Tarian Bedhaya Ketawang: Refleksi Sebuah Mitos

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Tarian Bedhaya Ketawang pada hakikatnya mengandung dua nilai penting bagi masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Tarian tersebut mengandung nilai-nilai historis sekaligus mitos. Mitos sendiri merupakan suatu bentukan dari masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identic dengan sejarah/historis bentukan masyarakat pada masanya. Kadang mitos bersifat tidak rasional, namun masyarakat sering kali menerima pesan yang terkandung dalam mitos dengan tanpa mempertanyakan secara kritikal. Bagi masyarakat, mitos berfungsi sebagai pernyataan tentang kenyataan yang tidak tampak secara kasat mata (jiwo katon) (Iswidayati, 2007)

Tarian Bhedaya Ketawang dilihat dari tinjauan historis, merupakan sebuah karya seni hasil ciptanan Sultan Agung, salah seorang Raja Mataram yang memerintah sekitar tahun 1613-1645 (Sari, 2010). Saat itu, tidaklah mengherankan jika seorang raja dapat menciptakan sebuah karya seni. Hampir semua raja-raja Mataram memiliki jiwa seni dan mampu menghasilkan karya seni di bidangnya masing-masing. Bahkan, keraton tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tempat bersemayamnya seorang raja/ sultan, namun juga merupakan pusat penciptaan karya-karya seni, khususnya seni tari, seni music, seni wayang, seni batik dll. Karya-karya seni tersebut mencapai puncak perkembangannya justru di dalam lingkup tembok istana, baru kemudian menyebar ke luar, ke masyarakat luas. Tarian Bedhaya Ketawang menjadi salah satu pusaka kerajaan. Setelah Mataram pecah menjadi dua: Yogyakarta dan Surakarta, Tarian Bedhaya Ketawang kemudian menjadi pusaka kerajaan Kasunanan Surakarta.

      Sedangkan dari tinjauan mitos, tarian Bhedaya Ketawang merupakan pelestasrian hubungan mistis antara keturunan Raja Mataram yang pertama dengan penguasa laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencana Sari. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, setiap Raja Mataram merupakan kekasih dari Kanjeng Ratu Kidul, melalui hubungan ini maka ratu beserta bala tentaranya jika diperlukan akan selalu membantu Kerajaan Mataram. Tarian Bedhaya Ketawang diyakini sebagai curahan cinta suci Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senopati.

      Refleksi atas keyakinan terhadap mitos Nyai Ratu Kidul juga tampak ketika mencermati aktivitas para pelaku yang terlibat dalam ritus dan upacara jumenengan (upacara memperingati bertahtanya seorang raja) yang ditandai dengan pementasan Tari Bhedaya Ketawang (Haryani, 2010). Setiap penari harus melakukan ritual yang disebut dengan caos-dahar yaitu suatu manifestasi dari kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan mahluk halus dan dunia gaib. Di hadapan para penari akan dilengkapi dengan pembakaran dupa atau kemenyan. Tindakan caos-dahar itu juga dilakukan oleh semua abdi raja yang terlibat dalam upacara jumenengan (Dewi dalam Haryani, 2010).

      Bagi masyarakat modern, tampaknya sulit untuk bisa menerima hal-hal yang berkaitan dengan mitos keberadaan Ratu Kidul.  Namun, bagi masyarakat tradisional, yang cenderung memiliki kesadaran sacral-magis maka hal tersebut mudah untuk diterima. Apalagi, dengan kentalnya sistem nilai hormat kepada leluhur atau pinisepuh akan semakin mengukuhkan penerimaan tersebut. Keberadaan tarian Bhedaya Ketawang hingga saat ini merupakan bukti mengenai hal tersebut.

Referensi:

Dewi, N.K. 2001. Tarian Bhedaya Ketawang Legitimasi Kekuasaan Raja Surakarta. Harmonia 2 (3), pp 29-36.

Haryanti, S. 2010. Tari Bhedaya Ketawang: Refleksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Dimensi Kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta. Greget 9 (1), pp 88-95.

Sari, S.R. 2010. Bhedaya Ketawang (Studi Nilai Filosofis Tari Bhedaya Ketawang).Surakarta-UNS.