Pengangguran dan Hak-hak Ekonomi di Indonesia
Oleh: Iqbal Hasanuddin
Dalam ilmu ekonomi, dikenal hukum Okun, yaitu sebuah hukum yang dikemukakan oleh Arthur Okun (1962) yang menjelaskan hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, 1 persen kenaikan pada tingkat pengangguran akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen atau lebih. Sebaliknya satu persen kenaikan pada output dalam pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan penurunan tingkat pengangguran sebesar 1 persen atau kurang.
Dengan demikian, hukum Okun ini juga membantu kita untuk mengerti bahwa tingkat pengangguran bisa menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara, keadaan ekonominya cukup sehat atau sakit. Dalam hal ini, rendahnya angka pengangguran menunjukkan sehatnya kondisi ekonomi sebuah negara. Sebaliknya, tingginya angka pengangguran menggambarkan sakitnya keadaan ekonomi negara tersebut. Karenanya, berbagai upaya untuk mengurangi angka pengangguran sejatinya memiliki dampak besar pada pertumbuhan ekonomi di mana turunnya angka pengangguran juga sama dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pengangguran biasanya didefinisikan sebagai angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Di sini, angkatan kerja adalah penduduk dari sebuah negara yang berusia 15 tahun atau lebih. Artinya, anak-anak kecil di bawah 15 tahun tidak disebut sebagai angkatan kerja, karenanya mereka tidak disebut sebagai pengangguran walaupun tidak bekerja. Istilah pengangguran bisa diberikan baik kepada mereka yang belum pernah bekerja sama sekali, atau mereka yang pernah bekerja kemudian berhenti karena satu dan lain hal.
Secara teoritis, pengangguran terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia (permintaan terhadap tenaga kerja). Hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan angka tenaga kerja jauh lebih cepat ketimbang pertumbuhan angka permintaan terhadap tanaga kerja atau lapangan pekerjaan. Sebaliknya, jika terjadi keseimbangan antara jumlah tenaga kerja dan jumlah lapangan kerja, pengangguran menjadi hilang. Bahkan, jika jumlah lapangan kerja jauh lebih banyak dari ketersediaan tenaga kerja, nilai tenaga kerja menjadi naik.
Lantas, bagaimana dengan angka pengangguran di Indonesia? Data BPS menunjukkan bahwa sebetulnya angka pengangguran di Indonesia terus menurun sejak akhir 2005 hingga akhir 2019. Pada akhir 2005, angka pengangguran di Indonesia berada pada angka 11 persen lebih. Di akhir 2007, angkanya turun menjadi di bawah 9 persen. Kemudian, setelah sempat menyentuh angka 7 persen di awal 2011, angka perangguran naik sedikit menjadi 7,5 persen di akhir tahun itu. setelah itu, angka pengangguran terus menurun hingga hampir menyentuh angka 5 persen di akhir 2019. Itu berarti bahwa dari jumlah total angkatan kerja yang ada di Indonesia pada 2019 sebanyak 197,92 juta orang, terdapat sekitar 7 juta orang pengangguran.
Namun demikian, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi global sebagai akibat dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dua kekuatan utama ekonomi dunia, keadaan ekonomi di Indonesia sedikit mengalami gangguan pada awal 2020. Ini bisa mengerti karena hubungan perdagangan antara Indonesia dan kedua negara itu memiliki volume yang tidak bisa dibilang kecil. Pada 2019, nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$ 14,45 miliar. Pada periode yang sama, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 17,7 miliar. Di awal 2020, nilai ekspor Indonesia memang mengalami penurunan. Tentu saja, sedikit atau banyak, ini berakibat langsung pada sektor tenaga kerja di Indonesia.
Namun demikian, problem ketenagakerjaan betul-betul mengalami masalah ketika Covid-19 muncul sebagai pandemi global pada Maret 2020. Akibat wabah tersebut, pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan yang cukup signifikan di mana Indonesia sendiri mengalami langsung akibatnya. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dan terjadinya ketidakpastian ekonomi telah menyebabkan beberapa perusahaan memutuskan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan-karyawan mereka. Ini terjadi karena adanya kebijakan social distancing dan work from home pada pertengahan Maret 2020 di banyak lembaga pemerintah, sekolah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga lainnya. Transportasi publik juga dibatasi sedemikian rupa. Akibatnya, pusat-pusat perbelanjaan banyak kehilangan konsumennya, bahkan di antaranya ada yang sudah tutup sama sekali. Hal yang sama dialami oleh sektor-sektor yang berhubungan dengan pariwisata seperti tempat hiburan, obyek wisata, hotel dan transportasi. Angka pengangguran diperkirakan akan naik menjadi 7,95 juta.
Jumlah pengangguran sebanyak itu tentu saja menjadi PR yang besar bagi perekonomian Indonesia. Sebab, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa betul-betul tercapai jika angka pengangguran bisa ditekan sesedikit mungkin. Bahkan, jika bisa, angka pengangguran sejatinya dibuat menjadi nol persen. Tentu saja, ini hanya mungkin dilakukan jika dibuat berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja yang bisa menyerap pengangguran sebanyak itu. Misalnya, stimulus untuk penciptaan lapangan kerja bisa dilakukan dengan meningkatkan jumlah investasi (modal), kualitas sumberdaya manusia, dan perbaikan infrastruktur, serta melalui dorongan bagi kemunculan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta penguatan terhadap UMKM yang sudah ada.
Urgensi untuk memikirkan bagaimana agar jumlah lapangan kerja semakin meningkat juga dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa Indonesia akan mengalami apa yang disebut sebagai bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan, terutama pada 2030. Artinya, tidak lama lagi, Indonesia akan berada pada situasi di mana jumlah angkatan kerja atau usia produktif (usia 16 sampai 64 tahun) lebih banyak dari jumlah usia tidak produktif (di bawah 16 tahun dan di atas 64 tahun). Pada saat itu, jumlah angkatan kerja akan mencapai 297 juta. Dengan kata lain, jika angkatan kerja pada 2020 ini berjumlah 197 juta, jumlah angkatan kerja akan bertambah 100 juta lebih banyak dalam sepuluh tahun ke depan.
Adanya bonus demografi itu bisa menjadi kerugian, tapi juga keuntungan. Pertambahan 100 juta angkatan kerja bisa menimbulkan masalah jika tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah lapangan kerja. Bayangkan, dengan jumlah angkatan kerja saat ini saja sebanyak 197,8 juta, Indonesia memiliki jumlah pengangguran sebanyak 7 juta orang lebih. Bagaimana jika jumlah angkatan kerjanya bertambah menjadi 297 juta tanpa disertai dengan penambahan jumlah lapangan kerja? Maka akan muncul pengangguran sebanyak 107 juta orang. Namun demikian, bonus demografi itu akan menjadi keuntungan jika disertai oleh tersedianya lapangan kerja yang cukup. Sebab, dengan lapangan kerja yang memadai, produktivitas perekonomian Indonesia akan mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. PDB per kapita akan naik. Pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat pesat dari tahun ke tahun. Jika itu yang terjadi, cita-cita rakyat Indonesia untuk mencapai kesejahteraan tampaknya akan bisa terwujud sepenuhnya.
Di lihat dari perspektif hak-hak ekonomi, tingginya angka pengangguran tersebut mencerminkan bahwa masih ada banyak warga negara Indonesia yang hak-hak ekonominya belum terpenuhi dengan baik. Dalam UU No.11 Tahun 2005, Indonesia menyatakan telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan dan Budaya. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi warganya. Tentu saja, upaya ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yang di antaranya adalah membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat mendorong terciptanya lapangan kerja bagi semua.