BERBAHAGIALAH DI DALAM TUHAN

by: Simon Mangatur Tampubolon

“7. Terang itu menyenangkan dan melihat matahari itu baik bagi mata; 8. oleh sebab itu jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita di dalamnya, tetapi hendaklah ia ingatakan hari-hari yang gelap, karena banyak jumlahnya. Segala sesuatu yang datang adalah kesia-siaan. 9. Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan! 10. Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan”

 (Pkh.11:7-10)

Berulang kali Pengkhotbah  mengajak untuk bersenang-senang dan menikmati hidup yang dianugrahkan Tuhan (baca. Pengkhotbah 2:24; 3:12-13; 3:22; 5:17 dan 9:9) dan memang itulah tujuan Pengkhotbah. Dengan gaya yang berbeda seakan penuh dengan sinisme dan fatalisme memandang hidup di bawah kolong langit ini, sesungguhnya Pengkhotbah mengajak untuk menikmati hidup ini dengan mengikatkannya pada apa yang ada di atas langit sebagai sumber kebahagiaan sejati.

Pengkhotbah dianugrahi segala apa yang diidamkan oleh semua anak manusia di bawah kolong langit. Ia memiliki segala kekayaan, kekuasaan, hikmat dan juga nikmat di bawah kolong langit ini, namun dalam pesannya, ia menyadari itu bukanlah sumber kebahagiaan sejati, bilamana tidak terhubung dengan Sang Pemberi Anugrah itu. Tujuan utama yang diberikan Sang Pemberi Anugrah adalah agar manusia memuliakan Dia dengan menikmatiNya.

Implementasi dari tujuan itu digambarkan oleh John Piper sebagai 5 keyakinan yang membangun “Hedonisme Kristen”, yaitu:

  1. Kerinduan untuk berbahagia merupakan pengalaman manusia sedunia, dan itu baik, bukan suatu dosa.
  2. Kita jangan pernah mencoba untuk menyangkal atau menentang kerinduan kita untuk berbahagia, seolah-olah itu merupakan keinginan yang buruk. Malah sebaliknya, kita harus berusaha memperbesar kerinduan ini dan memeliharanya dengan apa pun yang akan menyediakan kepuasan yang paling dalam dan paling abadi.
  3. Kesukaan yang paling dalam dan abadi hanya ditemukan di dalam Allah. Bukan dari Allah, tetapi di dalam Allah.
  4. Kesukaan yang kita temukan di dalam Allah mencapai kesempurnaanya ketika kesukaan itu dibagi dengan orang lain dalam kasih dengan berbagai cara.
  5. Sejauh kita mencoba meninggalkan pengejaran atas kesenangan kita sendiri, kita gagal untuk menghormati Allah dan mengasihi manusia. Atau, mengatakannya secara positif: pengejaran atas kesenangan merupakan bagian penting dari semua ibadah dan kebajikan. Itu adalah Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dengan menikmati Dia selamanya. [1]

Kemuliaan Tuhan harusnya dinyatakan lewat kehidupan kita yang bahagia, karena bagaimana mungkin Tuhan dimuliakan dalam dan melalui hidup kita, jika kita tidak berbahagia dalam hidup di dunia yang sementara ini. Jika hidup kita tidak berbahagia, bagaimana kita mengerti dan mengalami Mazmur 23 yang berkata:

1 Mazmur Daud. TUHAN  adalah gembalaku, takkan kekurangan aku; 2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; 3 Ia menyegarkan jiwaku, Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya; 4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya,  sebab Engkau besertaku  gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku; 5 Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah; 6 Kebajikan dan kemurahan  belaka  akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.

Ketika Tuhan menjadi gembala kita, maka tidak ada alasan untuk tidak berbahagia dalam segala keadaan, karena di dalam Dia semua keadaan justu membuktikan kemuliaanNya bagi kita. Jadi, berbahagialah didalam Tuhan.


[1]John Piper. Mendambakan Allah (Surabaya: Momentum, 2010), 16.