Perbedaan Lingkungan Kerja yang Toxic dan Sehat
Kesehatan mental di tempat kerja telah menjadi perhatian utama dalam konteks organisasi saat ini, terutama mengingat dampak negatif lingkungan kerja toksik terhadap kesejahteraan karyawan. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 87% karyawan mengakui bahwa lingkungan kerja yang tidak sehat dapat merugikan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Kondisi ini memicu perlunya analisis mendalam mengenai dampak lingkungan kerja toksik serta langkah-langkah yang dapat diambil oleh organisasi untuk merespons tantangan ini secara efektif.
Lingkungan kerja yang toksik seringkali dihasilkan dari perilaku kepemimpinan yang buruk serta kurangnya dukungan organisasi. Penilaian perilaku kepemimpinan dan umpan balik secara menyeluruh dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah ini sebelum menjadi budaya organisasi yang mendalam. Proaktif dalam menangani perilaku kepemimpinan yang toksik tidak hanya melindungi kesehatan mental karyawan tetapi juga meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Selain itu, penelitian mengenai pengalaman perawat di Filipina menemukan bahwa beban kerja yang tinggi, beban emosional, dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan mental merupakan tantangan yang signifikan. Dalam hal ini, dukungan dari lingkungan kerja dan pendidikan kesehatan mental dapat membantu meningkatkan perilaku pencarian bantuan di kalangan perawat. Dukungan sosial dan pengembangan kebijakan untuk meningkatkan lingkungan kerja dapat memfasilitasi pencarian bantuan dan memperbaiki kesejahteraan mental. Dalam menghadapi tantangan lingkungan kerja toksik, berbagai intervensi organisasi diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara efektif.
Lingkungan kerja toksik didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja yang menghasilkan dampak negatif tidak hanya pada individu tetapi juga pada kinerja kolektif. Ciri-ciri umum lingkungan kerja toksik meliputi adanya intimidasi, kurangnya dukungan, ketidakadilan, komunikasi yang buruk, dan kompetisi tidak sehat. Kurniawan et al. mencatat bahwa lingkungan kerja yang toksik berkontribusi secara signifikan terhadap stres kerja di antara karyawan, yang berdampak langsung pada keterlibatan dan kinerja mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sifat lingkungan yang merugikan akan memperburuk kesehatan mental karyawan dan penurunan tingkat keterlibatan dalam pekerjaan.
Berbagai contoh perilaku toksik di tempat kerja seperti microaggression, silent treatment, dan favoritisme memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Studi oleh Jana dan Alias menunjukkan bahwa bullying di tempat kerja, termasuk bentuk-bentuk perilaku negatif tersebut, menyebabkan kerusakan pada kualitas lingkungan kerja dan kesehatan mental karyawan. Mikroagresi, yang sering terjadi dalam interaksi sehari-hari, dapat mengakumulasi dampak negatif yang signifikan pada kesejahteraan psikologis individu, memperparah keadaan mental yang sudah tertekan.
Lingkungan kerja yang sehat dan toksik memiliki karakteristik yang sangat berbeda dalam berbagai aspek. Memahami perbedaan ini penting untuk menciptakan tempat kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan dan meningkatkan produktivitas. Berikut adalah analisis mengenai perbedaan tersebut dalam beberapa dimensi kunci: komunikasi, kepemimpinan, kolaborasi dan dukungan tim, keseimbangan kehidupan dan pekerjaan, pengelolaan konflik dan masukan, serta kesejahteraan mental dan fisik.
- Komunikasi
Karakteristik komunikasi di lingkungan yang toksik sering kali ditandai oleh komunikasi tertutup, menyalahkan, dan sering terlibat dalam gosip. Situasi ini menciptakan suasana yang tidak nyaman dan menghalangi karyawan untuk berbagi ide atau menunjukkan keprihatinan mereka. Ketidakjujuran dan kerahasiaan dapat memicu ketidakpercayaan, yang dapat merusak interaksi di tempat kerja.Sebaliknya, komunikasi di lingkungan kerja yang sehat bersifat terbuka, jujur, dan dua arah. Karyawan didorong untuk berbagi pemikiran dan umpan balik secara aktif, menciptakan suasana kolaboratif yang memperkuat hubungan di antara mereka. Komunikasi yang efektif dapat meningkatkan kinerja tim dan membangun rasa percaya di antara anggota tim.
- Kepemimpinan
Dalam lingkungan yang toksik, kepemimpinan dapat bersifat otoriter, manipulatif, dan tidak responsif terhadap kebutuhan tim. Pemimpin yang tidak memberi perhatian pada kesejahteraan tim mereka sering kali menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan di antara karyawan.Sebaliknya, pemimpin yang baik dalam lingkungan kerja yang sehat bersifat empatik, suportif, dan responsif terhadap kebutuhan tim. Mereka berinvestasi dalam pengembangan karyawan dan menciptakan suasana di mana semua orang merasa dihargai dan didengarkan. Kepemimpinan yang suportif dapat mengurangi stres di lingkungan kerja.
- Kolaborasi dan Dukungan Tim
Ciri khas dari lingkungan kerja yang toksik adalah sikap individualistis, kompetisi tidak sehat di antara rekan-rekan, dan potensi sabotase. Ini dapat menciptakan suasana yang menjauhkan rakyat dari kerja sama, sehingga mempengaruhi keberhasilan tim secara keseluruhan.Di sisi lain, lingkungan kerja yang sehat mendorong kolaborasi, saling mendukung, dan membangun tim yang solid. Hal ini memungkinkan karyawan untuk bekerja sama dengan lebih efektif dan mencapai tujuan bersama. Tim yang saling mendukung menunjukkan kinerja yang lebih baik dan lebih sedikit konflik.
- Keseimbangan Kehidupan dan Pekerjaan (Work-Life Balance)
Lingkungan kerja yang toksik sering kali memiliki ekspektasi kerja yang berlebihan dan tidak menghargai waktu pribadi karyawan. Hal ini dapat menyebabkan stres dan burnout, serta mengganggu kehidupan pribadi karyawan.Di lingkungan sebaliknya, penghargaan terhadap waktu istirahat dan fleksibilitas sangat ditekankan. Organisasi yang sehat tidak hanya menghargai waktu pribadi tetapi juga mendukung karyawan dalam menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi mereka.
- Pengelolaan Konflik dan Masukan
Dalam lingkungan toksik, konflik sering kali diabaikan atau ditanggapi dengan agresi, yang dapat memperburuk keadaan dan menyebabkan perpecahan di antara karyawan.Sebaliknya, lingkungan kerja yang sehat menangani konflik secara konstruktif dan terbuka terhadap kritik. Karyawan didorong untuk menyuarakan pendapat mereka dan terlibat dalam diskusi untuk menyelesaikan masalah.
- Kesejahteraan Mental dan Fisik
Karyawan dalam lingkungan kerja toksik sering kali mengalami burnout dan stres kronis, yang berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.Dalam lingkungan sehat, karyawan merasa aman, nyaman, dan berkembang. Rasa percaya diri dan dukungan yang ada mendorong karyawan untuk mencapai potensi penuh mereka, baik secara profesional maupun pribadi.
Analisis perbedaan antara lingkungan kerja toksik dan sehat menunjukkan bahwa suasana kerja yang positif dapat dicapai melalui komunikasi yang terbuka, kepemimpinan yang empatik, dan kolaborasi yang saling mendukung. Lingkungan kerja yang sehat mendorong keseimbangan kehidupan dan pekerjaan, serta menangani konflik secara konstruktif, yang semuanya berkontribusi pada kesejahteraan mental dan fisik karyawan. Sebaliknya, lingkungan yang toksik ditandai dengan komunikasi yang buruk, kepemimpinan yang otoriter, serta individualisme yang merugikan kerja tim, yang mengarah pada stres, burnout, dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu, organisasi yang ingin meningkatkan kesejahteraan karyawannya harus berkomitmen untuk mengidentifikasi dan mengubah elemen-elemen toksik dalam budaya kerja mereka menjadi lebih sehat dan menyokong.
Referensi :
Derkach, O. (2025). How Toxic Bosses and Poor Leadership Contribute to Employee Depression and Anxiety. The American Journal of Management and Economics Innovations, 07(03), 56–62. https://doi.org/10.37547/tajmei/volume07issue03-08
Emotional Intelligence :). (2025, January 5). 87% of employees say toxic workplaces hurt their mental health. [Online forum post]. Emotional Intelligence :). https://www.linkedin.com/posts/emotional-intelligence-smiles_87-of-employees-say-toxic-workplaces-hurt-activity-7281564898013130752-opf2/?utm_source=combined_share_message&utm_medium=member_desktop_web
Jana, S., & Alias, S. N. (2021). Factors Influencing Workplace Bullying Among Employees in a Private Education Institution. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 11(12). https://doi.org/10.6007/ijarbss/v11-i12/11828
Kurniawan, S., Bamumin, F. A., & Kusnandar, K. N. (2023). The Effect of Toxic Workplace Environment on Employee Performance Mediated by Employee Engagement and Work Stress Among F&B Employees in Jakarta. Business Economic Communication and Social Sciences (Becoss) Journal, 5(2), 127–136. https://doi.org/10.21512/becossjournal.v5i2.9729
Matorre, C. (2025). Perceived Mental Health Issues, Challenges, and Help-Seeking Behavior Among Hospital Nurses in Panay Island, Philippines: Implications to Mental Health Policies. International Journal for Multidisciplinary Research, 7(3). https://doi.org/10.36948/ijfmr.2025.v07i03.43940
Penulis : Erna Susilowati