MAKNA DIBALIK KENIKMATAN SEPOTONG RENDANG

Rina Patriana Chairiyani, S.S., M.Pd (D1812)

Rendang merupakan primadona masakan khas Minangkabau yang digemari oleh tidak hanya masyarakat Minangkabau saja, namun juga masyarakat di seluruh Indonesia dan bahkan masyarakat dunia. Kelezatannya yang luar biasa menjadikan rendang dinobatkan menjadi masakan terlezat berdasarkan survey yang dilakukan oleh CNN pada tahun 2017. Tidak heran hingga seorang Gordon Ramsay pun tergerak untuk datang ke Sumatra Barat langsung untuk melihat dan mempelajari bagaimana proses pembuatan makanan fenomenal ini. Aktivitas Gordon Ramsay di Sumatra Barat yang ditanyangkan melalui channel National Geographic ini menyadarkan kita bahwa ternyata dibalik kelezatan sepotong rendang tersimpan makna yang menggambarkan kearifan local masyarakat Minangkabau.

Rendang sendiri diduga ada sejak abad ke-16, namun dari literatur yang tertulis di abad ke-19, masyarakat Minang di wilayah darat biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang membutuhkan waktu sekitar satu bulan melewati sungai, karena sepanjang perjalanan tidak ada perkampungan, para perantau menyiapkan bekal makanan yang tahan lama, yaitu Rendang (rekamindonesia.id, 2018). Kata ‘randang’ atau rendang berasal dari kata ‘marandang’ yakni proses mengolah lauk berbahan dasar santan dengan memasak hingga kandungan airnya kering. Jadi, ‘randang’ berarti olahan masakan yang kering tanpa mengandung air. Bisa dikatakan bahwa rendang yang sebenarnya adalah kering air. Makanan ini pada umumnya berwarna merah kecoklatan, coklat sampai coklat kehitaman. Proses pembuatan rendang merupakan cara sederhana masyarakat Minangkabau pada masa lalu dalam mengawetkan makanan. Proses pengawetan ini dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan bahan kimia tetapi melalui proses pemanasan berkali-kali. Semakin kering suatu randang menjadikannya tahan dan awet lebih lama (Marbun 2015)

Selain itu, ternyata Rendang memiliki filosofi cerminan kesatuan dalam masyarakat Minangkabau yang disimbolkan dengan daging sebagai Niniak Mamak, pimpinan suku tempat bertanya, mengadu dan mengambil keputusan. Kelapa lambang Candiak Pandai atau kaum intelektual yang memiliki intelegensia, kecerdasan emosi dan spiritual. Cabai lambang alim ulama atau tokoh yang sangat tegas atau pedas dalam menegakkan kebenaran. Bumbu lambang dari seluruh masyarakat Minangkabau yang patuh dan menjalankan seluruh aturan dan kearifan lokal yang dibuat dan disepakati (rekamindonesia.id, 2018).

Tidak hanya itu, Rendang bagi masyarakat Minangkabau juga bermakna symbol kasih sayang bagi keluarga atau sanak saudara yang mereka cintai baik di rumah maupun di perantauan. Proses pembuatannya yang memakan waktu tidak sedikit merupakan lambang kesabaran dan cinta kasih (rekamindonesia.id, 2018). Budaya memasak di kalangan masyarakat Minangkabau mungkin sama dengan budaya membatik di Jawa. Delapan jam yang diperlukan untuk memasak rendang menyiratkan bahwa nilai-nilai persistensi, dan konsistensi sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau. Proses delapan 8 jam pembuatan rendang seperti hendak mengatakan bahwa budaya bukan sesuatu yang hanya diwariskan oleh para orang tua dan leluhur kita (nature), namun juga harus dijalankan, dilakoni, ditelateni, dirawat (nurture) dan pada akhirnya dijadikan acuan sebuah tatanan hidup. Merawat dan mewariskan budaya tidak cukup hanya memperkenalkan masakannya saja namun semua proses yang terjadi di belakangnya (Hardono, 2020).

Referensi:

Hardono, I. 2020. “Rendang dan Ramsay : Bukan Sekedar Belajar Memasak”. https://www.kompas.com/edu/read/2020/07/12/172647171/rendang-dan-ramsay-bukan-sekedar-belajar-memasak?page=all.

Rekamindonesia.id. 2018. Rendang, Simbol Kasih Sayang Masyarakat Minangkabau. https://www.rekamindonesia.id/v/rendang-simbol-kasih-sayang-masyarakat-minangkabau-1081.

Marbun. 2015. Rendang. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/rendang/