PERGESERAN NILAI DALAM TARIAN BHEDAYA KETAWANG

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Tarian Bhedaya Ketawang yang diciptakan Sultan Agung dari Mataram pada masa pemerintahannya sekitar tahun 1613-1645 (Sari, 2010), saat ini mengalami pergeseran. Pergeseran ini pada dasarnya terjadi akibat perkembangan jaman.  Sejak NKRI terbentuk, Keraton Kasuhunan Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan dalam pemerintahan sebagai sebuah kearajaan yang berdiri sendiri dan berdaulat, keraton hanya sekedar symbol bagi masyarakat tradisional di Jawa Tengah. Meski demikian, Tarian Bhedaya Ketawang sampai saat ini masih dipertahankan menjadi pusaka kerajaan Kasunanan Surakarta. Namun, terjadi beberapa perubahan dalam perjalanan sejarah tarian ini antara lain:

Pertama, dalam pagelarannya: Awalnya tarian ini hanya dipagelarkan untuk memperingati upacara Jumenengan Sultan (upacara memperingati ulang tahun bertahtanya seorang sultan) dan hanya disaksikan oleh kerabat keraton saja. Namun pada tahun 1920, tarian ini disaksikan oleh Residen Harloff bersama para pengikutnya pembesar sipil atau militer. Mereka diundang untuk memberikan ucapan selamat kepada Sri Susuhunan dan meminta ijin untuk diperbolehkan menyaksikan tarian ini. Kemudian, saat peringatan kenaikan tahta Raja Paku Buwono XIII (yang bertahta sejak 2004) para tamu undangan diperkenankan untuk menyaksikan tarian ini. Saat ini pun, masyarakat juga diperkenankan untuk menyaksikan tarian ini dengan seijin pihak keraton (Hariyani, 2007)

Kedua, ketentuan penari: Tarian ini dipercaya sebagai kisah percintaan Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul Kencana Sari, maka penari bukanlah putri raja, melainkan para abdi dalem bedhaya yaitu para puti Nayaka Wolu (delapan pejabat istana) dan seorang putri patih Mataram, sebagai pimpinan atau penari batak dalam bedhaya (Hadiwijaya dalam Dewi, 2001). Namun, seiring perkembangan jaman, pada tahun 1988 putri raja turut menjadi penari dan sekarang menjadi pelatih tarian tersebut. Jika dahulu, masyarakat di luar keraton tidak diperbolehkan menjadi penari, saat ini justru sebaliknya. Demi kelestarian tarian tersebut, masyarakat di luar keraton diperbolehkan menjadi penari Bhedaya Katawang atas seijin pihak keraton (Hariyani, 2007)

Ketiga, lama pementasan: Awalnya lama pementasan berlangsung selama 2,5 jam, tetapi sejak jaman Sinuwun Paku Buwono X diadakan pengurangan menjadi 1,5 jam (Hadiwidjojo dalam Fitriyani dkk, 2017). Demikian pula dengan larangan pengambilan gambar. Jika pada jaman dahulu tidak diperbolehkan mengambil gambar karena dianggap akan mengurangi kesakralan yang terkandung dalam tarian ini, saat ini dengan kemajuan teknologi justru diperbolehkan sebagai bentuk dokumentasi pelestarian budaya (Hariyani, 2007)

Demikian, beberapa perubahan yang terjadi pada Tarian Bhedaya Ketawang. Perubahan yang  pada dasarnya dilakukan sebagai bentuk usaha penyesuaian dengan kondisi dan situasi jiwa jamannya. Selain itu, perubahan yang terjadi pada tarian ini juga dimaksudkan untuk usaha pelestarian, meskipun di sisi lain hal ini menimbulkan efek kurangnya nuansa kesakralan pada tarian tersebut.

Referensi:

Dewi, N.K. 2001. Tarian Bhedaya Ketawang Legitimasi Kekuasaan Raja Surakarta. Harmonia 2 (3), pp 29-36.

Fitriyani. 2017. Makna Tari Bhedaya Ketawang Sebagai Upaya Pengenalan Budaya Jawa Dalam Pembelajaran BIPA. The 1stEducation and Languange International Conference Proceedings. Centers for International Languange Development of Unissula, Semarang, pp 596-603.

Hariyani, T. 2007. Pergeseran Makna Tari Bhedaya Ketawang di Keraton Surakarta Hadiningrat Dari Tahun 1920-2005 (Skripis). Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Sari, S.R. 2010. Bhedaya Ketawang (Studi Nilai Filosofis Tari Bhedaya Ketawang).Surakarta-UNS.