DASAR NEGARA TANPA DASAR HUKUM?

By : Alfensius Alwino

  1. Pengantar

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak dicantumkan secara eksplisit dalam dalam Konstitusi negara Republik Indonesia. Betul bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan mengenai lima sila atau lima prinsip dasar, tapi tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa lima prinsip dasar itu disebut sebagai Pancasila. Selama ini kita memakluminya saja bahwa memang lima Prinsip itu adalah Pancasila. Oleh karena tidak ada penyebutan Pancasila secara eksplisit, maka lima prinsip itu pun selalu terbuka untuk diberikan nama yang berbeda dari nama pancasila. Masalah lainnya adalah Pancasila sebagai dasar negara yang termuat dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan penetapan tentang Penegasan Pancasila  sebagai dasar negara telah dicabut melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Ketetapan MPR tersebut sudah dicabut. Di luar itu tidak satupun Undang-Undang yang menjadi dasar hukum untuk melegalkan Pancasila sebagai daasr negara. Lantas di mana kita harus mencari dasar hukum untuk menegaskan Pancasila sebagai dasar negara?  

2. Membedah Dasar Hukum Dasar Negara

                Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara masih menyisakan persoalan serius terkait dasar legitimasinya. Para pakar hukum tata negara masih beda pendapat tentang dasar  hukum dasar negara kita, Pancasila. Perdebatan dipicu pasca dicabutnya Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan penetapan tentang penegasan pancasila sebagai dasar negara dicabut melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 disebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar  1945 adalah dasar negara dari Negara kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Permasalahannya, setelah MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 masuk dalam kategori Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan  (Badan Pengkajian MPR RI, 2017).

                Entah Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 maupun Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, dua-duanya menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Hanya saja Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 syarat dengan indoktrinasi dan ideologisasi oleh rezim Orde Baru, sehingga Penetapan tersebut dicabut melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 berisikan pencabutan terhadap Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, “dengan ditetapkannya Ketetapan ini, maka Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi”.  Dengan dicabutnya Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, sebetulnya Indonesia masih memiliki dasar hukum yang kuat terkait dengan penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Dasar hukum yang pertama adalah Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, dan dasar hukum lainnya adalah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Dalam Pasal 1 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 menegaskan  bahwa “sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. 

                Entah itu Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 maupun Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000  termasuk dalam kategori Ketetapam MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara yang termuat secara eksplisit dalam itu Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 maupun secara implisit dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketidakberlakuan itu dinyatakan melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Dalam Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 disebutkan bahwa Ketetapan-Ketetapan MPR tersebut dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan  (Badan Pengkajian MPR RI, 2017). 

                Dengan dicabutnya ketiga Ketetapan MPR di atas, apakah itu berarti dasar negara Indonesia, Pancasila, kehilangan dasar hukumnya?  Untuk menjawab masalah ini, kita coba mengacu pada teori hukum yang dikemukakan oleh seorang filsuf hukum dan politik Hans Kelsen. Dalam teorinya tentang hierarki norma hukum, Hans Kelsen menjelaskan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis mulai dari yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah. Dalam susunan hierarkis hukum tersebut, norma-norma hukum yang lebih rencah wajib mengacu pada norma hukum yang di atas-nya. Demikian pun selanjutnya, norma-norma hukum yang lebih tinggi harus mengacu pada norma hukum yang paling tinggi. Norma hukum yang paling tinggi itu umumnya bersifat hipotetik atau dalam bahasa hukumnya disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm).  Yang dimaksudkan dengan Norma Dasar itu bersifat hipotetik adalah bahwa norma tersebut berisikan pengandaian-pengandaian dasar yang sekalipun bersifat abstraktif namun diasumsikan ada.  Norma Dasar (Grundnorm) tersebut memiliki ciri-ciri: (1) abstrak, (2) asumtif (diasumsikan/presupposed), (3) tidak ditetapkan tetapi diasumsikan ada, (4) berada di luar ketetapan namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi, (5) meta-juristic. (Badan Pengkajian MPR RI, 2017)

                Dengan mengacu pada teori hierarki norma hukum yang dikemukakan Hans Kelsen, Pancasila persis ditempatkan sebagai Norma Dasar (Grundnorm) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Norma dasar tersebut merupakan hukum tertinggi dalam negara. Dan di bawah Grundnorm itu terdapat norma-norma hukum yang disusun berjenjang-jenjang, mulai dari  UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.  Dengan menempatkan pancasila sebagai Grundnorm maka Pancasila adalah norma pertama atau pokok kaidah negara fundamental.

3. Penutup

Pancasila sebagai dasar negara tidak perlu diragukan lagi dasar hukumnya. Sekalipun dasar hukumnya berupa Ketetapan MPR, yang kemudian Ketetapan MPR tersebut dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Pancasila itu merupakan Norma Dasar (Grundnorm) yang bersifat hipotetik, artinya kapan pun bisa dijadikan sebagai dasar pengandaian. Artinya, Pancasila itu berciri meta-juristic. Pada pidato hari Kelahiran Pancasila (1 Juni 1945) Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosifische grondslag, artinya Pancasila merupakan fundamen, filsafat atau pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.

Daftar Pustaka:

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978

Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 

Badan Pengkajian MPR RI, Himpunan Makalah FGD. Pancasila sebagai Dasar Negara dan               Ideologi Bangsa dan Sistem Presidential Indonesia (Jakarta: Badan Pengkajian MPR             RI, 2017)