Fungsi Agama dan Negara dalam Mengatasi
by: D.Min. Daulat Marulitua
Pendahuluan
Konflik antaragama merupakan realitas pada banyak negara. Pada satu sisi, negara sekuler yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan pengaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini realitas menunjukkan bahwa agama masih memiliki pengaruh di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Pada sisi yang lain, negara yang menempatkan agama tertentu sebagai agama negara terbukti telah mendiskriminasikan agama tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dan negara tampaknya tidak dapat dipisahkan, namun agama dan negara juga tidak bisa saling menaklukkan. Hubungan antara agama dan negara yang tidak saling menaklukkan ini tampak dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apalagi hubungan antara agama dan negara ini merupakan sebuah kesepakatan bersama. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ada dasar teori hubungan agama dan negara yang didasarkan pada sebuah kompromi bersama sebagaimana dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan? Dan mengapa diskriminasi agama masih saja terjadi di Indonesia? Serta bagaimana fungsi agama dan negara dalam mengatasi konflik antar agama tersebut?
Persoalan Konflik Agama dalam Negara Pancasila
Agama dan negara berbeda. Agama tidak boleh menguasai negara, demikian juga negara tidak boleh menyingkirkan peran agama di tengah masyarakat. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara apabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan ketertiban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antaragama dan kelompok yang ada. Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan.
Ambiguitas kebijakan diferensiasi agama dan negara di Indonesia terlihat pada beberapa hal antara lain: Negara mendukung beberapa agama, dan tidak mendukung beberapa agama termasuk agama-agama suku atau kepercayaan meski tetap memberikan hak hadir di bumi Indonesia. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui.. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. Di Indonesia aturan ini telah digunakan menjadi alat untuk menutup rumah ibadah yang bermasalah dalam perizinan dan yang tidak memiliki izin. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. Negara mensubsidi beberapa/ semua agama (negara memberikan bantuan terhadap agama tertentu) . Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua agama. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. . Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas.
Berdasarkan skala di atas, jelaslah bahwa kebijakan terkait agama di Indonesia tidak sesuai dengan kebijakan Pancasila yang membedakan agama dan negara. Karena negara terlihat dalam undang-undang dan peraturan turunannya tidak mengacu pada Pancasila. Ambiguitas kebijakan tersebut membuat hubungan antara agama dan negara, agama dan agama atau toleransi kembar tidak terimplementasi dengan baik. Ambiguitas ini terjadi karena adanya keragaman apresiasi terhadap Pancasila. Ketidakpuasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya ke dalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara. Keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Di penghujung pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun diperlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan di luar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat Pancasila yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada.
Lahirnya otonomi daerah di era reformasi ternyata menimbulkan persoalan baru, khususnya dalam hubungan antaragama. Daerah dengan mayoritas agama tertentu kemudian menuntut kekhususannya meski harus mendiskriminasikan agama-agama lain. Peraturan daerah (perda) agama pun muncul di berbagai tempat dan mengancam kebebasan beragama. Kehadiran perda-perda bernuansa agama pada umumnya tidak secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai perda agama, namun isinya yang memuat nilai-nilai agama tertentu dan terindikasi mendiskriminasikan agama-agama lain mengidentikkan dirinya sebagai perda agama, biasa juga disebut perda yang melanggar hak-hak asasi manusia. Perda bernuansa agama itu sukses diberlakukan di beberapa provinsi di Indonesia, setidaknya itu telah ditetapkan di 13 provinsi di Indonesia. Sifat diskriminatif yang melekat pada perda-perda agama itu menimbulkan perlawanan dari mereka yang terdiskriminasikan, namun perda-perda agama tersebut terus saja melenggang sambil mengklaim diri terlahir secara demokratis. Apalagi ketika demokrasi direduksi hanya pada pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Diskriminasi yang dihadirkan oleh perda agama Islam kemudian memicu lahirnya raperda bernuansa agama Kristen. Meskipun raperda bernuansa agama Kristen tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai kebijakan daerah karena tidak disetujui mayoritas. Ambiguitas diferensiasi negara dan agama di Indonesia terjadi karena pembuatan kebijakan publik terkait agama sering kali gagal untuk tunduk pada prinsip-prinsip public reason dan public deliberation. Dalam negara Pancasila, ajaran keagamaan boleh saja memberikan inspirasi, namun formulasinya harus mengalami proses substansial (tidak secara literer merujuk pada kitab dan doktrin keagamaan) guna memenuhi legitimasi demokratis yang bersifat rasional dan imparsial. Ini dapat dipahami karena keputusan publik-politik dianggap rasional imparsial jika didasarkan pada fakta (bukan doktrin semata), dan diorientasikan bagi kepentingan banyak orang dan jangka panjang, serta melibatkan partisipasi semua kalangan secara inklusif. Sehingga tidak satu agama dapat mengklaim bahwa kebijakan publik itu adalah hasil penguasaan kelompok agama tertentu.
Fungsi Agama dan Negara dalam Mengatasi Konflik Agama
Melihat sejarah ditetapkannya Pancasila di Indonesia sebagai dasar bagi hubungan agama dan negara, harus diakui bahwa hal itu tidak terlepas dari peran aktif agama-agama yang ada di Indonesia. Agama Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia juga jauh dari monolitis. Demikian juga agama-agama suku yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Semua agama di Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penetapan hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila merupakan sumbangsih agama-agama di Indonesia yang diakui memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Agama Islam, memainkan peran yang sangat krusial di dalam mendorong nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20.20 Muslim Indonesia dalam hal ini harus dipahami dalam keragamannya, karena Muslim Indonesia tidak monolitis. Gelombang gerakan nasionalis Indonesia juga tidak terlepas dari perjuangan umat kristiani yang juga mengambil bagian di dalam gerakan tersebut. Seperti banyak organisasi nasionalis Indonesia lain, sejak pendiriannya tahun 1925, Partai Katolik telah mendukung gerakan nasionalis. Para pemimpin Indonesia pada waktu itu menyadari agar mereka bisa mencapai kemerdekaan Indonesia, mereka harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi politik nasionalis Indonesia lain. Di dalam konteks historis gerakan nasionalis Indonesia ini, muncullah dua kelompok berbeda di dalam wacana politik Indonesia: golongan kebangsaan (secular nationalists) dan golongan Islam (Muslim nationalists).
Dari awal masa pra-kemerdekaan Indonesia, agama-agama berperan penuh dan memberikan sumbangsih-sumbangsih utama bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Inspirasi agama adalah salah satu faktor terpenting yang mendukung gerakan nasionalis Indonesia dengan mendukung kesatuan nasional melawan penjajahan Belanda. Mengenai hubungan antara agama dan negara, Darmaputera, seorang teolog Kristen menjelaskan demikian:
Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama, artinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya bangsa Indonesia, kesepakatan bersama rakyat Indonesia. Soekarno mengakui bukan pembuat Pancasila, tetapi menggali di dalam buminya rakyat Indonesia. Pancasila sebagai nilai-nilai yang universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Penerimaan Pancasila tidak akan menghapuskan identitas yang ada. Hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang unik itu didasarkan pada Pancasila. Bentuk negara Pancasila yang dimaksud dalam hal ini adalah negara yang memisahkan antara agama dan negara. Negara Pancasila bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta memperlakukan agama-agama secara sama dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Kesimpulan
Perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan yang suci menghargai keragaman agama-agama yang adalah realitas Indonesia. Pancasila adalah dasar yang kokoh bagi negara demokrasi yang menghargai pluralisme agama. Demokrasi yang menghargai pluralisme agama ini adalah pilihan terbaik untuk Indonesia, dan juga bangsa-bangsa di dunia. Negara Pancasila yang membedakan agama dan negara sejalan dengan teori Casanova secara bersamaan juga menyempurnakan demokrasi Barat yang sekuler, yang meminggirkan agama. Salah satu negara di dunia yang menganut pemerintahan demokrasi yang tidak meminggirkan agama adalah Turki, negara ini terus mengembangkan demokrasi yang tidak didasarkan agama dan juga bukan negara sekuler yang menolak agama. Demokrasi sekuler yang meminggirkan agama saat ini semakin ditolak seiring tuduhan bahwa sekularisme adalah juga agama, meski ide sekularisme sebagai agama itu sendiri merupakan paradoks. Pancasila merupakan kesepakan bersama agama-agama di Indonesia untuk menaungi semua agama-agama yang beragam di Indonesia. Model pemerintahan negara Pancasila ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menentukan hubungan ideal antara agama dan negara. Pancasila adalah negara pluralisme agama yang memposisikan agama-agama pada tempat terhormat tanpa mendiskriminasikan agama tertentu. Perjalanan negara Pancasila itu tidak selalu mulus, bahkan tidak jarang ditemukan konflik suku, agama, ras dan antargolongan hingga dalam skala besar. Namun, semua itu terjadi karena terjadinya keragaman apresiasi terhadap Pancasila, bukan karena kelemahan yang ada pada diri Pancasila.