Quiet Quitting
Quiet quitting menjadi sangat popular di tahun 2022. Banyak platform dan jurnal seperti Harvard Business Review, Forbes, World Economic Forum, The Wall Strss Journal, and the New York Times menerbitkan beberapa artikel mengenai konsep quiet quitting. Istilah Quiet Quitting digunakan pada kondisi pekerja atau karyawan yang berprinsip hanya melakukan tugas yang tertera pada deskripsi pekerjaan (job desk) mereka dan mengabaikan tanggungjawab atau pekerjaan apapun diluarnya. Melakukan pekerjaan seminimal mungkin dan tidak melebihi batas, tidak mengambil pekerjaan atau tugas tambahwan yang tidak dibayar atau diberi imbalan.
Gallup membagikan hasil temuannya mengenai keterkaitan komitmen karyawan terhadap organisasi. Menurutnya, setengah dari tenaga kerja AS diduga melakukan quit quitting (Harter,2022). Pandemi COVID-19 membuat kesadaran yang besar terhadap pentingnya kesehatan fisik, mental, dan emosional pribadi. Masa pandemic memberi dampak negatif pada sebagian besar orang seperti besarnya rasa ketakutan dank esedihan akibat kehilangan orang yang dicintai, ketakutan tertular, terisolasi sehingga merasa kehilangan kebebasan, kesepian dan tidak jelas arah yang kemudian mambawa pada perasaan hampa dan kehilangan makna hidup. Situasi tersebut memunculkan gagasan bahwa “kerja seharusnya tidak menjadi pusat kehidupan”. Quit quitting digadang menjadi pilihan yang banyak diambil untuk mulai menggunakan waktu untuk hal-hal yang lebih berarti selain berkerja.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa tren konsep quit quitting ini baru muncul, berkembang pesat, menjadi viral, dan dipelopori oleh gen Z. Sebenarnya kondisi tersebut bukanlah isu yang baru di dunia industry. Isu yang menyerupai istilah quit quitting disebut work disengagement yaitu pelepasan dari peran pekerjaan dan tugas yang berarti menjauhkan diri secara emosional, kognitif, atau fisik dari pekerjaan. Seseorang yang mengalami work disanganged kurang tertarik dengan pekerjaannya dan tingkat loyalitasnya rendah. Akan tetapi, kondisi ini menjadi menonjol dengan istilah quiet quitting karena karakter gen Z yang cukup berani untuk bersuara dibandingkan generasi lainnya.
Penyebab utama quiet quitting adalah kurangnya tujuan yang jelas, merasa kurang dihargai atau tidak adil, dan adanya keinginan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang. Quit quitting banyak dipilih sebagai solusi dari permasalahan burnout dan wellbeing. Dari sisi oraganisasi, fenomena quit quitting dirasa sangat merugikan dan sesuatu yang kurang baik. Akan tetapi, di sisi lain, beberapa ahli menyebutkan bahwa quit quitting lebih efektif dan efisien daripada resign atau tingginya tingkat turn over. Hal ini dikarenakan quiet quitting dapat meningkatkan kesehatan mental dan produktivitas kerja seseorang secara signifikan.
Fenomena dan kondisi quiet quitting sebenarnya bukanlah sebuah kondisi yang baru. Organisasi atau perusahan tidak perlu mencela kondisi quiet quitting dan menyalahkan gen Z untuk menghadapinya. Organisasi perlu melihat dan mengamati dengan seksama penyebab-penyebabnya dan memikirkan strategi agar quiet quitting tidak berdampak negative dan merugikan performa organisasi.
Referensi :
Harter, J. (2022). Is Quiet Quitting Real?. Diakses pada https://www.gallup.com/workplace/398306/quiet-quitting-real.aspx
https://www.researchgate.net/publication/366530514_A_NEW_TERM_FOR_AN_EXISTING_CONCEPT_QUIET_QUITTING-A_SELF-_DETERMINATION_PERSPECTIVE
Ditulis Oleh :
Ajeng Diah Hartawati, M.Psi, Psikolog