Tarian Bedhaya Sebagai Simbol Legitimasi Kekuasaan Raja

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Bagi masyarakat tradisional yang bercorak kerajaan, seperti halnya Kerajaan Mataram, raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaan raja tersebut pada umumnya haruslah dilegitimasikan pada beberapa hal yang menjadi penanda keabsahan dalam berkuasa. Tanpa legitimasi kekuasaan tersebut maka kedudukan seorang raja pada masa itu akan dianggap tidak sah jika tidak memilikinya. Oleh karenanya seorang raja haruslah memiliki kultus kemegahan.  Terdapat dua sarana bagi Kultus Kemegahan seorang raja, yang satu bersifat abstrak, dan yang lain lebih konkrit, lebih bisa dilihat. Keduanya merupakan pengungkapan dari hubungan mikrokosmos-makrokosmos yang menjadikan kedudukan raja suatu replica pemerintahan di kahayangan dan dengan demikian telah memberikanya aspek dua sisi: keunggulan spiritual (kesempurnaan batin) maupun material (kelimpahan harta). Bagi orang Jawa, khayangan merupakan tempat kekayaan yang berlimpah, tempat kebesaran yang tidak tertandingi baik dari segi material maupun spiritual. Jadi raja di dunia pun, harus mencari kebesarannya dalam dua kategori ini.

Setelah Mataram dipecah menjadi dua, Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, kedua kerajaan penerus ini juga tetap mempertahankan corak dan tradisi Mataram termasuk dalam kultus kemegahan. Dalam tradisi kedua kerajaan tersebut, terdapat sarana kultus kemegahan berupa Tarian Sakral Bedhaya. Tarian ini pada hakikatnya merupakan sarana klutus kemegahan yang menyanjung-tinggikan raja- raja dipercaya bersifat dewa serta dapat berhubungan dengan alam ghaib (mahluk halus) — dan sarana kultus kemegahan berupa pusaka. Pada Kesultanan Yogyakarta dikenal Tarian Sakral Bedhaya Semang dan Susuhunan Surakarta dikenal Tarian Sakral Bedhaya Ketawang.

Tarian Bedhaya tersebut merupakan lambang kemegahan seorang raja, symbol pusaka kerajaan yang sacral. Tarian Bedhaya dipercaya merupakan perjalanan spiritual Sultan Agung yang berkaitan erat dengan kisah percintaan raja-raja Mataram dengan ratu dari dunia ghaib, Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Sebagai tarian yang disakralkan dalam setiap pementasannya diperlukan syarat-syarat seperti: kesucian para penarinya, waktu latihan dan pementasan yang hanya boleh dilakukan pada hari Selasa Kliwon, hanya khusus dipentaskan pada hari ulang tahun bertahtanya seorang raja, dll.

Sebagai tanda keabsahan bagi pewaris keturunan kerajaan Mataram untuk memegang kekuasaan, tarian Bedhaya dipercaya dapat memancarkan kekuatan ghaib. Sebuah kekuatan ghaib yang mampu memberikan kultus kemegahan bagi rajanya. Hubungan percintaan antara raja dengan Ratu Selatan yang diganbarkan melalui tarian ini menunjukan adanya kekuatan dan kesaktian yang dimiliki raja sehingga dapat menjalin percintaan dengan ratu dari dunia ghaib. Tarian ini juga menyiratkan konsepsi tentang kekuasaan raja yang luar biasa. Raja merupakan penjelmaan dewa atau mewakili dewa yang memiliki kekuasaan yang mutlak. Untuk itu, dapat dikatakan tarian Bhedaya Ketawang merupakan salah satu sarana kultus kemegahan yang dimiliki oleh raja. Sarana legitimasi kekuasaannya atas rakyat dan wilayahnya.

Referensi:

Dewi, N.K. 2001. Tarian Bhedaya Ketawang Legitimasi Kekuasaan Raja Surakarta. Harmonia 2 (3), pp 29-36.

Fitriyani. 2017. Makna Tari Bhedaya Ketawang Sebagai Upaya Pengenalan Budaya Jawa Dalam Pembelajaran BIPA. The 1stEducation and Languange International Conference Proceedings. Centers for International Languange Development of Unissula, Semarang, pp 596-603.

Haryanti, S. 2010. Tari Bhedaya Ketawang: Refleksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Dimensi Kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta. Greget 9 (1), pp 88-95.

Moetono, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lalu. Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Obor Indonesia.

Sari, S.R. 2010. Bhedaya Ketawang (Studi Nilai Filosofis Tari Bhedaya Ketawang).Surakarta-UNS.