Memikirkan Kembali Arti Sekularisme
Nama : Jason Wiranata Ivanovich
Sekularisme adalah konsep atau ideologi bahwa harus ada pemisahan antara agama dengan institusi atau badan negara. Tergantung dari pengertian dan penerapannya, sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan suatu kerangka yang netral tanpa menekan sebuah agama tertentu. Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Sekularisme, sering kali dikaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme. Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis namun mungkin masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih sebuah keistimewaan khusus atau aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekularisme. Penentangan yang paling kentara muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam pemerintahan sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak. Negara-negara yang umumnya dikenal sebagai sekuler di antaranya adalah Kanada, India, Prancis, Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari negara ini yang bentuk pemerintahannya sama satu dengan yang lainnya.
Dalam bukunya, Rethinking Secularism, Casanova membedakan sekularisasi dengan “Sekular”, “Sekularisasi” dan “Sekularisme”. Dalam hal sekularisasi, Casanova berpendapat bahwa sekularisasi biasanya merujuk pada pola transformasi empiris-historis dan aktual dan diferensiasi “religius” dan lingkup institusional “sekuler” dari awal-modern ke masyarakat kontemporer. Seperti yang dijelaskan Casanova, meskipun ilmu-ilmu sosial memandang sekularisasi sebagai teori umum, ia sebenarnya terdiri dari bagian-bagian yang berbeda:
(1) diferensiasi kelembagaan, seperti negara, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, dari agama.
(2) penurunan progresif keyakinan dan praktik keagamaan sebagai akibat dari modernisasi; dan (3) privatisasi agama sebagai prasyarat politik modern dan demokratis.
Sekularisme merupakan salah satu istilah asing yang seringkali disalahpahami oleh umat Islam di Indonesia. Kesalahpahaman tersebut mengarah kepada justifikasi negatif terhadap istilah tersebut. Implikasinya, ketika ada orang atau kelompok yang menyerukan sekularisme di Indonesia maka masyarakat langsung memiliki pandangan yang negatif dan mengibarkan bendera perang terhadap orang atau kelompok tersebut.
Sekularisme banyak disalahpahami sebagai aliran yang ingin memisahkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah kenegaraan. Sebagai contoh, pemerintah tidak boleh membuat aturan yang mengharuskan para siswi untuk memakai jilbab karena memakai jilbab adalah besumber dari ajaran agama. Contoh yang lain adalah tidak ada lembaga pemerintah yang mengurusi bidang keagamaan seperti Departemen Agama (Depag) di Indonesia.
Maka, kalau kriteria negara sekular adalah sebagaimana yang disebutkan tadi jelas bahwa Indonesia bukan termasuk negara sekular, karena Indonesia memiliki Departemen Agama. Selain itu, sila pertama dari Pancasila yang menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bukti nyata bahwa Indonesia bukan negara sekular.
Bagi saya sendiri sekularisme baik di Indonesia maupun internasional tidak terlalu memengaruhi iman saya dan aktivitas saya dalam beragama. Saya selalu memegang prinsip bahwa agama yang saya anut memang penting, memang saya percayai dan taati ajaran-ajarannya tetapi saya tidak akan membiarkan hal tersebut menjadi batu sandungan dalam kehidupan saya. Maksudnya tetap menggunakan akal sehat dan logika dalam kehidupan sehari-hari. Tidak perlu agama dibawa dalam segala hal, cukup agama tersebut membentuk karakter dan moral saya bagaimana saya dapat menjadi orang yang baik, orang yang merupakan bagian dari masyarakat atau warga negara yang baik dan benar. Saya tetap tekuni agama saya tetapi tetap terbuka dan belajar dari dunia yang “sekuler” ini.