Arti Sebuah Nama
by : Arcadius Benawa
KALIMAT itu pernah diucapkan oleh Yuliet kepada Romeo, kekasihnya. “Apalah arti sebuah nama? Meski disebut dengan nama lain, mawar tetaplah harum semerbak wanginya.” Demikian keluhan hati Yuliet yang merindukan Romeo dalam drama cinta Romeo dan Yuliet karangan Shakespeare. Cinta mereka terhalang oleh karena dua keluarga yang bermusuhan yakni Capulets dan Mountage.
Nama selalu berhubungan dengan komunitas sosial. Di komunitas seminari menengah kami dulu, ada nama-nama panggilan yang aneh dan lucu; Badrun, Marduk, Jaran, Cicak Garing, Bemo, Gufi, Lombok, Holmes, Bledheg, Dampit dan masih banyak lagi. Nama panggilan itu di Seminari sangat akrab dan familier sekali, bahkan disebut nama panggilannya, orang akan merasa bangga dan happy saja. Sapaan nama itu menunjukkan kedekatan yang sangat pribadi.
Maria Magdalena ketika berada di kubur Yesus dirundung sedih dan duka yang dalam. Dibalut oleh dukanya yang dalam sehingga Maria Magdalena tidak mengenali Yesus yang berdiri di dekatnya. Ia menyangka orang itu adalah penunggu taman. “Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, dimana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya.” Baru ketika orang itu menyapa namanya dengan aksentuasi yang khas, “Maria.” Panggilan itu mengagetkannya. Dan Maria sangat mengenali suara itu, tidak asing di telinganya. Ia berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani, “Rabuni.” Artinya Guru.
Betapa bahagianya ketika kita disapa dengan nama kesayangan kita. Nama itu adalah nama mesra dan hangat, menggambarkan relasi akrab penuh cinta. Orang lain mungkin menyebut dia, “Magda” atau “Lena” tetapi “Maria” dengan intonasi dan tekanan khas hanya dibuat oleh Yesus, Sang Guru. Maka ia mengenali suara itu adalah suara Gurunya, Yesus sendiri. Lalu muncullah aneka pengalaman pribadi. Ketika kita akrab dengan seseorang, menyebut satu hal, peristiwa atau nama akan mudah mengingatkan suatu pengalaman pribadi dengannya.
Maka ia berani bersaksi kepada murid-murid-Nya. “Aku telah melihat Tuhan.” Kegembiraan karena disapa oleh Tuhan secara pribadi menggugah semangat untuk bersaksi, mewartakan kabar gembira. Apakah kita pernah mengalami disapa atau disentuh oleh Allah secara pribadi lewat pengalaman-pengalaman iman? Itulah pengalaman kebangkitan. Ataukah kita punya ikatan relasi pribadi dengan Tuhan? Bagaimana Tuhan menyapa kita?
Pengalaman pribadi tentu begitu menyentuh, maka manakah pengalaman spiritual kita yang tak terlupakan, yang menyentuh dan yang menjadi pegangan kita bahwa Tuhan selalu beserta kita?
Dalam diskusi dengan mahasiswa sering saya tanyakan: Siapa di antara kalian yang memiliki pengalaman religious? Lalu ada beberapa yang tunjuk jari. Satu dua ada yang bagus dan menarik pengalaman religiusnya, akan tetapi ada pula yang mengaku memiliki pengalaman religious, tetapi ketika diminta untuk mensharingkan pengalamannya, ia bilang sulit mengatakannya atau lupa. Kentara bahwa orang seperti itu hanyalah mengaku-aku, karena pengalaman religious itu tak mungkin terlupakan dan akan mendorong orang dengan mudah membagikan pengalamannya. Hal itu yang dialami oleh Maria Magdalena. Berbekal dari pengalamannya disapa secara personal oleh Yesus mendorongnya untuk bersaksi atas fakta kebangkitan Tuhan Yesus tak peduli kesaksiannya disambut gembira atau dicemooh orang lain.