SELAYANG PANDANG ASAL USUL KAIN SASIRANGAN

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Kain cantik khas tradisi Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Sasirangan memiliki nilai historis yang menarik untuk dikaji. Kain Sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat baik masyarakat maupun bangsawan suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.

Menurut asal usulnya, kain ini diwariskan secara turun temurun sejak abad XII, saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa. Cerita yang berkembang di masyarakat Kalimantan Selatan adalah bahwa kain Sasirangan pertama kali dibuat oleh Patih Lambung Mangkurat setelah bertapa 40 hari 40 malam di atas rakit Balarut Banyu. Konon menjelang akhir tapanya, rakitnya tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Di tempat ini, ia mendengar suara perempuan yang keluar dari segumpal buih. Perempuan itu adalah Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi Ratu di daerah ini. Sang Putri hanya akan menampakkan wujudnya jika permintaannya dikabulkan, yaitu sebuah istana Batung dan selembar kain yang ditenun dan dicalap (diwarnai). Kedua permintaan itu harus selesai dalam waktu satu hari (indonesiakaya.com).

Selembar kain yang ditenun dan diwarnai disebut dengan kain Langgundi. Konon saat itu, Putri Junjung Buih menginginkan kain Langgundi berwarna kuning, yang ditenun dan diwarnai oleh 40 orang wanita yang masih perawan dengan motif padiwaringin. Menurut cerita masyarakat setempat, motif padiwaringin disebut sebagai motif pertama pada kain Sasirangan. Pada hari yang telah disepakati tersebut, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya pada saat itu tidak lain adalah kain Langgundi berwarna kuning hasil tenunan 40 wanita yang masih perawan (Andriana, 2018)

Kain Langgundi inilah kemudian dikenal sebagai kain sasirangan (Andriana, 2018). Di awal kemunculannya, kain sasirangan mempunyai bentuk dan fungsi yang cukup sederhana, seperti ikat kepala (laung), sabuk dan tapih bumin (kain sarung) untuk lelaki, selendang, kerudung, udat (kemben), dan kekamban (kerudung) untuk perempuan (indonesiakaya.com)

Atas nilai historis itulah akhirnya kain sasirangan kemudian dipercaya memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan khususnya untuk mengusir roh-roh jahat dan melindungi diri dari gangguan makhluk halus. Kain sasirangan pada jaman dahulu dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya (asikbelajar.com:2014).

Referensi:

Andriana, Y.F. 2018. Pergeseran Fungsi dan Makna Simbolis Kain Sasirangan. Jurnal Rupa 3 (1), pp 77-92.

Asikbelajar.com. 2014. Kain Sasirangan: Sejarah, Arti dan Motif. https://www.asikbelajar.com/sasirangan-sejarah-arti-dan-motif.

wartaekonomi.co.id. 2020. Melestarikan Kain Sasirangan, Kain Adat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. https://www.wartaekonomi.co.id/read306974/melestarikan-kain-sasirangan-kain-adat-suku-banjar-di-kalimantan-selatan

Indonesiakaya.com. Kain Sasirangan. https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/kain-sasirangan