OBROLAN SANTAI: TANTANGAN JADI WARGA NEGARA DI SEKITAR RUMAH! PART #2

By: Petrus Hepi Witono

Saya tinggal di Jakarta Barat, tapi ngantor di Jakarta Timur. Asalnya dari Bekasi. Masyarakat Bekasi Timur tenggang rasanya cukup tinggi. Silahturahmi untuk saling menyapa maupun saling menjaga kuat. Apalagi kalau titip anak gara-gara kita bekerja. Bayar untuk sumbangan RT pun tidak sulit. Entah mengapa hal ini tidak sama dengan situasi di Jakarta Barat dimana saya tinggal. Saya berfikir akan sama situasinya dengan Bekasi. Ternyata dalam satu RT pun jarang ada kontak. Saya mengalami kesusahan untuk berkenalan dengan tetangga. Komunikasi satu sama lain kurang. ketika miskomunikasi jadinya ribut. pada akhirnya saya yang harus rendah hati menyapa di lingkungan baru ini: Yes menyapa tetangga. Inilah tantangan yang saya hadapi sebagai warga negara. Apa tantangan yang anda rasakan atau anda alami sebagai warga negara di lingkungan Bapak dan Ibu tinggal?

ULIN NABILAH: Saya Nabilah, asal dari Surabaya. Masyarakat dikampung halaman saya cukup baik, sejak kecil saya merasakan rasa kebersamaan antar tetangga. Syukuran, Lomba 17 Agustus, kerja bakti kampung, bahkan nobar layar tancep hehe. Saya pun cukup kenal dengan orang – orang hingga 3 RT sebelah  , sehingga saya merasa lebih aman.

Namun, hal itu tidak saya rasakan saat saya merantau di Cilegon Banten. saat itu saya bertempat tinggal diperumahan karyawan yang disediakan oleh perusahaan. halaman setiap rumah cukup luas, sehingga jarak antar rumah cukup jauh, selain itu sebagian besar waktu dalam satu hari dihabiskan dikantor, tetangga sekitar datang saat malam hari untuk beristirahat. sehingga saya mengalami komunikasi antar tetangga.

Pengalaman saya untuk mengatasi hal itu adalah dengan memanfaatkan weekend untuk melakukan kegiatan diluar rumah, berbelanja dipasar, hingga ikut kegiatan di masjid. lambat laun saya mulai mengenal tetangga sekitar, komunikasi berjalan dengan lancar, dan saya merasa lebih nyaman di lingkungan tersebut

MUTIA PRATIWI: saya dulu besar di Palembang daerah perbatasan kota, disana masyarakat sangat peduli satu sama lain. namun hobi menggosip. sehingga saya tidak bisa membiasakan diri. saya tumbuh seperti dipingit didalam rumah karna tidak nyaman dengan kebiasaan mereka menggosip. ketika bekerja, saya ngekos di tengah kota palembang. disana sepi dan warga tidak saling interaksi. minusnya saya jadi tidak punya teman di daerah situ kecuali ibu kos nya.

HAFIZHA SUBEKTI: saya Hafizha. Saya sendiri sekolah, kuliah, dan bekerja di 3 kota berbeda. Saya lahir dan menghabiskan masa sekolah di Blitar, Jawa Timur. Saya kuliah di Kuta Selatan, Bali. Lalu sekarang kerja di Surabaya. Tentunya ketiga kota tersebut memiliki tantangan yang berbeda-beda. Pertama di Blitar, yang mana rumah saya ada di desa yang tidak terlalu jauh dari kota, disana kehidupaan bertetangga yang bisa dikatakan akrab satu sama lain. Tanpa berkenalan pun sesama warga bisa saling mengenal. Hal ini menjadi berkah srkaligus tantangan. Berkah karena tolong menolong sesama warga yang benar-benar ikhlas tanpa pamrih menjadi kebiasaan, tapi juga menjadi tantangan ketika lama-lama tetangga menjadi “kepo” terhadap kehidupan pribadi,  Seperti satu orang saja yang bicara, sekampung bisa dengar, bahkan aib sekalipun. Jadi meskipun akrab, saya senantiasa harus hati-hati juga dalam berbicara atau bertindak agar tidak menjadi bahan ghibah tetangga. Kemudian di Jimbaran, Bali, disana kehidupannya sama sekali berbeda. Kuta Selatan merupakan area pariwisata yang mana banyak turis asing, warga lokal, dan warga pendatang dengan kehidupan malam yang menggiurkan. Sebenarnya orang-orangnya ramah sekali dan peduli, tapi tidak se-kepo warga di desa,menurut saya ini hal baik. Tapi disisi lain, pergaulannya juga cukup bebas menurut saya. Tantangannya tentu saja tentang bagaimana saya harus menjaga diri dari pergaulan bebas diantara orang-orang bahkan teman sendiri yang biasa dengan sisi “gelap” nya dunia. Di Bali ini saya benar-benar bertemu dengan berbagai macam orang, sehingga menjadi tantangan baru yaitu bagaimana caranya bertindak/berbicara sesuai dengan keadaan dan karakter masing-masing orang. Kemudian saat ini saya bekerja di Surabaya, bisa saya bilang disini lebih kalem meskipun saya tinggal sama-sama di daerah kampus. Kata orang Surabaya keras, tapi bagi saya tidak sekeras itu juga. Orang-orang dilingkungan sekitar ramah dan peduli, tapi tidak kepo. Disini tantangannya kurang lebih sama seperti di Bali dulu, tapi tidak seberat itu. Tantangannya justru datang dari tempat saya bekerja, dimana semua orang benar-benar sangat tekun menurut saya, jadi saya harus setekun itu juga dalam bekerja, karena jujur saja saya aslinya sangat malas, jadi dengan adanya tantangan ini, sebenarnya lama-lama saya jadi tekun juga.

ZAENAL ABIDIN: saya berasal dari surabaya namun saya bekerja dan berdomisili saat ini di kecamatan cepu, blora, jawa tengah. hampir sebagian besar waktu saya habiskan di tempat pekerjaan pak. kebetulan saya bekerja di bidang oil and gas milik negara. banyak sekali tantangan yang bersinggungan dengan masyarakat atau lingkungan sekitar selama saya bekerja di tempat ini. salah satunya adalah demo dari warga sekitar ketika terdapat tumpahan crude oil hasil pengeboran sumur baru yang tercecer atau sampe mengenai sawah dan ladang warga. tidak hanya itu banyak preman yang sering meminta uang karena banyak kendaraan berat melintasi desa mereka. sebenarnya masih banyak masalah yang tidak bisa jelaskan satu persatu, namun dari contoh sebelumnya sudah bisa menggambarkan bagaimana tantangan saya dengan para warga sekitar yang dinamis dan perku softskill dalam menghadapi gesekan-gesekan yang ada.

TOMMY GINTING MANIK: Saya Tommy , tinggal di Bandung. lingkungan saya sangat menjunjung tinggi tenggang rasa, nyaman rasanya ketika saya merayakan hari raya, tetangga saya mengucapkan selamat, dan saya pun melakukan hal sebaliknya. Dalam bersosialisasi pun saya merasa mudah, karena saya dan keluarga menghindari tinggal di dalam komplek, karena menurut kami jiwa sosialisasi lingkungan komplek lebih rendah, mungkin karena kesibukan masing-masing

MOH. MISWAN: Sejak 2017 saya merantau dari madura ke Bekasi saya tetap mempertahan kesantunan, bringas, dan sarungan ala madura. dan ternyata lingkungan tempat saya tingal memang mengetahui hal itu. serta saya mengajar ngaji 5 orang anak  tetangga. namun hal itu hanya berjalan 2 tahun karena saya kena sift kerja sehingga waktu saya tidak memadai dan berbenturan. untuk tegur sapa dan senyum saya adalh tipe orang yang mudah sosialisasi mengingat itu adalh modal sebagai perantau. saking dari baiknya interaksi saya sampai mengikuti acara tahlilan kematian, sesekali ngimamin masjid serta menjadi muaddin di deket kontrakan saya. mungkin itu yang bisa saya share karena sata belum pindah lokasi artinya sejak awal merantau ya di daerah yang sekarang yaitu Cikarang  

BAYU S: Saya Bayu, tinggal di Batam sekarang, sebelumnya di Bandung, asalnya Makassar. Lingkungan tempat saya tinggal di Batam ini adalah sebuah komplek perumahan yang cukup ramah yang setiap orangnya melakukan interaksi meskipun tidak banyak, sebenarnya saya masih tidak terlalu tahu bagaimana menjelaskannya secara detail karena saya juga bekerja pagi pulang malem banget jadi sempet ikut berinteraksi dengan warga mungkin hanya weekend. Namun weekend tersebut memberikan saya pandangan bahwa komplek ini adalah komplek yang ramah. Di Bandung, pengalaman sya juga cukup baik dalam berinteraksi dengan warga, terkadang warga juga mengadakan acara lokal dan mengajak saya dan teman-teman saya untuk ikut, komunikasi dengan mereka juga mudah serta untuk saling membantu juga gampang, namun karena banyaknya interaksi ini saya kadang sedikit terganggu dengan lingkungan rumah yang sempit, jarak antar rumah sangat dekat karena waktu itu rumah kontrakan berada di gang, sehingga ketika ada kendaraan, ataupun acara yang diadakan, suaranya akan sengat mengganggu. kemudian di tempat asal saya Makassar mungkin lebih nyaman karena interaksi saya lebih mudah karena sudah mengenal tempat asal saya sendiri dan berbagai kebiasaan warga yang ada.

MOCH ZHAIF FIRDAUS: Saya berasal dari Garut salah satu kabupaten yang berada di Jawa Barat. Sekarang saya tinggal di Tanggerang tepatnya dibelakang Bandara Soekarno-Hatta. Tantangan yang saya alami kurang lebih sama seperti yang bapa kemukakan, yaitu kurang adanya komunikasi antara warganya. Memang disini rata-rata para perantau yang bekerja di lingkungan bandara sehingga wilayah saya ini cukup terbilang sangat ramai dan tidak pernah sepi walaupun tengah malam. Namun warga sekitar seperti tetangga kos sangat sibuk dengan kepentingan masing-masingnya. Ditambah lagi dengan multikultur karena kebanyakan perantau juga watak ,sifat dan budaya yang berbeda juga jadi sulit untuk komunikasi. Maka dari itu terkadang saya yang selalu menyapa dan berkomunikasi duluan walaupun terkadang sering diabaikan oleh mereka.

KIKI SAH NIKRI: Saya kebetulan tinggal di kab.bekasi lebih tepatnya di kec pebayuran, disini masyarakatnya menurut saya masi dibilang sangat bagus dalam arti masi ada silaturahmi , saling sapa menyapa. tantangan menurut saya masayarakat disini masi rendah dalam mengetahui dunia luar, baik itu politik maupun teknologi padahal menurut saya itu sangat berpengaruh akan kesejahteraan mereka.

ANDARIA SINURAYA: Tinggal di Bandung yang bukan kota asal saya bagi saya sangat menyenangkan, tinggal ngekos di perumahan bojong raya, kecamatan bandung kulon yang merupakan kota bandung membuat saya betah walaupun belum lama tinggal didaerah ini, kebetulan rumah RT dan RW bersebelahan persis didepan kosan saya, sehingga kosan putri yang saya tempati tergolong nyaman dari keributan dan aman dari gosip gosip kemalingan. setiap ada kendala yang anak kosan alami kurang menyenangkan kami diperbolehkan untuk kasih tau ibu kostan atau langsung ke RT/RW. Selain kenyamanan dan keamanan warga atau tetangga yang sering berpapasan dengan saya pun ramah ramah, hal ini membuat saya betah untuk tetap disini, untuk tempat tinggal saya saat ini yang menjadi tantangannya adalah area pintu masuk perumahan, sebenar nya perumahan yg saya tempat in saat ini memiliki 2 gerbang masuk keluar yang bebas, untuk gerbang utama dijaga oleh kantor keamanan, namun gerbang keduanya menjadi pusat tongkrongan angkot, yang kadang saat saya lewat kurang nyaman dengan bapak2 atau anak lajang dengan tampilan preman atau anak jalanan, untungnya mereka tidak pernah saya lihat masuk kearea dalam ataupun dekat kost an saya.