Iblis dan Tuhan

By : Andy Gunardi

Tema iblis dan Tuhan sepintas mengajak kita untuk terlonjak sejenak. Dua istilah (iblis dan Tuhan) merupakan istilah yang ‘common sense’ bagi kita, namun mengandung makna dan pengertian yang mengundang kita untuk berefleksi mengenai apa yang telah kita lakukan di dalam kehidupan ini.

Berkaitan dengan tema ini saya tertarik untuk meneliti dan membawa para pembaca untuk sejenak merenung dan mendalami dua istilah yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Dalam pembahasan saya akan mencoba untuk memeriksa dua istilah itu dalam pengalaman, ajaran Gereja dan ilmu psikologi spiritual.

Iblis dan Tuhan dalam pengalaman hidup

Di dalam masyarakat Indonesia pengalaman pada dua hal ini, yaitu iblis dan Tuhan cukup kental. Di masa kecil masyarakat mungkin mengatakan “awas hati-hati kalau main di luar pada saat ‘maghrib’, nanti kamu akan digondol kolong wewe. Hati-hati kalau lewat kuburan di sana, nanti ada sundel bolong dan seterusnya.” Iblis atau lebih dikenalnya setan dikategorikan sebagai suatu makhluk yang menyeramkan dan membahayakan. Film-film horror di Indonesia merupakan suatu ‘clue’ bahwa kehadiran makhluk-makhluk itu tetap popular di kalangan masyarakat. Kehadiran film-film itu merupakan jawaban atas kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakat kita.

Hal yang menarik dibalik film-film yang menakutkan itu adalah adanya sisi kebaikan yang dimasukkan di dalamnya. Kebanyakan film yang beredar saat ini menampilkan bahwa kebaikanlah yang menang. Orang yang percaya kepada Tuhan dapat mengusir setan yang menakutkan tersebut. Kemenangan selalu berada dipihak orang-orang percaya. Hal ini berbeda dengan film-film horror Jepang. Kalau kita amati film-film horror Jepang merupakan film open ending. Maksudnya diakhir, sutradara akan mengajak para penonton untuk tetap merasakan kehadiran si setan yang bersangkutan. Kekuatan jahat tetap ada. Ini tentunya sesuai dengan kepercayaan orang-orang Jepang bahwa kejahatan dan kebaikan ada atau exist dalam kehidupan manusia. Dua kekuatan itu tidak bisa dihancurkan sampai keakarnya, namun merupakan kekuatan yang selalu bertentangan satu dengan yang lain dan yang dijaga adalah keseimbangan antara keduanya.

Tentunya di sini kita tidak mau membahas atau mencoba menganalisa film-film horror. Yang ingin ditampilkan adalah fenomena kepercayaan masyarakat yang diangkat ke layar lebar. Dengan demikian kita akan lebih mengenal dan menyadari apa yang tengah terjadi di tengah masyarakat.

Kesimpulan

Berangkat dari fenomena di atas kita dapat menyimpulkan bahwa iblis adalah kekuatan jahat yang berasal dari makhluk gaib yang mengganggu kehidupan manusia. Tuhan adalah sumber kekuatan yang baik dan akan senantiasa dapat mengalahkan sang jahat. Oleh karena itu orang perlu taat pada Tuhan untuk dapat hidup tenang, damai, dan tentram. Kebaikan selalu menang dan orang dengannya akan membawa pada kebahagiaan.

Iblis dan Tuhan di dalam ajaran Gereja

Di dalam tradisi Gereja konsep mengenai iblis dan Tuhan ditempatkan dalam konteks dosa dan keselamatan. Di dalam kitab kejadian diungkapkan mengenai Hawa dan Adam yang terjatuh ke dalam dosa atas bujukan setan (Kej 3:1-24). Suatu kenyataan dalam kehidupan adalah adanya dosa yang membuat manusia terbuang dari rahmat yang diberikan oleh Tuhan. Manusia dari dirinya sendiri tidak bisa lepas dari kungkungan dosa. Oleh karena itu ia membutuhkan Tuhan untuk dapat lepas dari kedosaan (bdk Katekismus Gereja Katolik 1998, 101 – 108).

Dalam Kitab Suci mulai dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian baru memuat kisah bagaimana Allah mencintai manusia dan ingin agar manusia selamat dari dosa yang melumpuhkan. Dalam Perjanjian Lama dikisahkan mengenai Allah yang mengutus para nabinya untuk memberitakan pertobatan dan berkat yang akan diberikan setelahnya. Di dalam Perjanjian Baru Allah mengutus Putranya sendiri untuk membebaskan dan menebus umat manusia yang berlumur dosa dan untuk itu Sang Putra menyerahkan diri memberikan nyawaNya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peranan setan atau iblis adalah menjatuhkan manusia dalam kedosaan dan kebinasaan, sedangkan peranan Tuhan adalah menyelamatkan umat manusia dari cengkraman iblis dan menjanjikan kebahagiaan abadi dalam Kerajaan Surga.

Di dalam Perjanjian Baru kerap kita juga menemui iblis dalam arti yang sebenarnya. Iblis hadir dan menguasai tubuh manusia dan membuat manusia itu menderita. Misalkan mengenai seorang wanita yang dikuasai 7 setan (Mark 16:9), kisah mengenai seorang pemuda yang kerasukan legion (Mark 5:1-20), seorang yang kerasukan di bawah gunung Tabor (Mat 17:14-21) dan seterusnya. Yesus mengusir setan-setan itu dan Ia memberikan perumpamaan ketika orang-orang yahudi menuduh Dia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, bahwa tidak mungkin setan saling bertengkar satu sama lain dan rumah tidak akan bersih kalau tidak seorang kuat mengusir dan menjaga rumah tersebut.

Di dalam praktek pengusiran setan yang dilakukan oleh Yesus sesungguhnya kurang lebih mirip dengan penghapusan dosa. Dengan kata yang lebih eksplisit pengusiran setan dan penghapusan dosa membawa dampak yang sama, yaitu orang hidup damai, tentram dan bahagia bersama dengan Tuhan. Jati diri orang tersebut dikembalikan sebagai orang yang dapat diterima oleh masyarakat dan Tuhan.

Yesus dalam penyembuhan atas orang berdosa kerap berkata, pergilah dosamu sudah diampuni atau imanmu menyelamatkanmu. Dalam konteks budaya Yahudi pada saat itu orang berpenyakit adalah akibat dari dosa. Orang yang berpenyakit patut menyesali hidupnya dan bertobat. Penghapusan terhadap penyakit dengan demikian sekaligus penghapusan atas dosa.

St. Ignatius di dalam latihan rohani menyatakan bahwa dalam kehidupan kita ada dua panji. Yang pertama adalah panji Kristus dan yang kedua adalah panji setan atau iblis. Panji Kristus dipimpin oleh Kristus sendiri bersama barisan orang-orang kudusnya dan panji setan yang akan membawa malapetaka dan kehancuran tiada akhir. Bila mau mengikuti Kristus berarti mau setia, hidup dalam kesucian seperti para kudus di Surga. Bila tidak berarti mengikuti panji setan, yang berarti akan masuk ke dalam neraka bdk Ivens 2008, 105-112.

Kesimpulan

Di dalam ajaran Gereja, Iblis dan Tuhan ditempatkan dalam konteks relasi. Yang ideal adalah manusia berelasi dengan Tuhan yang akan membawa kebahagiaan. Kenyataan adalah manusia memiliki kecenderungan berbuat dosa yang dipengaruhi oleh iblis. Oleh karena kerapuhan manusia Tuhan mendekati manusia dan menyalurkan kasih dan keselamatan bagi mereka yang terbuka akan rahmatNya.

Iblis dan Tuhan di dalam psikologi spiritual

Dalam ilmu psikologi tidak dikenal istilah iblis dan Tuhan. Bahasa psikologi mengistilahkan mereka dalam istilah kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran berarti segala hal yang masuk dalam pikiran dan dapat diolah serta dicerna dalam kinerja otak manusia. Sedangkan ketidaksadaran adalah segala hal yang tidak dapat diangkat dan diolah oleh pikiran dan oleh otak manusia. Biasanya hal ini terjadi karena hal-hal yang masuk itu mengancam ‘ego’ atau eksistensi diri manusia.

Tugas psikologi, terutama psikologi klinis adalah membawa ketidaksadaran ke dalam kesadaran. Istilah dari Jung adalah individualisasi. Melalui proses penyadaran ini orang akan memperoleh kebahagiaan dan menjadikan manusia yang sehat dalam hal jiwa.

Di dalam psikologi spiritual proses individuasi ini diangkat dalam tataran iman. Proses individuasi adalah proses dimana manusia mencoba untuk mendengarkan suara Tuhan yang menuntun di dalam hidupnya. Segala proses dalam mimpi atau pun di dalam lamunan yang dicoba untuk diangkat ke kesadaran memberikan sebuah kebijaksanaan untuk menjalani kehidupan di dalam bimbingan Tuhan. Dipercayai kebijaksanaan yang dihadirkan melalui proses penyadaran adalah suara Tuhan dalam setiap pribadi manusia.

Menurut Carl Jung ada dua jenis ketidaksadaran manusia. Pertama adalah ketidaksadaran yang dialami dalam pengalaman hidup manusia (hal ini seperti pengalaman luka-luka batin, seperti dibenci oleh ayah, dianiaya, pelecehan seksual pada saat kecil, dsb) dan yang kedua adalah ketidaksadaran yang tidak dialami dalam kehidupan manusia. Yang kedua ini disebut archetypes, yang oleh Robert A Johnson disebut sebagai ‘blueprints’ dalam diri manusia (Johnson 1986, 28). Contoh ‘blueprints’ ini adalah kepahlawanan (mencerminkan Allah yang suka menolong), cinta, ketenangan, kreatif, dan seterusnya. Dalam bahasa kristiani ‘blueprint’ yang dimaksud adalah citra Allah yang tertanam dalam diri manusia.

Tugas psikologi spiritual di sini adalah membawa ketidaksadaran menjadi sadar dan dengan demikian membuat manusia menjadi semakin manusia sebagai citra Allah. Yang ditampilkan dan diperjuangkan di sini adalah keaslian pribadi manusia. Bahasa Thomas Merton berkaitan dengan ini adalah “true self and false self”. DEngan dua istilah itu dibangun kepercayaan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik. Yang membuat manusia tidak baik adalah kesalahan mengenai pengenalan dirinya.

Kesimpulan

                Di dalam konteks psikologi spiritual tidak ada konsep mengenai dosa dan iblis. Yang ada adalah bagaimana manusia hidup menjadi baik dan membuat citra Allah bersinar di dalam dirinya. Manusia menjadi lemah dan bertindak amoral pertama-tama karena ketidaksadaran. Ketidaksadaran yang membuat manusia lumpuh dan sulit mengenal dirinya sendiri yang adalah baik. Berangkat dari sana psikologi spiritual membawa orang untuk dapat mengenal diri dan menjadikan dirinya asli sebagai ciptaan Allah yang sempurna, yang dengan demikian juga memberi dampak kebaikan bagi orang lain.

Daftar Pustaka

  1. Para Wali Gereja Regio Nusa Tenggara, 1998, Katekismus Gereja Katolik, Ende.
  2. Ivens, Michael, 2008, Understanding the Spiritual Exercises, Gracewing and Inigo Enterprises.
  3.  Johnson, Robert A, 1986, Inner Work, HarperCollins Publisher.