“Bolehkah Gereja Berpolitik?”

by: Daulat Tambunan

Perdebatan dalam masyarakat kita mengenai hubungan gereja dengan partai politik sekaligus dengan kegiatan politik praktis. “Bolehkah Gereja Berpolitik?” dalam konteks kenegaraan Indonesia menjadi suatu pertanyaan yang harus dijawab secara hati-hati. Jawaban yang berbeda adalah suatu hal yang lumrah. Namun jawaban harus tetap diberikan, “boleh” atau “tidak” yang didukung dengan suatu alasan berdasarkan kajian yang ilmiah dan bertanggung jawab. Kajian dapat dimulai dengan mendefinisikan kata “gereja” secara konseptual-teologis. Gereja adalah institusi rohani karena ber-anggotakan orang-­orang percaya, yang dipanggil keluar dari kegelapan dan menerima terang Kristus dan diutus kembali ke dunia yang gelap ini untuk menerangi kegelapan itu. Gereja adalah institusi rohani yang didirikan oleh Kristus di atas pengakuan akan kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat (Mat. 16: 16-18). Gereja berada di bumi (earthly) tetapi tidak bersifat duniawi (worldly). Gereja adalah lembaga Allah yang sakral (kudus) yang tidak boleh dikotori oleh nafsu dan ambisi-ambisi duniawi (Yun.: sarkos).

Kegiatan politik tidak dapat dipisahkan dari partai politik. Maka partai politik sering disebut sebagai kendaraan politik. Melalui partai politik inilah, golongan atau sekelompok orang menyampaikan aspirasi politiknya yang tidak jarang juga sering sebagai alat untuk memaksakan kehendaknya. Partai politik akan mengutamakan kepentingan partainya, sekalipun dengan embel-embel untuk kepentingan negara. Namun partai politik adalah sah dalam sebuah negara yang demokratis di mana warganya bebas menyampaikan opini.
Dalam perjalanan sejarah, silih berganti terjadi dominasi gereja atas negara. Karena itu, para apologet dan para teolog Kristen, sejak gereja mula-mula sampai sekarang ini, berusaha untuk mencari hubungan yang relevan antara gereja dan negara, dan kegiatan berpolitik sebagai tanggung jawab warga gereja selaku warga negara. Belakangan kebanyakan dari mereka ber-pendapat bahwa gereja harus dipisahkan dari negara. Negara tidak boleh mencampuri urusan gereja, sebaliknya gereja patut memberikan sumbangsih sebagai perwujudan dari “menjadi garam dan terang dunia”. Untuk itu, gereja sebagai institusi rohani tidak perlu terlibat dalam aksi politik praktis. Gereja juga tidak perlu mendukung partai politik, sekalipun itu partai politik Kristen yang didirikan oleh para pendeta atau rohaniwan manapun juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Para rohaniwan, yaitu pendeta dan pejabat gereja lainnya, merupakan representasi umat dan gereja Tuhan. Bila para rohaniwan dan pejabat gereja lainnya sudah menjadi bagian dari kegiatan politik praktis, siapakah lagi yang menggembalakan umatnya, termasuk para politisi Kristen, yang mana mereka bukan rohaniwan dan bukan pula pejabat gereja? Gereja, melalui pejabat gereja, seharusnya meng-gembalakan umatnya yang terjun dalam dunia politik, sehingga mereka menjadi politisi yang berani membela kebenaran dan keadilan, serta berani membela kaum lemah dan miskin sebagaimana Yesus sendiri berpihak kepada mereka.

Kecenderungan setiap partai politik untuk mencari kekuasaan dengan cara apa pun sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya, dan demi tujuan dan eksisnya partai, partai-partai politik sering melakukan kesalahan (tends to corrupt) yang didasarkan pada pertimbangan­-pertimbangan itu. Sangatlah memalukan kekristenan apabila sebuah partai politik yang berbasiskan Kristen melakukan kesalahan demi kepentingan partainya. Karena itu, menurut hemat penulis, gereja atau rohaniwan tidak perlu terlibat dalam aksi politik praktis yang pada akhirnya nanti menjadi bumerang bagi gereja itu sendiri.
Gereja harus dipisahkan dengan politik praktis, bukan dari politik sebagai ilmu dan wacana demi pembangunan bangsa dan negara. Kegiatan gerejawi harus dipisahkan dari kegiatan politik. Tidak boleh dicampur­adukkan. Gereja adalah gereja dan partai politik adalah partai politik. Hal itu bukan berarti adanya dualisme bahwa gereja itu kudus dan politik/negara itu kotor atau tidak kudus. Di sisi lain, sejarah membuktikan politik selalu sarat dengan kekuasaan, kejahatan dan kekotoran. Gereja bukan lembaga yang anti-politik, sebaliknya harus menyinari/menerangi kegiatan politik, sehingga negara terbawa kepada tujuan yang benar, sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan cita-cita reformasi.

Gereja sepatutnya meng-gembalakan umatnya yang berpolitik praktis sekaligus menyadari posisinya sebagai agen Kerajaan Allah di bumi ini. Karenanya, orang Kristen sebagai anggota gereja mempunyai tugas mengomunikasikan kebenaran dan keadilan kepada seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Warga gereja atau umat Kristen berjuang untuk umat manusia ciptaan Tuhan. Gereja tidak berjuang untuk membangun masyarakat yang eksklusif dan berjuang untuk kelompoknya sendiri. Dalam perjuangan politik, orang-orang Kristen tetap harus menjadi terang dan garam di mana pun mereka berada, termasuk melalui partai politik yang sifatnya nasionalis, yang sedang mem-perjuangkan kebenaran dan keadilan demi proses pem-bangunan bangsa serta mem-bangun masyarakat yang adil dan makmur, dan tidak membangun suatu institusi politik yang berjuang untuk kelompoknya sendiri.
Gereja tidak boleh dikotori oleh nafsu-nafsu duniawi yang bertopengkan partai politik Kristen atau sejenisnya, dengan alasan membela hak-hak Kristen atau mewujudkan Indonesia Baru berdasarkan prinsip-prinsip atau ajaran kekristenan. Tetapi, gereja seharusnya menunjukkan jati diri yang benar (integritas) sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab dan mengakui bahwa Indonesia dibangun di atas dasar Pancasila yang “Berbhinneka Tunggal Ika”.

Gereja seharusnya hadir memberikan sumbangsih yang tidak ternilai harganya, yakni: (1) mendukung reformasi kebangsaan yang sudah terpuruk; (2) menghargai Pancasila, konstitusi dan lembaga pemerintahan; (3) meningkatkan pelayanan sosial; (4) meningkatkan pelayanan pen-damaian; (5) turut serta meningkatkan mutu pendidikan nasional; (6) turut serta meningkatkan stabilitas nasional; (7) bersatu sebagai teladan bagi persatuan nasional; dan (8) turut meningkatkan demokratisasi.

Hal ini dapat dimulai dengan cara di mana gereja mengamatan terhadap terhadap kinerja pemerintah, tetapi dengan cara yang hormat dan sopan, bukan demonstrasi urakan yang tidak tahu apa yang mau disuarakan. Gereja juga tidak seharusnya ikut-ikutan menjadi “golput” tanpa alasan yang benar. Warga gereja dapat mendukung partai-partai politik yang berasaskan Pancasila dan semangat nasionalisme, dengan pertimbangan yang rasional, bukan yang berasaskan agama. Warga gereja bukan kaum separatis apalagi menjadi provokator untuk hal-hal yang negatif, melainkan ikut ambil bagian dalam mencari jalan tengah kebijakan yang diterima oleh masyarakat Indonesia sangat majemuk ini.

Gereja tidak perlu berpolitik praktis, tetapi gereja mendukung umatnya dan menggembalakan mereka secara benar, yakni orang-orang yang kompeten di dalamnya, sehingga tidak menyimpang dari esensinya, yakni menjadi garam dan terang Kristus dalam dunia ini. Dengan demikian, gereja mendatangkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.