Sukses Berkarir dengan Mengenal Resiliensi
Kesuksesan hanya bisa dicapai jika kita mau dan mampu untuk bangkit dari kegagalan dan keterpurukan. Dalam psikologi, istilah bangkit dari kegagalan ini disebut dengan resiliensi. Resiliensi berasal dari bahasa latin re-silere yang bermakna bangkit kembali (Connor & Davidson, 2003). Resiliensi juga sering dikenal dengan “Ketangguhan”. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Seperti bola basket, ketika jatuh ke bawah, ‘resiliensi’ lah yang membantu bola bisa memantul naik, sama halnya dengan diri kita, resiliensi lah yang membantu kita bisa bangun lagi setelah jatuh. Resiliensi membantu kita lebih cepat pulih dari kegagalan ataupun kecewaan, membuat kita mampu melihat kesulitan hidup sebagai tantangan yang menyenangkan, alih-alih menjadi beban justru menjadi layaknya sebuah petualangan dan pembelajaran.
Reivich & Shatte (2002) menjelaskan ada 7 aspek yang membentuk resiliensi seseorang, yaitu :
- Kemampuan mengatur emosi (Emotion Regulation)
Keterampilan untuk mengenali emosi, memusatkan perhatian, dan mengendalikan respon atau perilaku agar bertindak secara adaptif.
- Pengendalian diri (Impuls Control)
Kemampuan mengendalikan keinginan atau dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri, mencakup kemampuan menunda atau menahan untuk mendapatkan hal yang dianggap memuaskan diri.
- Optimisme (Optimist)
Kemampuan untuk tetap dapat berfikir dan melihat secara positif tentang masa depan yang belum terwujudkan atau terealisasikan dari perencanaan.
- Kemampuan menganalisis penyebab masalah (Causal Analysis)
Kemampuan mengidentifikasi penyebab dari sebuah masalah secara tepat sehingga dapat digunakan sebagai acuan menentukan solusi yang tepat.
- Empati (Empathy)
Kemampuan membaca isyarat perilaku orang lain, memahami kondisi psikologis dan emosinalnya, sehingga dapat memberikan respon yang sesuai dan membangun hubungan yang baik.
- Efikasi diri (Self-Efficacy)
Penilaian terhadap kompetensi diri yang kemudian menjadi keyakinan diri terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu hal, menghasilkan sesuatu, mengoraganisasi, mencapai tujuan, dan juga mengimplementasikan keahlian tertentu.
- Keterjangkauan (Reaching Out)
Kemampuan untuk mengambil suatu kesempatan sebagai tantangan. Kemampuan meningkatkan persepsi positif dari kehidupan sehingga dapat menjangkau sesuatu melampaui rasa malu, rasa tidak mampu, perfeksionis, dan self-handicapping.
Sama seperti otot tubuh, resiliensi memerlukan latihan agar dapat meningkat dan menguat. Ada 6 cara yang bisa dipraktikkan dan terus dilatih untuk menjadikanmu lebih tangguh (Resilience), yaitu :
- Menghargai setiap proses
Seringkali kita berfokus pada pencapaian hasil dan mengabaikan apa yang telah dilakukan dan didapatkan selama perjalanan. Kesalahan seperti ini dapat menyebabkan kelelahan mental karena merasa tidak kunjung sampai pada tujuan, merasa gagal, merasa rugi, dan menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, penting untuk melatih diri melihat detil dan memaknai setiap fase yang dijalani dan telah dilalui.
- Menyadari mana yang ada dalam kendali kita dan yang di luar kendali kita
Frustasi disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengenali bagian yang berada dalam kendali diri dan bagian yang berada di luar kendali diri. Misalnya : melakukan persiapan, belajar, menghadapi tantangan, dan berusaha mengerjakan ujian adalah sesuatu yang masih dalam kuasa kita. Akan tetapi, keberhasilan, kegagalan, respon orang lain, pikiran dan persepsi orang lain, merupakan sesuatu yang diluar kuasa diri.
- Memiliki lebih dari satu sudut pandang
Sadarilah kemunculan persepsi. Setiap hal dapat dilihat dari berbagai sisi. Oleh karena itu cobalah untuk menciptakan lebih dari satu makna dari sebuah kejadian. Misal : Sedang jatuh sakit, alih-alih terlalu berfokus pada rasa sakit yang dirasakan dan ketidak berdayaan melakukan sesuatu yang diinginkan, kamu bisa coba mengubah fokus pikiran dengan memandang sisi bahwa kondisi sakit adalah waktu untuk mengistirahatkan pikiran dan badan, sisi belajar untuk pasrah, sisi kesempatan untuk melihat kesetiaan pasangan atau teman.
- Fleksibel dan Dinamis
Menjadi seperti air yang mampu mengikuti bentuk wadah dimana ia berada dan juga menjadi sosok yang tidak terlalu keras dan kaku. Ibaratkan sebuah gelas yang terbuat dari kaca yang keras dan sebuah bola yang terbuat dari karet yang lentur. Ketika sama-sama dijatuhkan dari ketinggian, maka gelas akan pecah dan rusak, sedangkan bola tidak mengalai kerusakan dan dapat memantul kembali ke atas. Alih-alih bersikeras dengan idealisme diri pada setiap situasi, cobalah untuk dapat menjadi sosok yang lentur dengan melihat situasi dan kondisi.
- Menyadari pilihan respon diri
Seringkali sikap kita digerakkan oleh refleks dan spontanitas dari pikiran dan perasaan yang muncul. Jika mau menyadari, sebenarnya kita memiliki kendali atas pikiran dan perasaan. Maksudnya adalah kita dapat memilih apakah akan menerima, menyetujui, mengikuti, menahan, menyangkal, atau membuang pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang muncul. Latihannya bisa berupa cobalah berhitung hingga 10 detik setiap menemui sesuatu, dengan begitu bisa menyadari pikiran dan perasaan apa yang muncul, kemudian memilih sikap dan respon apa yang mau di munculkan.
- Memiliki support sistem
Tidak dipungkiri jika manusia merupakan makhluk sosial. Energi di luar diri juga dapat mempengaruhi kondisi diri kita. Adanya seseorang atau lingkungan yang supportif akan dapat membantu memunculkan pikiran-pikiran positif, melihat sisi sudut pandang yang lain, dan membantu menyadarkan hal-hal yang tidak kita sadari.
Jalan menuju sukses adalah melangkah dengan sadar. Di mana setiap langkah adalah sebuah proses pembelajaran dan Latihan diri yang membentuk aspek-aspek resiliensi. Semakin kuat memiliki aspek-aspek resiliensi yang dijelaskan di atas, semakin dekat juga dirimu dengan kesuksesan.
Referensi :
Connor K.M, dan Davidson J. R. T. (2003). Spirituality, Resilience, and Anger in Survivors of Violent Trauma: A Community Survey. Journal of Traumatic Stress. 16, 487-494.
Reivich dan Shatte. (2002). Psychosocial Resilience. American Journal of Orthopsychiatry, 57, 316.
Ditulis Oleh :
Ajeng Diah Hartawati, M.Psi, Psikolog