Nilai Filosofis dalam Tarian Bedhaya Ketawang

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Bhedaya Ketawang merupakan tarian tradisional pusaka keraton Kasuhunan Surakarta yang ditarikan oleh sembilan penari wanita. Kesembilan penari masing-masing mempunyai peran sebagai :1) Batak, sebagai kepala merupakan perwujudan dari jiwa; 2) Endhel- Ajeg merupakan perwujudan nafsu atau keinginan hati;3) Gulu meujudkan bagian leher; 4) Dhada mewujudkan bagian dada; 5) Apit-mBuri mewujudkan bagian lengan kanan,6) Apit-Ngarep, mewujudkan lengan kiri;7) Endhel -Weton, merupakan perwujudan bagian tuangkai kanan;8) Apit-Meneng mewujudkan bagian tungkai kiri;9) Buncit mewujudkan bagian organ seks (Soedarsono dalam Haryanti, 2010).Jumlah sembilan penari digunakan untuk penyusunan beberapa pola lantai . Pola lantai tersebut rakit lajur, iring-iringan, ajeng-ajengan, lumebel lajur, edhel-endhel apit medal dan rakit tiga-tiga. Pola lantai itu sendiri merupakan posisi penari dalam tarian tersebut. Pola lantai tersebut mengandung nilai filosofis yang menggambarkan kehidupan manusia.

Pertama, pola lantai rakit lajur, menyimbolkan wujud lahiriah manusia yang terbagi atas tiga bagian, yakni kepala (dilambangkan dengan endhel ajeg, batak, dan gulu); badan (dhada dan boncit), anggota badan (apit ngarep, apit mburi, endhel weton dan apit meneng). Kedua, pola lantai iring-iringan, menggambarkan proses hidup batiniah manusia. Pergolakan yang diciptakan oleh endhel ajeg dan batak merupakan simbolisasi ketidaksesuaian kehendak dan pikiran. Penari pada posisi endhel dan apit akan melakukan gerakan keluar masuk. Hal tersebut menggambarkan sebuah keinginan akan kestabilan suasana hati manusia. Ketiga, pola lantai ajeng-ajengan, menggambarkan siklus kehidupan manusia yang dihadapkan pada dua pilihan: memilih hal baik atau buruk. Dalam pol aini digambarkan pertentangan antara baik dan buruk. Pada dasarnya, manusia memang dihadapkan pada kedua sifat tersebut dan akan memilih sifat sesuai yang ditakdirkan untuknya. Keempat, pola lantai lumebet lajur, menyimbolkan kepatuhan manusia terhadap aturan-aturan atau norma yang telah disepakati dalam lingkungan internal (keluarga) dan lingkungan eksternal (masyarakat dan negara). Kelima, pola lantai endhel-endhel apit medal, menggambarkan usaha manusia untuk melepaskan diri dari aturan yang sudah disepakati. Manusia senantiasa tidak pernah puas dengan segala hal yang tekah dimilikinya. Penggambaran ketidaksesuaian kehendak dan pikiran pada hakikatnya melambangkan ketidakstabilan suasana batin manusia. Keenam, pola lantai rakit tiga-tiga, mengambarkan perputaran pikiran manusia yang diawali dari keadaan tetap, kemudian goyah, dilanjutkan dengan pencapaian kesadaran, dan berakhir dengan kemanunggalan. Hal ini merupakan bagian dari filsafat masyarakat Jawa (Fitriyani dkk, 2017).

Demikianlah, nilai-nilai yang terdapat pola lantai pada tarian Bhedaya Ketawang. Gambaran kehidupan manusia agar tercapai harmonisasi dengan alam semesta diajarkan secara filosofis melalui gerakan-gerakan penuh makna dalam tarian ini.

Referensi:

Fitriyani. 2017. Makna Tari Bhedaya Ketawang Sebagai Upaya Pengenalan Budaya Jawa Dalam Pembelajaran BIPA. The 1stEducation and Languange International Conference Proceedings. Centers for International Languange Development of Unissula, Semarang, pp 596-603.

Haryanti, S. 2010. Tari Bhedaya Ketawang: Refleksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Dimensi Kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta. Greget 9 (1), pp 88-95.