Di era kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru. Tidak cukup lagi hanya membekali siswa dan mahasiswa dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Mereka perlu disiapkan menjadi generasi yang AI-ready: mampu memanfaatkan AI bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai mitra kolaborasi. Di sinilah konsep superagency menjadi kunci.
Superagency, sebagaimana dijelaskan dalam laporan “Superagency in the Workplace” (McKinsey, 2025), adalah kemampuan individu untuk memperbesar kreativitas, produktivitas, dan dampak positifnya dengan dukungan AI. Dalam konteks pendidikan, superagency berarti menghasilkan lulusan yang tidak hanya melek AI, tetapi juga mampu berkolaborasi dengan AI secara etis, kritis, dan inovatif.
Peran guru dan dosen menjadi sangat penting dalam membangun kompetensi ini. Mereka tidak lagi hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk mengeksplorasi, bereksperimen, dan memecahkan masalah menggunakan AI. Guru perlu mengintegrasikan AI ke dalam proses pembelajaran, bukan sekadar mengajarkan AI sebagai mata pelajaran terpisah. Misalnya, menggunakan alat AI generatif seperti ChatGPT untuk membantu siswa menyusun ringkasan, membuat ide kreatif, atau mengevaluasi argumen.
Dosen juga diharapkan menyiapkan mahasiswa untuk memahami AI secara lintas disiplin. Tidak hanya mahasiswa teknik atau komputer yang perlu belajar AI, tetapi juga mahasiswa bisnis, hukum, komunikasi, bahkan seni. AI hadir di semua bidang, sehingga semua program studi perlu memberikan literasi AI dasar, ditambah pemahaman etika, kebijakan, dan dampaknya pada masyarakat.
Sekolah dan kampus pun berperan dalam menyediakan ekosistem pendukung. Infrastruktur digital, akses ke platform AI, dan kebijakan tata kelola data menjadi prasyarat. Tanpa dukungan institusional, upaya membangun superagency hanya berhenti di tingkat individu. Institusi perlu membuka ruang eksperimen, seperti AI sandbox atau AI innovation lab, tempat siswa dan dosen bisa mencoba teknologi AI dalam proyek nyata.
Selain kemampuan teknis, pendidikan juga harus menanamkan nilai etika, tanggung jawab, dan kesadaran kritis. Lulusan yang AI-ready tidak hanya bisa menggunakan AI, tetapi juga tahu kapan mengandalkan AI, kapan mengkritisi hasilnya, dan bagaimana menghindari penyalahgunaan. Mereka perlu memahami isu bias algoritma, privasi data, dan dampak sosial AI.
Superagency di dunia pendidikan adalah investasi jangka panjang. Ini bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga soal mindset: kesiapan untuk terus belajar, beradaptasi, dan memimpin inovasi di era yang berubah cepat. Guru, dosen, sekolah, dan kampus bersama-sama memegang peran penting dalam mencetak generasi yang tidak hanya siap menghadapi AI, tetapi siap berkolaborasi dengan AI untuk masa depan yang lebih baik.
Jika pendidikan gagal menyiapkan generasi superagency, maka mereka hanya akan menjadi pengguna pasif teknologi. Tetapi jika berhasil, mereka akan menjadi pencipta, pemimpin, dan inovator di dunia yang semakin didorong oleh AI.