Makna Simbolis Sembilan Penari dalam Tarian Bhedaya Ketawang

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Dalam kebudayaan Jawa, tarian merupakan salah satu bagian kehidupan manusia yang mengandung nilai penting. Tarian umumnya menjadi bagian dalam sebuah rital. Kehadiran tari dalam sebuah upacara ritual merupakan sarana pengungkapan kepercayaan atau keyakinan (Hadi dalam Fitriyani dkk, 2017). Tarian terutama yang berada dalam ruang lingkup kerajaan biasanya memiliki makna dan symbol serta erat kaitannya dengan upacara adat. Hal ini terlihat salah satunya dengan kehadiran Tarian Bhedaya Ketawang di lingkup Keraton Surakarta. Tarian ini menjadi sebuah tarian sacral yang hanya boleh dipentaskan khusus pada upacara ulang tahun bertahtanya seorang sultan, Sri Susuhunan di Surakarta.

      Makna simbolis dalam Tarian Bedhaya Ketawang, salah satunnya dapat diperhatikan pada jumlah penarinya yang menunjuk angka Sembilan. Dengan mencermati nama masing-masing peran yang dibawakan oleh kesembilan penari maka jumlah sembilan penari pada tarian ini mengandung symbol makrikosmos (dunia manusia) ditandai dengan sembilan lubang pada diri manusia serta anggota badannya, Semua itu diwakili oleh peran penari-penari, masing-masing:1) Batak, sebagai kepala merupakan perwujudan dari jiwa; 2) Endhel- Ajeg merupakan perwujudan nafsu atau keinginan hati;3) Gulu meujudkan bagian leher; 4) Dhada mewujudkan bagian dada; 5) Apit-mBuri mewujudkan bagian lengan kanan,6) Apit-Ngarep, mewujudkan lengan kiri;7) Endhel -Weton, merupakan perwujudan bagian tuangkai kanan;8) Apit-Meneng mewujudkan bagian tungkai kiri;9) Buncit mewujudkan bagian organ seks (Soedarsono dalam Haryanti, 2010). Sembilan penari ini menyimbolkan bahwa manusia harus dapat menutup Sembilan lubang yang dalam badan manusia agar dapat menyucikan badan. Kesembilan lubang tersebut adalah: dua mata, dua lubng hidung, dua lubang telinga, mulut, anus dan lubang seks. Jumlah Sembilan juga merupakan symbol keberadaan alam semesta dengan segala isinya, meliputi matahari, bintang, bulan, angkasa (langit), bumi (tanah), air, angin, api dan mahluk hidup yang ada di unia (Dewi dalam Fitriyani, 2017). Selain itu, jumlah sembilan juga merupakan jumlah bilangan terbesar yang menurut pandangan Hindu dikaitkan dengan sembilan dewa-dewa yang menguasai makrokosmos mengitari delapan arah mata angin yaitu satu sebagai pusat jagat, Utara, Selatan, Timur, Barat, Tenggara, Barat Daya, Barat Laut, dan Timur Laut (Haryanti, 2010).

      Dengan demikian makna jumlah sembilan penari dalam tarian ini pada dasarnya mengandung makna simbolis makrokosmos dan mikrokosmos (Haryanti, 2010).  Pagelaran tarian ini juga merupakan upaya mengharmonisasikan antara makrokosmos dan mikrokosmos (Fitriyani, 2017). Dalam masyarakat Jawa keseimbangan antara mikrokosmos (jagad manusia) dan makrokosmos (jagad alam semesta) merupakan hal yang sangat penting agar kehidupan di dunia ini berjalan harmonis, tentram, damai dan makmur.  Apabila terjadi ketidakseimbangan antara keduanya maka akan terjadi kehancuran bagi kehidupan manusia di dunia. Untuk mencapai keharmonisasian itu tergantung pada dapat atau tidaknya setiap individua atau kelompok masyarakat terutama negara berhasil dalam menyelaraskan kehidupan mereka dengan jagat semesta (Haryanti, 2010). Melalui pagelaran tarian Bhedaya Ketawang inilah, manusia diajarkan untuk menjaga harmonisasi dengan alam semesta.

Referensi

Dewi, N.K. 2001. Tarian Bhedaya Ketawang Legitimasi Kekuasaan Raja Surakarta. Harmonia 2 (3), pp 29-36.

Fitriyani. 2017. Makna Tari Bhedaya Ketawang Sebagai Upaya Pengenalan Budaya Jawa Dalam Pembelajaran BIPA. The 1stEducation and Languange International Conference Proceedings. Centers for International Languange Development of Unissula, Semarang, pp 596-603.

Haryanti, S. 2010. Tari Bhedaya Ketawang: Refleksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Dimensi Kekuasaan Raja Kasunanan Surakarta. Greget 9 (1), pp 88-95.