Beragama di Era Sekular

Oleh: Gideon Kharistia

Sekularisme adalah kepercayaan dan pandangan bahwa agama harus dipisahkan dari berbagai aktivitas sosial dan politik bagi suatu negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi sekularisme adalah “paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama”1. Secara alamiah, sekularisme bertentangan dengan keagamaan.

Sekularisme telah diadopsi berbagai negara di dunia, yang mementingkan hal-hal duniawi seperti rasio dan logika demi pencapaian pengetahuan, ilmu, kekuatan, dan kekayaan yang paling hebat, diantara yang lain. Dengan pergerakan dunia menuju masa modern dan kontemporer, arus zaman sekularisme terus mempengaruhi seluruh dunia dengan perkembangan teknologi dan penyebaran informasi yang makin cepat. Peran agama dalam kehidupan publik maupun pribadi warna negara juga makin direndahkan, di saat manusia makin mengandalkan kekuatan dan pengetahuan sendiri.

Sebagai seorang murid Kristen yang sudah menghabiskan banyak waktu hidupnya di negara Singapura, suatu negara sekuler, saya sudah melihat banyak aspek sekularisme di sekitar hidup saya. Ini dimulai dari kebiasaan teman-teman sampai kepada peraturan dan kebijakan negara. Segala ini memiliki berbagai macam pengaruh dalam hidup keagamaan dan keimanan saya, baik secara pribadi atau secara publik, dan baik secara positif maupun negatif.

Pertama, sekularisme menawarkan banyak godaan yang sering mempengaruhi dan menguji hidup keimanan saya, terutama dalam pengaruh lingkungan sosial. Sebagai orang Kristen yang menghadiri gereja setiap minggu, kadang saya tidak dapat terlibat dalam acara-acara yang diadakan pada hari Minggu. Juga, karena teman-teman sekuler saya tidak memiliki kewajiban beribadah setiap minggu, sering ini menanam godaan dalam hati untuk mengikuti cara kehidupan mereka, yang terlihat lebih bebas. Lebih lagi, kepercayaan sekularisme sering tidak melarang berbagai kegiatan yang menyenangkan nafsu hawa tubuh, seperti menghilangkan diri kepada alkohol, mengunjungi tempat hiburan malam, atau melakukan hubungan seksual bebas, diantara yang lain. Banyak dari ini terlihat lebih “menyenangkan”, daripada kehidupan beragama yang memakan waktu dan “membosankan”. Mereka menawarkan kesenangan yang instan meskipun sementara, maka terlihat sangat menggoda ketika saya sedang merasa lelah atau bosan.

Kedua, ketika godaan didampingi dengan ideologi sekularisme yang cukup umum di sekitar saya yang menekankan kesenangan dan kesuksekan hidup duniawi, dan mengabaikan nilai-nilai agama, ini sering menjadi ujian yang menantang keteguhan iman saya. Dalam komunitas sekuler, sering ditekankan bahwa yang penting adalah menjadi sukses, kaya, dan senang, tanpa memperhatikan aspek spiritual seperti hubungan kita dengan Tuhan, atau kasih kita terhadap orang lebih lemah. Ini cukup terlihat dimana negara sekuler memiliki banyak hiburan malam, seperti bar, diskotik, tempat pelacuran, kasino, dan lain-lain. Ini sering menggoda saya untuk ikut percaya bahwa tujuan hidup yang penting adalah mengejar gaji paling besar atau memuliakan nama sendiri dengan segala usaha pribadi, untuk mencapai kebagiaan dan kesenangan sepanjang hidup. Tetapi, dengan perenungan Firman Tuhan serta doa yang rutin, saya dapat menyadari bahwa banyak daripada janji-janji ini adalah palsu dan bersifat sementara, yang sering terpaku pada hal-hal duniawi.

Maka, ditengah arus zaman sekularisme yang mengelilingi setiap askep hidup, saya berusaha terus menjaga keteguhan iman saya dengan berbagai kebiasaan hidup. Dengan beribadah setiap minggu kepada komunitas agama saya, yaitu dalam gereja, saya dapat memiliki persekutuan dengan saudara seiman dan dapat saling mendukung, memperingati, dan meneguhkan satu sama lain.

Juga, saya terus membaca dan mempelajari kitab suci agama Kristen, yaitu Alkitab, setiap hari dan menyisihkan waktu yang cukup untuk melakukan saat teduh, dimana saya dapat merenungkan ajaran-ajaran agama dan bagaimana ini sudah berperan dalam hidup saya. Dengan begini, saya terus berusaha untuk menerapkan segala ajaran dalam kehidupan, dan tidak terbawa kepada arus zaman sekularisme, dengan merenungkan segala dosa dan godaan dalam hidup saya setiap hari.

Di sisi lain, tidak semua pengaruh sekularisme pun harus dianggap buruk. Kebiasaan sekularisme dalam tempat kerja saya, contohnya, memungkinkan setiap orang untuk memiliki kesempatan yang adil untuk berprestasi menurut kemampuannya, tanpa memandang agama. Meritokrasi dapat ditekankan, yang menghargai setiap orang dengan adil, dan meningkatkan efektifitas kerja. Saya juga diberikan kesempatan untuk menjalin persahabatan yang terlepas dari latar belakang agama, dengan teman-teman dari segala kepercayaan. Maka, sebagai kesimpulan, saya terus menjaga keteguhan iman saya secara pribadi, tetapi tetap menghargai kepercayaan sekularisme orang lain yang sudah banyak menghasilkan kemajuan masyarakat dalam caranya masing-masing.