Dosa dan Keselamatan Berbalikan Arah

By : Arcadius Benawa

Dosa dan keselamatan itu berbalikan arah. Dosa terjadi setiap kali manusia meninggikan diri menyamai bahkan melampaui Allah. Kita ingat dosa perdana dilakukan Adam dan Hawa dengan mau menerima godaan setan yang berwujud ular yang memprovokasi mereka bahwa mereka akan menyamai Allah. Demikian juga dosa Menara Babel juga merepresentasikan kecongkakan manusia yang mau tahu tentang apa yang dilakukan Allah di atas TahtaNya di Langit sana. Kedua dosa itu berujung keterpecahan. Adam dan Hawa terusir dari kehidupan sorgawi di Taman Eden. Manusia Babel tercerai berai karena tidak ada kesamaan pemahaman karena bahasa mereka tidak dipahami satu sama lain. Sebaliknya, keselamatan terjadi dengan Allah merendahkan diriNya dalam Yesus yang rela wafat demi keselamatan segala makhluk.

Hal ini sekaligus mengingatkan kita akan terjadinya kerusakan ekologi dalam keserakahan manusia; sehingga harmoni ekologi berantakan atau sirna. Sebaliknya ketika manusia mau bersahabat dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan, serta hormat dan bakti pada Tuhan, terjadilah harmoni semesta alam. Wabah pandemi covid 19 merupakan peringatan bagi manusia untuk lebih menjaga harmoni ekologi agar imunitas kita terpelihara dengan kita bersahabat dengan alam lingkungan. Sebaliknya, ketika manusia destruktif terhadap alam dengan keserakahannya, dengan arogansinya, maka wabah yang mestinya dapat dilemahkan dengan mekanisme alam pun tidak terjadi. Marilah kita lebih menjaga relasi harmoni kita dengan Allah, sesama, dan alam lingkungan sebagaimana juga telah diserukan oleh Bapa Suci Fransiskus pada tahun 2015 melalui Ensiklik Laudato Si dan diingatkan kembali oleh Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam pesan Paskah tahun ini bahwa pandemi covid 19 ini tak lepas sebagai dosa ekologi.

Oleh karena itu tidak bisa lain kita harus melakukan pertobatan ekologi juga, yakni dengan mengubah paradigma kita agar tidak lagi antroposentris yang menempatkan manusia secara hirarkis, atas bawah dengan alam sehingga cenderung arogan dan eksploitatif terhadap alam, melainkan kita ganti dengan paradigma yang lebih ekosentris yang lebih siklis dan menempatkan manusia dalam interrelasi, interkoneksi, dan interdependensi dengan alam semesta. Kita diajak untuk lebih menghargai semua makhluk untuk eksis dan tumbuh kembang sebagaimana mestinya.

Kita juga diingatkan oleh Paus Fransiskus bahwa Allah memang maha pengampun tetapi alam tidak. Alam hanya bisa mengembalikan apa yang dilakukan manusia padanya. Manusia bersahabat dengan alam, alampun akan menjadi sahabat manusia. Kalau manusia merusak alam, alam pun akan memberikan kerusakan dirinya pada manusia. Maka, apakah kita akan terus tekun di dalam perbuatan dosa dengan terus menerus meninggikan diri di hadapan Allah, sesama dan alam; atau kita akan mendambakan keselamatan yang berarti kita harus semakin merendahkan diri dan hormat bakti kepada Tuhan, sesama, dan alam semesta.