Cara Kerja Kecerdasan Spiritual
by: Simon Mangatur Tampubolon
Spiritual Intelligence sebagai sebuah kecerdasan tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan IQ dan EQ. Secara sederhana dapat dikatakan: IQ sebagai kecerdasan memberikan jawaban atas pertanyaan “apa”; EQ sebagai kecerdasan berusaha memahami “bagaimana”, dan SQ sebagai kecerdasan berusaha memahami “mengapa”[1] IQ dikenal bersifat linier atau seri yang logis dan rasional; EQ bersifat asosiatif, artinya menciptakan asosiasi satu hal dengan hal yang lain; dan SQ bersifat unitif (menyatukan) atau holistic, melakukan kontekstualisasi dan transformasi.
Lapisan luar, yaitu lapisan Rasional yang prosesnya bersifat seri berfungsi untuk berinteraksi secara efesien dengan dunia teks, jadwal, perencanaa linier atau yang berorientasi pada tujuan.
Pada lapisan tengah adalah berpikir Asosiatif yang prosesnya bersifat pararel. Sedangkan, pada lapisan pusat berpikir integrative dan disini adalah pusat kerja Spiritual Intelligence.[3]
Model Danar dan Ian di atas menempatkan kecerdasan spiritual sebagai pusat bagi dua kecerdasan lain dalam arti kecerdasan spiritual memberi makna bagi dua kecerdasan lain tesebut dengan cara mengintegrasikan kecerdasan tersebut dengan makna yang membuat terjadinya osilasi diri yang lebih tinggi.
Proses pemaknaan yang dikerjakan oleh kecerdasan spiritual adalah proses menjawab pertanyaan “mengapa” terhadap apa yang terjadi dalam hidup dan kehidupan seseorang, hal inilah yang mempengaruhi dan menciptakan integrasi kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional.
Pengkhotbah dalam pesan-pesannya membantu kita dengan memberi semacam kisi-kisi pertanyaan dan petunjuk atau tuntunan untuk menjawab “mengapa” yang menjadi pergumulan bersama manusia di bawah matahari. Memang dalam kisi-kisi dan petunjuk itu Pengkhotbah tidak mengungkapkannya dalam satu garis lurus yang sistematis, melainkan dengan gerakan berputar yang sepertinya acak, namun bagian demi bagian saling melengkapi. Sebagaimana hidup ini seringkali tidak lurus dan datar, namun berputat-putar dan setiap bagiannya sesungguhnya membentuk kehidupan yang istimewa.
Model Intergratif Kecerdasan
“KI” adalah Kecerdasan Intelektual; “KE” adalah Kecerdasan Emosional; dan “KS” Kecerdasan Spiritual. Ketiga kecerdasan ini bekerja dalam memberikan persepsi pada apa yang dipikirkan oleh diri. Apa yang dipikirkan oleh diri bisa meliputi benda, peristiwa atau kejadian, tulisan, gambar bergerak ataupun tidak, rasa, suara, dan juga diri itu sendiri.
Pada aspek kecerdaan intektual proses yang terjadi adalah proses identifikasi obyek yang sedang diamati atau dipikirkan. Di aspek kecerdasan emosional proses yang terjadi adalah proses untuk memberikan respon atas apa yang terjadi. Dan dalam aspek kecerdasan spiritual yang terjadi adalah proses mendasar sekali yaitu proses memberikan makna atas obyek yang diamati atau pikirkan.
Dalam praktek sesungguhnya ketiga kecerdasan tersebut bekerja secara bersama, namun berbeda dalam intensitas yang mengakibatkan munculnya respon yang berbeda yang oleh pengamat dari luar dinilai dengan label-label seperti apa yang dikategorikan dalam kecerdasan majemuk. – kecerdasan linguistic, matematis-logis, visual, musical, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, kecerdasan spiritual –
Pada gambar model di atas gambar panah yang mengambarkan proses pengamatan dan pemikiran tersebut digambarkan terputus-putus dan bergelombang, hal ini menggambarkan bagaimana kecerdasan spiritual untuk mencari makna itu kerap kali terputus atau terhenti dan penuh gejolak, dan bisa tidak terjadi atau terjadi dalam intensitas yang rendah.
Model Parsial Kecerdasan
Dalam praktek proses kerja kecerdasan itu kerap kali memiliki pusat yang terbalik dan sepertinya terpisah atau bekerja secara parsial.
Pada proses yang parsial ini kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional lebih dominan bekerja dan masing masing kecerdasan seolah bekerja sendiri. Sementara kecerdasan spiritual dalam model ini terputus atau bahkan seakan tidak ikut berproses.
Model parsial ini dapat dijelaskan dalam kenyataan :
- Tidak banyak individu yang mempertanyakan “mengapa” ia melakukan sesuatu.
- Tidak banyak individu yang mempertanyakan “makna” dari apa yang dilakukan atau terjadi.
- Kecenderungan kita untuk berpikir tentang apa yang akan kita lakukan dan bagaimana melakukannya, namun tidak memikirkan mengapa.
[1] Richard A. Bowell. The 7 Steps of Spiritual Ouotient (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), 15.
[2] Danah Zohar dan Ian Marshall. Kecerdasan Spiritual (Bandung: Mizan 2007),56.
[3] Danah Zohar dan Ian Marshall. Kecerdasan Spiritual (Bandung: Mizan 2007), 56