Alam Sebagai Entitas Spirtual
Untuk membahas alam sebagai entitas spiritual, saya menggunakan deskripsi yang dilakukan oleh Hendryk Skolimowski (1993) dalam bukunya yang berjudul A Sacred place to dwell : living with reverence upon the earth. Skolimowski memandang alam semesta ini secara spiritual. Dia mendefinisikan spiritulitas sebagai esensi yang diartikulasikan dari kondisi manusia pada waktu tertentu.
Kita menemukan sebuah pandangan spiritualitas yang sangat terbuka yang memperhatikan dinamika dan keunikan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan alam. Pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan alam berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya, atau bahkan dari satu masa sejarah dengan masa sejarah yang lainnya. Namun meski berbeda, spiritualitas tidak bersifat aksidental, melainkan esensial. Dengan menekankan aspek esensialitas tersebut, Skolomowski menekankan salah satu karakteristik manusia yang tidak hanya bersifat fundamental, tetapi kondisi yang menjadikan manusia disebut manusia.
Kalau kita bertanya kepada Skolimowski, apa yang membuat manusia disebut sebagai manusia? Ia akan menjawab spiritualitasnya! Ia tidak akan menjawab rasionalitasnya, melainkan spiritualitas. Kemanusiaan manusia dengan demikian dalam konteks Skolimowski harus diukur dari aspek spiritualitas ini.
Manifestasi spiritualitas manusia teraktualisasi secara berbeda dalam budaya berbeda dan dalam sejarah yang berbeda pula. Dengan penjelasan ini, Skolimowski ingin menarik dimensi spiritualitas pada manusia dari ruang lingkup yang lebih luas dan tidak terkonsentrasi pada tradisi agama-agama, terutama agama-agama yang telah mapan seperti yang diakui secara luas pada masyarakat modern di dalam bentangan kosmos ini.
Skolimowski menerangkan bahwa sebelum agama-agama yang kita kenal dewasa ini muncul, manusia mengartikulasikan dirinya sendiri dalam bentuk spiritualitas pra-agama. Skolimowski menunjukkan bahwa pada zaman lampau, masyarakat suku melakukan penghormatan terhadap alam. Dengan sikap seperti ini, masyarakat suku tersebut tidak menempatkan alam secara material. Mereka melihat alam sebagai manifestasi dari dimensi ketuhanan. Tuhan dengan demikian tidak terpisah dari alam, melainkan terdifusi melalui alam. Pandangan seperti ini, tentu saja berbeda dengan Tuhan sebagaimana dikenal dalam agama-agama yang sudah mapan pada masyarakat dewasa ini.
Referensi Skolimowski tentang penghayatan masyarakat suku zaman lampau yang memperlakukan alam sebagai bagian dari dimensi ketuhanan, sangat mempengaruhi pandangannya tentang alam. Bagi Skolimowski, alam merupakan sebuah tempat yang kudus, sebuah tempat yang suci. Menurut Skolimowski, perspektif ini secara langsung mengubah banyak hal. Ketika dunia dilihat sebagai suatu tempat yang kudus, peran Anda dalam tempat kudus itu adalah menjaga, melindungi, seorang imam yang bertanggungjawab mempertahankan tempat kudus tersebut sehingga tidak hancur dan rusak.
Mengalami dunia sebagai tempat yang kudus dalam pandangan Skolimowski merupakan langkah pertama untuk menerima diri sendiri sebagai tempat kudus yang butuh untuk diperlakukan dengan tanggungjawab, peduli dan hormat. Alam semesta ini dialami sebagai tempat kudus yang memberikan Anda rasa kenyatamanan untuk mengetahui bahwa Anda hidup dalam sebuah kepedulian, tempat spiritual, di mana alam semesta memiliki makna dan kehidupanmu memiliki makna untuk bertindak dalam dunia yang seolah-olah tempat kudus adalah membuat alam semesta terhormat dan suci, dan membuat dirimu sendiri terangkat dan penuh makna dalam kondisi kesucian diri.
Skolimowski menekankan bahwa apa yang terjadi dengan alam semesta tergantung pada tindakan Anda. Kalau Anda memperlakukan alam semesta seperti sebuah mesin, maka alam semesta menjadi sebuah mesin. Kalau Anda memperlakukan alam semesta sebagai tempat suci, maka alam semesta menjadi tempat suci. Kalau Anda memperlakukan alam semesta secara acuh tak acuh dan kejam, maka alam semesta menjadi sebuah tempat yang acuh tak acuh dan kejam pula terhadap Anda. Memperlakukan alam semesta dengan cinta, peduli dan alam semesta pun menjadi sebuah tempat yang penuh cinta dan peduli pada Anda.
Skolimowski menunjukkan sumber kekudusan pada alam semesta. Sumber pertama datang dari pikiran manusia itu sendiri. Artinya, ruang pikiran dan tindakan manusia harus diubah dari yang materialistik dan instrumentalistik menjadi spiritual. Dimensi spiritual ini harus ada dalam pikiran manusia. Bila pikiran manusia berisi aspek spiritual, maka tindakan manusia terhadap alam juga cenderung spiritual. Kalau pikiran manusia terhadap alam semesta bersifat kudus, maka alam semesta menjadi tempat yang kudus dan suci sehingga dengan demikian tindakan manusia terhadap alam juga pasti akan mengikutinya.
Sumber yang kedua itu datang dari alam itu sendiri. Skolimowski dalam hal ini mengutip sebuah pandangan lama dengan alam sebagai sebuah “misterium tremendes”, sebuah misteri yang mengaggumkan. Alam menyimpan misteri dalam dirinya sendiri. Sebagai sebuah misteri, alam itu bersifat mengaggumkan. Oleh karena sebuah misteri, alam menarik perhatian manusia, namun perhatian itu harus didasari oleh sikap yang menggumkan. Sikap yang mengaggumkan ini akan membangkitkan sikap respek, dan manusia terhadap alam. Sikap ini tentu saja akan mendorong sikap yang lainnya yakni menjaga alam supaya tempat kudus. Inilah tanggung jawab manusia dalam relasinya dengan alam.
Dengan demikian permulaan rekonstruksi spiritual kita adalah sebuah perlakukan dengan hormat terhadap dunia dan diri kita sendiri. Ini juga merupakan sebuah premis tentang sebuah pemahaman ekologi yang dalam. Untuk memahami kemuliaan semua ciptaan adalah dengan melihatnya secara hormat. Untuk memahami secara penuh seluk beluk keterhubungan ekologis adalah dengan memperlakukan habitat ekologis secara terhormat. Untuk memahami keindahan dan integritas dari bumi adalah dengan membungkukkan badan terhadapnya secara hormat.
Hormat dengan demikian muncul sebagai sebuah pemahaman yang dalam tentang ekologi, tentang dunia, tentang diri kita sendiri. Hormat adalah sebuah prinsip dari pemahaman – tentang keindahan dari dunia. Hormat juga merupakan sebuah prinsip dan perilaku yang pantas terhadap alam semesta yang dialami sebagai tempat kudus. Simponi yang besar tentang hidup sedang bernyanyi melalui Anda. Mendengar pada laku tentang hidup. Kita merayakan penciptaan yang menakjubkan dengan melihatnya secara hormat. Kita melihatnya secara hormat dengan merayakannya. Hidup bukanlah sebuah kanker terkahir tetapi sebuah lagu pujian yang luar biasa untuk menyanyikannya dengan gembira pada altar penciptaan. Seperti itulah konsekuensi dari dunia yang dialami sebagai tempat yang kudus.
Relasi antara manusia dengan alam dalam konsep Skolimowski adalah relasi kesatuan. Manusia dengan alam adalah satu. Manusia dalam hal ini tidak pernah dapat bereksistensi tanpa alam, demikian juga alam tidak akan pernah ada tanpa manusia. Sebab hanya di depan manusia saja alam dapat berada. Kita adalah satu dengan alam – demikian Skolimowski. Kita adalah satu dengan semua penciptaan. Tetapi, kesatuan ini hanya akan diaktualisasikan dalam sebuah cara harmonis dan simbolik bila kita menyadari bahwa keadaan jiwa ekologi tergantung pada keadaan jiwa kita sendiri yang bersifat spiritual sama halnya seperti alam yang berkarakter spiritual juga.
Menempatkan alam sebagai sebuah sebuah tempat kudus bersifat imperatif. Artinya, manusia harus menempatkan alam sebagai sebuah tempat yang sentral dalam melakukan devosinya atau penyembahannya kepada Tuhan. Manusia tidak akan dapat menyembah Tuhan kalau tidak memasukkan alam semesta ini sebagai dimensi yang sangat penting. Untuk menyembah Tuhan – tulis Skolimowski – pada waktu kita dewasa ini adalah dengan menyelamatkan planet ini. Devosi agama yang tidak memasukkan sebuah pelayanan terhadap planet, tulis Skolomowski, adalah sebuah tindakan musryk. Aspek lain dari penyembahan kepada Tuhan adalah penting, tetapi melindungi planet sangat penting. Ini adalah pekerjaan spiritual yang utama dari waktu kita kini. Jika kita kehilangan alam semesta ini, kita pun kehilangan Tuhan.