yang sangat individualis menjadi lahan subur bagi berkembangnya pelayanan/pendampingan pastoral. Sesuatu yang membuat pelayanan pastoral sering juga disebut sebagai fenomena gereja barat.[19] Dengan demikian tidak mengherankan kalau perhatian pada individu dan nilai-nilai masyarakat kelas menengah seperti dikatakan di atas sangat mewarnai bentuk, metode, dan pendekatan pelayanan pastoral gereja.
Masalahnya dengan ciri seperti di atas tentu tidak mudah bagi gereja melakukan pelayanan pastoral terhadap orang miskin. Gereja dengan ciri-ciri pelayanan pastoral seperti di atas, tidak mungkin mengakomodir kepentingan pelayanan pastoral terhadap orang miskin. Bahkan boleh dikatakan dengan ciri pelayanan seperti di atas, realitas kemiskinan sebagai masalah pastoral menjadi masalah yang out of context.
Sebab itu bertolak dari ciri-ciri di atas, menurut kami beberapa hal perlu dilakukan agar pelayanan pastoral gereja menjadi berguna bagi orang miskin. Adapun hal-hal tersebut adalah: Pertama, praktik pelayanan pastoral gereja perlu melampaui kecenderungan membatasi dan memperalat pelayanan pastoral semata untuk kepentingan gereja dalam arti sempit. Tekanan ini penting karena faktanya seringkali pelayanan pastoral gereja hanya dipakai sebagai alat melayani kepentingan pelayanan internal gereja. Sebagai contoh secara tradisional, pelayanan pastoral gereja antara lain dipakai sebagai alat untuk memelihara persekutuan jemaat dan juga kepentingan lain seperti penginjilan. Dalam hal ini mengingat persekutuan merupakan suatu dimensi pelayanan gereja yang penting, gereja tentu merasa berkepentingan memelihara persekutuan yang harmonis. Alat untuk memelihara persekutuan sebagaimana diidealkan tidak lain adalah pelayanan pastoral.[20] Selain itu dalam sejarah gereja bahkan hingga sekarang kita juga melihat bahwa seringkali pelayanan pastoral dipakai sebagai alat penginjilan. Sesuatu yang membuat istilah pelayanan pastoral seringkali identik dengan istilah-istilah penginjilan seperti ‘memenangkan jiwa bagi Kristus’, dan lain-lain.[21] Walaupun cara pandang ini bisa dipahami mengingat gereja tentu juga perlu melakukan pelayanan pastoral secara internal, cara pandang ini seperti dikatakan di atas, tidak akan menolong gereja dapat melayani orang miskin dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kepentingan pelayanan pastoral sempit seperti digambarkan di atas, hampir tidak mungkin bagi gereja melihat persoalan orang miskin dan kemiskinan sebagai titik berangkat dalam melakukan pelayanan pastoral. Alasannya karena persoalan orang miskin adalah persoalan yang terjadi di domain publik dan bukan di domain privat (gereja). Sebab itu kalaupun gereja dalam pelayanan pastoral bersentuhan dengan orang miskin dapat dipastikan bahwa pelayanan itu lebih diarahkan untuk menjadikan orang miskin hidup sebagai warga gereja yang baik ketimbang membebaskan mereka dari kemiskinan. Sesuatu yang tentu bertentangan dengan tujuan pelayanan pastoral terhadap orang miskin yang pada dasarnya dimaksudkan mengeliminir bahkan menghapuskan dampak buruk kemiskinan dan kemiskinan itu sendiri sebagai fakta/skandal yang merusak hidup manusia/individu.
Dengan demikian, agar pelayanan pastoral gereja benar-benar menjawab persoalan orang miskin, pelayanan pastoral gereja yang sangat bersifat gereja sentris perlu ’dibaptis’ menjadi satu jenis pelayanan publik. Maksudnya satu pelayanan yang berbasis gereja namun lebih terorientasi pada kepentingan publik dimana persoalan kemiskinan menjadi tantangan pelayanan.
Kedua, dalam melayani orang miskin, gereja harus sadar bahwa diperlukan bentuk-bentuk dan pendekatan-pendekatan pelayanan yang lebih holistik. Seperti dikatakan di atas, pelayanan pastoral gereja seringkali lebih memperhatikan dan mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual. Kalaupun di sana sini ada perhatian pada hal-hal materi, perhatian tersebut bersifat sekunder. Padahal sebagaimana kita tahu, persoalan kemiskinan sendiri merupakan masalah yang kompleks. Orang-orang miskin tidak saja miskin secara spiritual, tetapi terutama mereka juga miskin secara materi. Mereka tidak hanya memerlukan perhatian secara spiritual tetapi juga memerlukan perhatian secara material. Dengan demikian kalau pelayanan pastoral gereja seperti dikatakan di atas hanya memperhatikan segi-segi spiritual tentu saja pelayanan itu kurang bermanfaat bagi orang miskin. Karena itu dalam pelayanan pastoral terhadap orang miskin perhatian terhadap hal-hal yang bersifat material perlu juga dikedepankan. Perhatian terhadap hal-hal yang bersifat material ini dapat dilihat sebagai bentuk pelayanan nonverbal yang pada prinsipnya melengkapi pelayanan-pelayanan pastoral yang umumnya bersifat verbal.[22]
Ketiga, dalam melayani orang miskin, gereja perlu melampaui pendekatan-pendekatan pastoral yang semata diarahkan pada individu. Gereja juga perlu memikirkan bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang bersifat sosial/politis dalam mentransformasi masyarakat. Sebagaimana kita tahu, terutama karena pengaruh asumsi ilmu-ilmu psikologi/psikiatri, pelayanan pastoral dalam sejarahnya cenderung melihat manusia dalam arti individu sebagai sumber masalah sekaligus sasaran pelayanan pastoral. Meminjam istilah dalam dunia filsafat, individu dalam hal ini menjadi objek formal sekaligus objek material pelayanan pastoral. Kenyataan seperti ini menyebabkan gereja kurang sensitif melihat bahwa dalam pelayanan pastoral, sebenarnya aspek-aspek sosio-politis juga perlu mendapat perhatian.[23] Itulah sebabnya kalaupun kemudian dalam pelayanan pastoral gereja ada perhatian pada aspek-aspek sosio-politis, maka meminjam istilah Robert Solomon, perhatian tersebut lebih didasarkan pada perspektif individu membentuk masyarakat/komunitas. Satu perspektif yang pada akhirnya juga mengarah pada kurangnya keseriusan menagani segi-segi sosio-politis dalam pelayanan pastoral.[24] Padahal seperti dikatakan Kemp dalam pelayanan pastoral terhadap orang miskin, perhatian terhadap kondisi dalam komunitas orang miskin dan tindakan-tindakan sosial perlu dilakukan sama baiknya dengan perhatian terhadap individu.[25]
Dari pendapat ini jelas ada kesadaran bahwa pelayanan pastoral terhadap orang miskin merupakan satu bentuk pelayanan yang seharusnya dilakukan dalam dua ranah. Yang pertama, ranah sosial-politik dan yang kedua ranah individu. Dalam ranah sosial-politik pelayanan pastoral diarahkan untuk meningkatkan kesadaran kritis dan memampukkan orang miskin melawan berbagai dampak buruk kemiskinan.[26] Perhatian pada dua ranah ini harusnya dilakukan secara seimbang dalam pelayanan pastoral terhadap orang miskin. Sesuatu yang penting karena seperti dikatakan Heitink: “suatu pastorat yang hanya menyibukkan dirinya dengan memelihara dan menambal sulam para korban, dan tidak berbuat apa-apa unutk menyadarkan manusia dan mengubah serta membaharui masyarakat, adalah pastorat yang pada dasarnya mendukung dan memperkokoh keadaan yang sedang berlaku.”[27]dengan kata lain jika gereja dalam hal ini ingin hadir secara bermanfaat dalam melakukan pelayanan pastoral terhadap orang miskin, gereja perlu melakukan apa yang selama ini dalam dunia pelayanan pastoral biasa disebut dengan pelayanan pastoral individu dan pelayanan pastoral sosial/politis secara bersama-sama. Adapun alasan mengapa kedua bentuk pelayanan pastoral di atas perlu dilakukan bersama-sama dalam melayani orang miskin dikarenakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk relasional. Manusia buakanlah makhluk otonom dalam arti bebas dari pengaruh lingkungan seperti keyakinan-keyakinan dari masa lalu, yang juga turut mempengaruhi paradigma pelayanan pastoral. Keberadaan manusia/orang miskin dalam hal ini tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri tetapi juga oleh lingkungan yang membentuknya. Dengan demikian untuk menolong orang miskin sebenarnya juga diperlukan kesediaan untuk mengeliminir faktor-faktor eksternal yang memiskinkan lewat pelayanan pastoral sosial, disamping bentuk-bentuk pelayanan pastoral individu yang sejauh ini sudah dilakukan gereja.[28]
Kelima, dalam melakukan pelayanan pastoral, gereja perlu membebaskan diri dari paradigma nilai masyarakat kelas menengah dan menjadi lebih sensitif terhadap paradigma nilai orang miskin. Sensitifitasnya ini menyangkut bagaimana gereja dari segi pendekatan dan metode, memperhatikan hal-hal yang cocok dan tidak cocok dengan kepentingan pelayanan pastoral bagi orang miskin.
Perlu disadari bahwa pada tataran praktis, tidak semua pendekatan dan metode pelayanan pastoral yang sejauh ini dipraktikkan gereja dapat begitu saja diterapkan untuk kepentingan orang miskin. Banyak pendekatan dan metode pelayanan pastoral justru bertolak belakang dengan apa yang seharusnya diberlakukan untuk kepentingan orang miskin mengingat asumsi nilai masyarakat kelas menengah yang terkandung di dalam pendekatan dan metode tersebut. Itulah sebabnya Clinebell misalnya kemudian menilai bahwa metode introspektif dalam pelayanan pastoral bagi orang miskin tampaknya hanya membuang-buang waktu saja. Budaya orang miskin, demikian Clinebell, tidak cocok dengan pendekatan yang demikian.[29] Sebab itu gereja perlu memikirkan bentuk dan metode pendekatan pelayanan pastoralyang lebih sesuai dengan kebutuhan orang miskin. Sesuatu yang membutuhkan pendalaman khusus karena sebenarnya orang miskin di berbagai tempat memberikan tanggapan dan reaksi yang berbeda atas fakta kemiskinan. Preferensi nilai berbeda yang hidup dan berkembang dalam tiap komunitas orang miskin dalam hal ini ikut mempengaruhi tanggapan mereka atas kemiskinan. Preferensi-preferensi nilai inilah yang perlu diperhatikan dalam merumuskan metode dan pendekatan pelayanan pastoral yang berguna bagi orang miskin. Sebagai contoh hal ini antara lain bisa kita lihat dari upaya yang dilakukan orang-orang seperti Anthony Yeo. Karena menyadari kondisi orang-orang Asia yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan, Yeo menegaskan bahwa konseling pastoral terhadap orang Asia perlu dilakukan dengan memperhitungkan perspektif yang bersifat nonpatologis dan penggunaan metode yang lebih direktif.[30] Contoh lain juga bisa dilihat dalam apa yang dilakukan Robert Solomon. Dengan kesadaran bahwa cara berpikir orang melayu (baca: orang miskin) lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, Solomon mengusulkan perlunya melakukan konseling dari sudut pandang komunitas.[31] Tentu saja upaya-upaya semacam ini perlu lebih banyak dilakukan gereja dalam rangka menemukan metode dan pendekatan pelayanan pastoral yang lebih sesuai dengan kebutuhan orang miskin yang dilayani mengingat setiap komunitas miskin memiliki karakteristik, pandangan, nilai, serta keyakinan yang berbeda-beda.
G. Kesimpulan
Dari gambaran di atas terlihat betapa pentingnya kita mengembangkan pelayanan pastoral dalam gereja bagi masyarakat khususnya bagi orang miskin. Di sinilah dituntut peran kita untuk mewujudkan kasih kita kepada sesama. Terlebih lagi kepada orang-orang yang terpinggirkan, menderita, dan miskin, seperti halnya kaum pemulung. Ini tentu tidak terlepas dari tujuan Allah menciptakan manusia segambar dengan Dia. Manusia diciptakan dengan harkat dan nilai yang sama, sehingga Dia tidak menghendaki ada manusia yang hidup dalam kemiskinan atau penindasan, sehingga tidak mampu menjalankan hidupnya sebagai manusia yang bermartabat.
Gereja saat ini perlu mencari bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang bisa menjawab masalah-masalah kekinian. Gereja dalam hal ini perlu memikirkan bentuk-bentuk pelayanan pastoral berdasarkan karakteristik persoalan/konteks dimana gereja ada, dalam rangka mentransformasi kondisi kehidupan manusia yang tidak seharusnya menjadi sesuatu yang lebih baik/ideal sesuai tuntutan injil.
Daftar Pustaka:
Abineno, J.L. Ch., Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-3, 2000.
Bartonaldo, Sara., “Pastoral Care in Latin America,” International Perspectives on Pastoral
Beek, Aart van. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Counseling, ed. James Reaves Farris, New York: Haworth Press, 2002.
Gutierrez, Gustavo, The Power of the Poor in History, trans. Robert R Barr, New York: Orbis Book, 2nd printing, 1983.
, A Theology of Liberation, trans. Sister Caridad Inda & John Eagelson, New York: Orbis Book, 8 th Printing, 1973.
Haarsma, F., Pastorat dalam dunia, Seri Pastoral no 181, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1991.
Heitink, Pastorat dan Politik, Seri Pastoral no 140, penyadur J. Thahja Putra, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1987.
Kemp, Charles, Pastoral Care wit the Poor, Nashville: Abingdon Press, 1972.
Pattison, Stephen., A critique of Pastoral Care, London: SCM Press, 1988.
Solomon, Robert., “The Future Landscape of Pastoral Care and Counseling,” International Perspectives on Pastoral Counseling, ed. James Reaves Farris, New York: Haworth Press, 2002
Van Beek, Aart., “Pastoral Counseling in Indonesia,” International Perspectives on Pastoral Counseling, ed. James Reaves Farris, New York: Haworth Press, 2002
Wilson, Michael., A Coat of Many Colours: Pastoral Studies of the Christian Way of life, London: Epworth Press, 1988.
Yeo, Anthony, Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-6, 2007.
[1] J.B. Banawiratma. dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 25.
[2] Jorge C Bravo. “Teologia-Rakyat.” Dalam Teologi oleh Rakyat ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm.56
[3] Michael Wilson, A Cost of Many Colours: Pastoral Studies of the Christian Way of Life (London Epworth Press, 1988), hlm. 110.
[4] Ibid., hlm. 111.
[5] Michael Wilson, Op.Cit., hlm. 110.
[6] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 17.
[7] Abineno, J.L. Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm.43
[8] Daniel Susanto, “Pelayanan Pastoral Holistik.”, (Jakarta: GKI Menteng, 2008), hlm. 27-28.
[9] Ibid., hlm 46.
[10]Howard Clinebell. Op.cit, hlm. 53-54.
[11] Daniel Susanto, Op.cit., hlm. 35-37
[12] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, (Maryknoll: Orbis Book, 1973), hlm. 291-302.
[13] Howard Clinebell, Op.cit, hlm. 74.
[14] Stephen Pattison, A Critique of Pastoral Care (London: SCM Press, 1988), hlm. 101-102.
[15] Gustavo Gutierrez, The Power of The Poor in History, (Maryknoll-New York: Orbis Book, 2nd Printing 1983), hlm. 27.
[16] Sara Bartonaldo, “Pastoral Care in Latin America,” International Perspectives on Pastoral Counseling, (New York: Haworth Press, 2002), hlm. 192-193.
[17] Howard Clinbell, op.cit., hlm. 34.
[18] Gustavo Gutierrez, loc.cit.
[19] Edward Wimberley, Pastoral Care in the Black Church (Nashville: Abingdon Press,1983), hlm. 17.
[20] J..L.Ch Abineno, Op.cit, hlm. 43-45.
[21] Aart van Beek, Op.cit, hlm. 167.
[22] J.L.Ch. Abineno, op.cit., hlm. 45-46.
[23] Stephen Pattison, Op.cit., hlm. 82-83.
[24] Robert Solomon, “The Future Landscape of Pastoral Care and Counseling in the Asia Pacific Region, “International perspectives on Pastoral Care and Counseling (New York: Haworth Press, 2002), hlm. 108-109.
[25] Charles Kemp, Pastoral Care with The Poor (Nashville: Abingdon Press,1972), hlm. 83.
[26] F. Haarsma, Pastoral dalam dunia (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1991), hlm. 24-25.
[27] Heitink, Pastorat dan Politik (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1987), hlm. 12-13.
[28] Michael Wilson, Op.cit., hlm. 21.
[29] Howard Clinebell., Op.cit., hlm. 124-125.
[30] Anthony Yeo, Konseling: Suatu pendekatan Pemecahan Masalah (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 4-7
[31] Robert Solomon, op.cit, hlm 113.