MEMAKNAI PENDERITAAN SECARA FILOSOFIS

By : Alfensius Alwino

  1. Introduksi

Pandemi Covid 19 memantik gugatan filosofis mengenai keberadaan Tuhan sebagai Yang Mahabaik dan Mahakuasa. Kalau memang Tuhan Mahabaik, Dia tidak boleh membiarkan penderitaan ada, dan kalau Tuhan itu Mahakuasa Dia seharusnya bisa menghentikan penderitaan. Kemahabaikan dan Kemahakuasaan Tuhan itu tidak kelihatan seiring makin meluasnya pandemi Covid 19. Jangan-jangan Tuhan memang sengaja menciptakan kebaikan dan kejahatan sebagaimana digambarkan oleh David R. Blumenthal. Blumenthal mengajukan protes dan menuntut pertanggungjawaban Tuhan atas penderitaan yang terjadi di dunia. Bagi Blumenthal, beriman berarti memberi ruang kepada kemarahan dan protes, di samping cinta dan penyerahan diri. Manusia harus protes karena Tuhan adalah sumber keburukan, sementara Tuhan juga dicintai karena Dia adalah sumber kebaikan. Konsep Tuhan seperti ini akan menghancurkan pemahaman ontologis mengenai hakikat Tuhan sebagai kebaikan itu sendiri. Tidak masuk akal Tuhan yang Mahabaik itu menciptakan sekaligus atau berurutan kebaikan dan penderitaan (malum). Lebih masuk akal menerima gagasan penderitaan sebagai Privatio Boni sebagaimana yang dikemukakan St. Agustinus.

2. Makna filosofis Penderitaan

                Pandemi Covid 19 yang bermula di Wuhan – Cina telah menyebar ke hampir semua negara di pelbagai belahan dunia. Jumlah pasien yang positif terjangkit hingga 7 Mei 2020 mencapai  3, 7 juta orang (data WHO). Di tengah pandemik seperti ini, pertanyaan tentang eksistensi Tuhan makin sering digaungkan. Tuhan ada di mana? Tidakkah Dia peduli dengan penderitaan umat manusia? Di mana Kemahabaikan dan Kemahakuasaan Tuhan untuk menghentikan pandemi ini? Apakah Tuhan sedang tertidur pulas di buritan kapal saat para pengikutNya sedang panik diterpa badai Covid 19? Tuhan digugat dari masing-masing rumah saat tempat-tempat ibadah tertutup untuk memprotesnya secara massal.

                Teolog Yahudi, David L Blumenthal menggugat Tuhan sebagai sumber asal penderitaan. Sekalipun Blumenthal tidak bicara tentang penderitaan Covid 19, tapi penderitaan pada umumnya memang berasal dari Tuhan dan dikehendakiNya. Pada tahun 1993 Blumenthal menulis “Teologi Protes”.  Dalam buku  Facing the Abusing God. A Theology of Protest, David L Blumenthal mengatakan bahwa pemahaman kita tentang Allah dipengaruhi oleh pengalaman pelecehan yang pernah umat manusia alami (Paul Budi Kleden, 2006). Pelecehan terhadap martabat manusia terjadi dalam peristiwa Auschwitz (pembantaian oleh Hitler dan NAZI Jerman), di mana jutaan manusia dibantai hanya karena garis keturunannya. Di zaman sekarang, pelecehan terhadap martabat manusia, terfragmentasi dalam pelbagai modus dan motif. Blumenthal mengatakan bahwa Allah sendiri terlibat dalam aksi pelecehan tersebut. Tanpa menyangkal tanggung jawab manusia, patut dikatakan bahwa Allah punmelecehkan dan menghancurkan manusia.  Bagi Blumenthal, Allah memang baik, tapi Dia bukan Mahabaik. Artinya Dia tidak selalu dan di mana-mana baik. Allah pada umumnya baik, tetapi tidak selalu baik. Kadang-kadang Allah bertindak dengan cara yang buruk dan jelek (Paul Budi Kleden, 2006).  Blumenthal menegaskan bahwa karena Allah ada dan mahakuasa, maka adanya penderitaan (malum) harus dipulangkan pada ketidakmahabaikan Allah (Paul Budi Kleden, 2006). Eksistensi Allah sebagai yang mahakuasa tidak dapat diragukan lagi. Artinya Allah dapat melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Jika Allah bertanggungjawab terhadap penderitaan dan kejahatan yang ada di dunia, apa yang harus dilakukan manusia terhadap Allah? Blumenthal memberi saran supaya manusia berani mengolah pengalaman penderitaannya dan melakukan protes terhadap Allah. Allah adalah sumber keburukan, sangat beralasan kalau manusia melancarkan protes terhadapNya.

                Berhadapan dengan argumentasi Blumenthal kita harus mempertanyakan, kalau memang Allah adalah sumber kebaikan dan penderitaan, mengapa manusia mengimpikan sebuah kebaikan sempurna, dan mencarinya pada Allah? Alasan yang paling masuk akal adalah bahwa kerinduan seperti itu sudah ditanamkan oleh Allah di dalam diri manusia. Allah yang maha baiklah yang menanamkan harapan di tengah dunia yang ditandai dengan berbagai ketidakbaikan itu.  Artinya, Allah yang Mahabaik dialami oleh manusia di tengah dunia yang terus terombang-ambing antara ada dan ketiadaan (Paul Budi Kleden, 2006). Oleh sebab itu, kebaikan yang terancam punah dapat dialami dan dipahami sebagai jejak dari kebaikan yang total, yaitu dari Yang Mahabaik itu sendiri.   

                Pandangan Blumenthal yang menjadikan Allah sebagai muasal keburukan, sulit diterima. Hakikat Allah adalah Mahabaik dan Mahakuasa. Itu berarti secara ontologis, Allah adalah baik. Tidak masuk akal kalau keburukan itu berasal dari yang baik. Filsuf Yunani, Empedokles mengatakan bahwa yang sama pasti menghasilkan yang sama. Yang baik hanya menghasilkan yang baik.  Pandangan Blumenthal yang menyebutkan Allah sebagai sumber keburukan hanya akan melemahkan semangat orang untuk keluar dari penderitaan. Karena dengan cara seperti itu dia menggambarkan keabadian penderitaan. Seakan-akan penderitaan itu tidak bisa dihentikan. Pandangan Blumenthal hanya melemahkan perjuangan melawan dan mengatasi yang buruk untuk mencapai sebuah kebaikan.

                Untuk memperoleh motivasi dan daya juang dalam mengurangi keburukan dan penderitaan, kita membutuhkan harapan akan adanya sebuah daya yang mahabaik, yang menjamin adanya sebuah dunia yang baik yang menjadi muara dari segala sesuatu (Paul Budi Kleden, 2006). Harapan akan keberadaan satu instansi yang mahabaik itu memancarkan terang untuk melihat segala ketidakbaikan dari penderitaan yang ada (Paul Budi Kleden, 2006).

                Penderitaan (malum) itu harus dipahami dalam terang privatio boni, yaitu sebagai kekurangan dari kebaikan. Artinya, malum itu tidak dapat berdiri sendiri. Dengan mengacu pada Genesis 1:1-31 bahwa Allah menjadikan segala sesuatu sungguh amat baik, maka penderitaan tidak dapat diasalkan kepadaNya. Mengapa? Karena Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan baik. Artinya, yang baik itu direncanakan, diciptakan, dikehendaki, dan diinginkan. Objek dari kehendak adalah kebaikan. Itu berarti, yang ada hanyalah yang positif (baik). Yang baik itu adalah tujuan yang dikejar. Dengan demikian, penderitaan itu, apapun jenis dan bentuknya, selalu mempunyai tujuan yang baik (Paul Budi Kleden, 2006). Penderitaan (malum) dalam dirinya sendiri bersifat negatif, tidak diinginkan, dan tidak diciptakan. Malum itu tidak bersifat substansial. Agustinus mendefinisikan, malum est privatio boni, keburukan adalah kekurangan dari kebaikan (Paul Budi Kleden, 2006).  Malum itu dialami karena sejauh ada sesuatu yang positif, yang dikehendaki. Malum itu pada hakikatnya tidak mempunyai adanya sendiri. Tidak ada malum yang bersifat absolut. Malum total itu tidak ada. Malum itu hanya ada pada sesuatu yang positif, ia hanya dilihat dalam relasinya dengan yang positif. Agustinus menegaskan bahwa Allah memiliki kemampuan untuk menjadikan semua penderitaan dan keburukan sebagai sesuatu yang berguna bagi kebaikan.

3. Penutup

Dalam Genesis 1:31 disebutkan bahwa Allah melihat segala yang diciptakanNya dan sungguh baiklah semuanya. Malum (penderitaan) bukanlah ciptaan Allah, melainkan kekurangan pada ciptaan yang pada hakikatnya hanya bersifat baik. Allah yang Mahabaik tidak dapat menciptakan keburukan. Filsuf Yunani, Empedokles mengatakan bahwa yang sama pasti mengenal yang sama. Yang sama pun hanya bisa menghasilkan yang sama. Artinya Allah itu tidak bisa kontradiktoris di dalam dirinya sendiri.