OBROLAN SANTAI: TANTANGAN JADI WARGA NEGARA DISEKITAR RUMAH! PART #1
by : Petrus Hepi Witono
Saya tinggal di Jakarta Barat, tapi ngantor di Jakarta Timur. Asalnya dari Bekasi. Masyarakat Bekasi Timur tenggang rasanya cukup tinggi. Silahturahmi untuk saling menyapa maupun saling menjaga kuat. Apalagi kalau titip anak gara-gara kita bekerja. Bayar untuk sumbangan RT pun tidak sulit. Entah mengapa hal ini tidak sama dengan situasi di Jakarta Barat dimana saya tinggal. Saya berfikir akan sama situasinya dengan Bekasi. Ternyata dalam satu RT pun jarang ada kontak. Saya mengalami kesusahan untuk berkenalan dengan tetangga. Komunikasi satu sama lain kurang. ketika miskomunikasi jadinya ribut. pada akhirnya saya yang harus rendah hati menyapa di lingkungan baru ini: Yes menyapa tetangga. Inilah tantangan yang saya hadapi sebagai warga negara. Apa tantangan yang anda rasakan atau anda alami sebagai warga negara di lingkungan Bapak dan Ibu tinggal?
AGRATA: Kalau menurut saya tantangan yang dirasakan sebagai warga negara yaitu susahnya untuk menghidupkan atau menggerakkan warga kampung dalam berkegiatan sosial di era globalisasi ini. Karena saya juga kebetulan sebagai karang taruna di tempat tinggal saya, maka program kerja yang dibuat bersama dengan pengurus kampung dalam hal ini RT untuk menciptakan kondisi lingkungan yang guyup rukun dan sejahtera. Beberapa program dirancang untuk warga dapat bersosialisasi satu sama lain sehingga mengurangi dampak miskomunikasi, maka dibuatlah program seperti kerja bakti, erlombaan dalam memperingati HUT RI, syukuran dalam memperingati hari besar islam, dan beberapa kegiatan lainnya. Namun yang saya rasakan dalam menjadi karang taruna dari dulu hingga sampai saat ini adalah kurang sadarnya warga dalam berkegiatan sosial, mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Kalau saya menanggapinya ya memang wajar dalam era globalisasi seperti ini, dituntut untuk melek teknologi namun dalam penerapannya masih sering terdapat kesalahan.
Sehingga terkadang dalam kegiatan kerja bakti yang seharusnya dilakukan secara gotong royong untuk menciptakan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat kini seakan-akan enggan untuk dilakukan. Beberapa cara dilakukan untuk menggerakkan warga jika tidak mengikuti kerja bakti akan di denda sesuai nominal yang sudah disepakati bersama, dan pengumuman sudah disebar melalui surat edaran dan bahkan grup WA, namun hanya beberapa orang yang memang peduli dengan kebersihan lingkungan saja yang mengikutinya dan saya melihat justru banyak yang rela membayar denda dengan alasan yang berbagai macam agar tidak mengikuti kerja bakti demi kepintingan pribadi bahkan mengesampingkan kepentingan bersama.
FAHRUL: Saya berasal dari Majalengka Jawa Barat, sama halnya dengan cerita bapak diatas, tempat asal saya budaya saling menyapa dan rukun antar tetangga masih sangat kental, bahu membahu dan gotong royong masih terasa. Ketika kuliah 3 tahun di Bandung saya pernah ngontrak dengan teman-teman di sebuah perumahan di Bandung, sama halnya dengan tempat asal saya budaya saling menyapa dan rukun antar tetangga juga masih sangat kental, bahu membahu dan gotong royong masih terasa.
Ketika saya pindah ke Cilegon Banten disini terasa sangat berbeda dengan lingkungan di daerah tempat tinggal saya dan d Bandung, disini terasa hidup masing-masing antar tetangga tidak saling sapa kecuali kita sendiri yang menyapa. Entah memang kebetulan hanya didaerah yang saya saja atau memang budayanya seperti itu.
Untuk saya pribadi hal tersebut tidak masalah, karena ini sebuah tantangan dalam hidup saya bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki kepribadian dan budaya baru. Saya bisa mengimplementasikan nilai-nilai pancasila untuk bisa saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan yang ada di lingkungan sekitar.
HENNY: saya Henny, asal dari Solo, Jawa Tengah. Saya tinggal di Jakarta Selatan dan kebetulan ngantornya juga di Jakarta Selatan. Lingkungan tempat tinggal saya Alhamdulillah baik, kami saling tegur sapa dengan tetangga walaupun ketemunya lebih sering ketika amprokan sama-sama mau berangkat kerja tau pulang kerja. Lingkungan di Jakarta seperti biasa semua rumah dengan pagar tinggi dan tertutup rapat (demi alasan keamanan) tapi tidak membuat kami saling mengisolasi diri.
Tetangga saya pun multi kultural. Salah satunya berasal dari Padang dengan Islamnya yang begitu kuat dan taat. Ada juga yang berasal dari Cina keturunan, dimana agamanya pasti antara Kristen atau Katolik. Lalu ada juga yang orang Betawi asli dimana sudah pasti agamanya Islam. Dan saya dari Jawa dengan adat dan budaya yang tentunya berbeda. Tapi dari perbedaan-perbedaan ini tidak membuat kami jadi anti-sosial. Para tetangga di lingkungan saya tinggal semuanya baik dan ramah, saling tegur sapa, saling berbagi makanan di acara-acara tertentu.
ELSA: Tantangan terbesar adalah betentangga yang tidak pernah akur dan banyaknya rasa ketidakpedulian satusama yang lain dan juga kurangnya rasa saling mengerti terhadap apapun apalagi hanya untuk membantu membersikan komplek rasa itu tidak pernah mengerti dan tidak peduli
NONITA: saya Nonita Sari Sihite, saya berasal dari Medan sumatera utara, saya menempuh pendidikan di Kota bandung, dan kebetulan sekarang saya sudah bekerja di kota yang sama. Lingkungan tempat tinggal saya waktu kecil, Puji Tuhan baik semua, rukun dan saling sapa menyapa, sehingga saya tidak mengalami kesulitan saat berteman dengan orang baru di desa tersebut. Dan ketika ada sebuah masalah atau kendala di kampung, tetangga saya langsung respek, dan memberikan respon yang sangat baik. Dan saya sangat bersyukur dibesarkan didaerah tersebut, Banyak belajar bagaimana saya harus peduli terhadap orang yang ada di sekeliling kita.
Setelah lulus SMA saya mencoba keluar dari Zona nyaman tersebut dan memutuskan Melanjutkan perkulihan di sebuah kota yaitu “Bandung”. Saya menemukan dengan banyak teman baru yang berbeda karakter, agama, suku dan ras. Awalnya Saya sangat susah menyesuaikan pribadi saya dengan banyak perbedaan tersebut. Kebetulan saya tinggal bersama teman di sebuah kompleks, Menurut saya orang orang yang disekeliling atau tetangga saya kurang care, rasa tidak peduli tinggi, saling tidak menyapa. dan saya merasa hidup masing masin (anti sosial) Sehingga saya kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan mereka. Yahh itu mungkin dua perbedaan yang saya alami selama tinggal di dua tempat yang berbeda
LINA MERITHA: Tantangan yang saya rasakan di lingkungan tempat tinggal saya sebenarnya lebih ke kesenjangan antara penduduk asli surabaya dengan warga rantau. Kebetulan saya adalah warga domisili di Surabaya ini, keluarga saya asalnya dari Kediri. Di mana di lingkungan saya itu untuk mengurus surat menyurat apapun yang dibutuhkan oleh warga domisili di sini sangat susah. Ketua RT nya pun sering sekali menerapkan ketidakadlian untuk warganya mulai dari susahnya mengurus surat menyurat untuk warga domisili, perbedaan iuran sampah maupun agustusan antara penduduk asli dengan warga domisili. Hal ini tentu membuat kecemburuan sosial antar warga yang tinggal di lingkungan ini. Namun dengan besar hati kita sekeluarga mau gimanapun tidak akan pernah bisa menuntut keadaan yang saat ini ada itu untuk berubah, karena memang perbuatan seperti itu berasal dari sifat individunya masing masing. Sehingga kita semuan hanya bisa berlapang dada untuk menghadapi keadaan yang seperti itu.
Meskipun pada sisi tersebut yang sudah saya jelaskan di atas membuat kami merasa ada kesenjangan, namun kami antar warga sebenarnya tetap dalam kondisi yang baik baik saja. Alhamdulillah setiap saat kami semua masih saling bertegur sapa, saling membantu dan bahkan saling menjenguk ketika ada tetangga yang sedang sakit. Alhamdulillah perbedaan itu tidak menghalangi kami semua untuk berbuat baik antar warganya. Bahkan jika ada kerja bakti untuk membersihkan kampung ya kami saling bergotong royong untuk membuat tempat saya tinggal menjadi indah.
DIAH AYU SEKAR: Saya sekarang tinggal di kota yang bisa terbilang cukup kecil tapi suasana dan udara(paling penting) disini membuat nyaman, dan populasi manusia yang tidak sedang berebut udara segar seperti di kota besar. tidak banyak tantangan dalam hidup disini, mungkin biasanya masalah atau tantangan yang ada ialah kurangnya toleransi antar sesama atau bisa dibilang egois yang disebab kan oleh kemajuan zaman dan penyalah gunaan teknologi sebagai bisa dibilang kubutuhan utama sekarang. Tetapi dilingkungan tempat tinggal saya semua orang baik saling tugur sapa, jika ada yang kesulitan masih gotong royong saling membantu, tidak ada perbedaan martabat sesama manusia. Kembali ke tantangan yang saya jabarkan ini bisa dilihat ketika anak masih kecil hinggal orang yang sudah berumur bermain handphone sedang berkumpul atau sedang keaadan hangat yang sehusnya saling bercengkrama tapi asik dengan handphone masing-masing. Saya sendiri orang fleksibel kalau kata orang saya sangat fleksibel bisa dikatakan santai, saya mudah berdaptasi dengan lingkungan baru dan orang baru, ketika 3 tahun lalu saya merantau ke Bandung saya juga tidak kesulitan untuk beradptasi karena saya suka ngobrol jadi saya tidak sungkan untuk mengajak orang untuk berbicara.
QURO: saya Quro, saat ini saya berdomisili di Bogor dan saya asli Brebes, Jawa Tengah. Lingkungan di tempat saya tinggal dari kecil ialah di pedesaan dimana setiap warga minimal se-RT disini pasti mengenal satu sama lain dan menganggap semuanya adalah keluarga. Contohnya saja jika ada salah satu tetangga yang mempunyai hajat pasti tetangga yang lain saling membantu dalam hal mempersiapkannya seperti memasak dan lain-lain. Dan jika ada kegiatan pada acara besar seperti perayaan HUT RI masyarakat disini mengadakan perlombaan se desa kemudian juga saling bekerjasama dalam hal unjuk kreatifitas untuk acara pawai yang biasanya diadakan se-kecamatan. Ini pastinya membutuhkan rasa gotong royong yang tinggi dan dengan sifat kekeluargaan tujuan sekecil apapun bisa tercapai. Kemudian sejak saya SMA sekitar tahun 2012-an saya sudah hidup merantau karena bersekolah di Purwokerto selama 3 tahun. Dan saya melanjutkan studi berkuliah di Yogyakarta. Dari kedua kota yang pernah menjadi tempat rantau ini saya merasa dua kota tersebut memiliki karakter lingkungan yang sama. Masyarakatnya yang sangat ramah, dan masih menunjukkan sikap saling gotong royong serta kekeluargaannya terjalin erat. Saya masih sempat mengikuti acara yang diselenggarakan kampung disana seperti acara perlombaan 17 an dan yang unik di Jogja adalah ada acara Malam Tirakatan pada saat malam 17 Agustus untuk mengenang jasa para pahlawan.
Untuk saat ini saya masih terbilang baru menempati tempat rantau baru di Bogor ini, dan saya sedikit merasa berbeda dengan 3 kota yang sudah saya tempati sebelumnya. Awalnya saya merasa lingkungan masyarakat disini yang kurang sosialis dan lebih ke menutup diri, ini mungkin karena saya tinggal di perumahan dan yang sebagian besar tetangga saya bekerja sehingga sangat jarang sekali berinteraksi satu sama lain, hanya sekedar tegur sapa dan saling berkenalan saat awal saja. Mungkin ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya untuk beradaptasi lebih dengan lingkungan baru yang saya tempati. Namun baru-baru ini saya masuk di Grup Forum Jual Beli di Jejaring Sosial khusus yang bertempat tinggal di perumahan tersebut, dan hal ini membuat saya lebih mudah bersosialisasi dengan tetangga lain. Dimulai dari saling menawarkan jualan satu sama lain jadi saling mengenal bukan hanya di media sosial saja namun berinteraksi langsung seperti tegur sapa atau sekedar sharing pekerjaan semakin intens.
Mungkin itu sedikit cerita saya, yang bisa saya simpulkan adalah jangan takut untuk memulai sesuatu hal yang baik contohnya bersosialisasi dan menjaga silaturahmi.
NADYA LUKITA: Saya berasal dari Palembang, saya tinggal dalam sebuah perkomplekan, alhamdulillah di lingkungan ini warga saling membantu dan gotong royong agar lingkungan di sekitar nyaman dan aman untuk kami tinggali, saya memiliki tetangga yang baik-baik, saling tegur sapa, akan tetapi di komplek ini setiap rumahnya tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk memparkirkan kendaraan mobil sebanyak lebih dari 1, sehingga tetangga yang memiliki kendaraan mobil lebih dari 1 memparkirkan mobilnya diluar perkarangan rumahnya yang mengganggu akses keluar masuk kendaraan lain yang melintas. Saya mengalami kesusahan untuk menegurnya karena takut menyinggung hatinya sehingga ini menjadi tantangan bagi saya agar di lingkungan ini dapat lebih nyaman lagi tanpa kesusahan dalam melintasi jalan dikomplek.