MAKNA SIMBOLIS DARI TATA BUSANA DAN TATA RIAS TARI BHEDAYA KETAWANG

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Sebagai pusaka kerajaan, tarian Bhedaya Ketawang bersifat sacral dan memiliki keunikan, tersendiri. Tarian Bhedaya Ketawang harus dibawakan oleh sembilan penari yang masih suci dengan mengenakan pakaian yang sama. Tarian ini hanya boleh dilaksanakan pada hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), baik pada saat pagelaran resmi maupun latihan-latihannya (Hadiwidjojo dalam Fitriyani, 2017).

Tata busana dan tata rias dari para penari ternyata tidak sekedar pelengkap penampilan para penari dalam pagelarannya, namun memiliki makna simbolis Para penari menggunakan dodot banguntulak dan cindhe kembang sebagai lapisan bawahnya. Penari juga dirias layaknya pengantin putri Keraton Surakarta, menggunakan sanggul bokor mangkurep lengkap dengan perhiasan-perhiasannya (Hadiwidjojo dalam Fitriyani, 2017). Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi. Dalam tari Bhedaya Ketawang terdapat dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak. Sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari (Sudiyatmala, 2014).

Adapun makna simbolis dari tata busana para penari adalah sebagai berikut: Dodot angeng bangun tulak merupakan simbol perwujudan kesadaran manusia akan perlindungan asal mula hidup atas pemberian Tuhan YME dan tujuan hidup menuju kesempurnaan yang tujuan akhir tertinggi adalah manunggaling kawula Gusti. Warna putih blumbangan merupakan symbol dari asal mula daya hidup dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Wara biru merupakan symbol keluhuran budi, arif bijaksana, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Warna hijau merupakan symbol kekuatan yang tumbuh berlanjut atau kesuburan. Berbagai ragam hias yang merupakan unsur dekorasi pada kain dodot ageng bangun tulak, kain samparan dan sondher merupakan symbol kemakmuran dan sadar akan sangkan paraning dumadi dan akhirnya menuju dan menyatu dengan Tuhan atau manunggaling kawula Gusti (Sedjati&Gustami, 2005).

Sedangkan makna simbolis dari tata rias para penari:  Wujud paes ageng dhandang gendhis merupakan symbol menyatunya rasa yang suci dan kesucian. Bentuk rajut melati bentuk kawungan merupakan symbol kepatuhan kepada Tuhan YME. Makna simbolik raja keputren secara utuh merupakan symbol kekayaan, kemakmuran, kejayaan, kekuasaan, kehidupan. Pada tata rias ini juga terdapat bukti peninggalan budaya nenek moyang, symbol yang melukiskan kesuburan yaitu bentuk lingga dan yoni. Dari lambang bentuk  lingga dan yoni, merupakan pengingat kepada siapa saja tentang makna sangkan paraning dumadi yang merupakan sarana mencapai kehidupan yang sejahtera, aman dan sentosa (Sedjati&Gustami, 2005).

Referensi:

Sudiyatmala, D. 2014. Fungsi Tari Bedhaya Ketawang Kraton Surakarta Untuk Menumbuhkan Identitas Nasional Bangsa Indoneseia. Kepariwisataan: Jurnal Ilmiah 8 (3).

Fitriyani. 2017. Makna Tari Bhedaya Ketawang Sebagai Upaya Pengenalan Budaya Jawa Dalam Pembelajaran BIPA. The 1stEducation and Languange International Conference Proceedings. Centers for International Languange Development of Unissula, Semarang, pp 596-603.

Sedjati, D.P., Gustami, S.P. 2005. Busana Tari Bedhaya Ragam Hias Dan Makna Simboliknya = Costume of Bedhaya Ketawang Dance: Array of Decorations and Symbolical Meaning. Humanika, 18 (2), pp.273-282.