Masyarakat Ekonomi ASEAN : Manfaat dan Tantangan

2301965971/Asep Tri Priyono, 2301963070/Hireka Eric Surianto

2301962401/Mizwar Aryadi Kacaribu, 2301964685/Niko Mireta Milala

Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendirikan Masyarakat ASEAN pada tahun 2015, yang terdiri dari Masyarakat Keamanan Politik ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN. Menjelang 2025, integrasi ekonomi kawasan tersebut divisikan memiliki lima ciri yang saling terkait dan saling memperkuat, yaitu:

(1) ekonomi yang sangat terintegrasi dan kohesif;

(2) ASEAN yang kompetitif, inovatif, dan dinamis ;

(3) peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral;

(4) ASEAN yang tangguh, inklusif, berorientasi pada orang, dan berpusat pada rakyat; dan

(5) ASEAN yang global.[1]

Secara rinci, perubahan yang ingin disasar setiap ciri adalah sbb.

  1. Penghilangan tarif perdagangan barang intra-ASEAN, fasilitasi perdagangan, penyederhanaan prosedur bea cukai dan syarat formal profesi berbasis jasa tertentu, standardisasi produk, penguatan investasi dan integrasi keuangan, dan partisipasi dalam rantai nilai global (global chain value).
  2. Pasar yang kompetitif, perlindungan konsumen, hak milik intelektual, dan praktik regulasi yang baik.
  3. Penguatan transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, perdagangan elektronik (e-commerce), energi, pangan dan pertanian, pariwisata, dan ilmu pengetahuan.
  4. Penguatan usaha mikro, kecil, menengah dan sektor swasta, serta pengurangan kesenjangan pembangunan.
  5. Keterlibatan ASEAN dalam perjanjian perdagangan multilateral.

Manfaat Masyarakat ASEAN

Masyarakat ASEAN dibentuk pertama-tama untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan budaya di kawasan serta menjamin
perdamaian dan stabilitas dari pelbagai ancaman seperti kejahatan transnasional, perubahan iklim, bencana alam, dan pandemi.[2] Oleh sebab itu, cita-cita yang ingin dicapai oleh MEA, sebagai salah satu dari tripilar Masyarakat ASEAN, pada dirinya sendiri dapat dianggap baik.

Lima karakteristik yang diuraikan di atas akan memberikan manfaat positif bagi warga ASEAN, khususnya Indonesia. Sebagai konsumen, warga Indonesia dapat menikmati produk-produk dari negara lain dengan harga yang tidak terlalu mahal berkat berkurangnya tarif masuk. Misalnya, perusahaan asal Malaysia Big Bad Wolf menjual secara besar-besaran buku-buku berbahasa Inggris dengan harga jauh lebih murah daripada yang ditemukan di toko buku konvensional Indonesia.[3] Selain itu, di masa ketika Indonesia belum sanggup memenuhi permintaan pasar akan produk pangan tertentu, negara-negara ASEAN lain dapat menjadi salah satu penyuplai.[4]

Sebagai pekerja, pasar yang kompetitif dan terbuka pun memberikan insentif bagi warga Indonesia dengan profesi tertentu untuk tinggal dan bekerja di negara ASEAN lain, terutama yang memiliki standar upah yang lebih besar. Sebagian dari pendapatan mereka pun tidak jarang dikirimkan ke tanah air. Dalam skala global, praktik ini menyumbangkan devisa (foreign exchange) kepada Indonesia yang dapat digunakan kembali untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dalam negeri.[5]

Pada akhirnya, sebagai produsen, pengusaha Indonesia, baik yang berskala kecil maupun besar, memiliki peluang untuk memperluas jangkauan pemasaran produk mereka hingga ke luar negeri. Pengusaha yang berhasil mengembangkan bisnis mereka pada gilirannya akan merekrut lebih banyak tenaga kerja dalam negeri untuk meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan pasar. Efek ini berlaku terutama ketika produktivitas tenaga kerja dianggap ideal dan standar upah terbilang terjangkau.

Tantangan Masyarakat ASEAN

Meskipun menawarkan sejumlah manfaat, Masyarakat ASEAN bukanlah sebuah proyek yang tidak berpotensi negatif pada negara-negara anggotanya. Tantangan ini muncul pertama-tama karena kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antarnegara anggota,[6] sehingga dalam praktiknya, integrasi ekonomi tidak selamanya sampai pada tujuan yang diharapkan.

Selain itu, konflik sosial terbesar dalam dinamika MEA adalah pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan pemerintahan yang buruk, perampasan tanah yang disponsori negara, rezim otoriter dan militeristik, kebrutalan polisi yang melibatkan penyiksaan dan penghilangan paksa, perbudakan modern, dan tiadanya tanggung jawab dan akuntabilitas perusahaan.[7] Konflik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat senantiasa terjadi ketika regulasi nasional yang justru melindungi hak-hak masyarakat dan pekerja setempat serta mencegah polusi industri dihapuskan. Semakin bertumbuhnya iklim ekonomi di suatu negara, peran pemerintah diharapkan semakin kuat untuk melindungi hak-hak pekerja dan warga; dan itu yang sering terabaikan oleh pemangku kebijakan.

Konflik ekonomi pun dapat terjadi antarnegara anggota jika terdapat kompetisi yang sengit untuk komoditas yang sama sehingga yang terjadi adalah runtuhnya para pelaku industri yang tidak tahan bersaing. Dalam hal ini, banyak negara, termasuk Indonesia, akan mengambil pendekatan proteksionis untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri, misalnya dengan mengenakan bea cukai yang tinggi atau menolak meratifikasi perjanjian liberalisasi jasa penerbangan.[8] Tetapi, pada saat yang sama, tindakan ini menafikan cita-cita Masyarakat Ekonomi ASEAN di mana kemudahan mobilitas barang dan jasa menjadi karakter utama.

Pada akhirnya, cita-cita untuk berpartisipasi dan bersaing dalam perdangangan bebas di kawasan ASEAN mensyaratkan dua hal yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia, yaitu penyusunan dan penerapan hukum yang adil bagi pengusaha dan masyarakat, serta peningkatan kompetensi dan produktivitas perusahaan dalam negeri agar tidak harus selalu bergantung pada kebijakan proteksionis pemerintah.


[1] ASEAN Integration Report 2019, https://asean.org/storage/2019/11/ASEAN-integration-report-2019.pdf

[2] ASEAN Community Fact Sheet. https://asean.org/storage/2012/05/7.-Fact-Sheet-on-ASEAN-Community.pdf

[3] “Ini Sejarah dan Rahasia Big Bad Wolf Menjual Buku Murah” https://gaya.tempo.co/read/769193/ini-sejarah-dan-rahasia-big-bad-wolf-menjual-buku-murah/full&view=ok

[4] “Perbandingan ekspor impor Indonesia dengan negara-negara ASEAN” https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/perbandingan-ekspor-impor-indonesia-dan-negara-negara-asean-1519477250

[5] “Sumbangsih TKI dalam perolehan devisa tahun 2018 melebihi ekspor minyak (USD7,9), ekspor gas (USD6,8), dan nyaris menyamai surplus dagang nonmigas (USD11,2 miliar).” https://faisalbasri.com/2019/02/26/pahlawan-devisa-tanpa-tanda-jasa/

[6] ASEAN Key Figures 2019 https://www.aseanstats.org/wp-content/uploads/2019/11/ASEAN_Key_Figures_2019.pdf.

[7] https://www.theguardian.com/world/2015/feb/03/opportunities-fears-asean-prepares-single-market

[8]Indonesia has refrained from ratifying the ASEAN Multilateral Agreement for Full Liberalization of Air Freight Services (MAFLAFS), to protect its domestic aviation industry from regional competitors, primarily from Singapore, Malaysia and Thailand. Without the participation of Indonesia, the single aviation market exists in name only and there is certainly no “open sky” above ASEAN territory.https://thediplomat.com/2014/09/why-the-asean-economic-community-will-struggle/